Ronggeng Gunung. Photo: net/Ist
Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),-
Rencana pembuatan film dokumenter tentang Kesenian Ronggeng Gunung di Kabupaten Ciamis mendapat sorotan tajam dari sejumlah seniman Kabupaten Pangandaran. Para seniman tidak menerima bila sejarah ronggeng gunung hanya dikaitkan dengan Ciamis.
Didin Mahidi, praktisi seni asal Pangandaran, ketika ditemui Koran HR, Selasa (22/11/2016) lalu, mengatakan, semua orang tahu bahwa Kesenian Ronggeng Gunung merupakan kesenian yang berasal dari wilayah Pangandaran.
“Ilustrasinya, tidak mungkin misalnya membuat film sejarah tentang Gunung Tangkuban Perahu tapi dibuatnya di Cirebon. Ya tetap saja di Bandung. Orang Bandung tentu tidak akan menerima itu. Tapi kalau membuat film lagu-lagu ronggeng itu tidak jadi masalah. Mungkin saja orang kementrian ini kenalnya dengan orang Ciamis, sehingga membuat filmnya di Ciamis,” katanya.
Lebih lanjut, Didin meyakini, seniman lain di Pangandaran tidak akan menerima jika pembutan film ini berkaitan dengan sejarah Ronggeng Gunung tetapi pembutannya di Kabupaten Ciamis.
Didin berharap para pihak yang berkepentingan untuk pembuatan film tersebut harus membaca dulu sejarah asal Kesenian Ronggeng Gunung. Termasuk, harus mencari informasi dan bertanya kepada beberapa narasumber.
“Jangan sampai pembuatan film ini hanya karena berdasarkan pada kedekatan orang-perorang,” katanya.
Dede Rohidin, pelaku seni ronggeng sekaligus pengasuh Sanggar Ronggeng di Pangandaran, menegaskan, dia tidak menerima jika pembuatan film dokumenter tersebut untuk mengangkat sejarah ronggeng gunung dan pembuatannya berlokasi di Ciamis.
“Sebagai pelaku seni, saya sangat tidak menerima. Saya bersama para pelaku seni ronggeng lainnya akan melayangkan protes,” katanya.
Di tempat terpisah, Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Pangandaran, Cucu Gumilar, mengatakan bahwa terkait dengan rencana pembuatan film dokumenter tentang kesenian ronggeng gunung, bukan persoalan klaim-mengklaim.
“Ini bukan masalah klaim-mengklaim, karena Ciamis juga mengakui bahwa di Pangandaran ada Ronggeng Gunung. Jika dilihat dari data sanggar seni atau kelompok seni ronggeng, baik ronggeng gunung maupun ronggeng amen, ada sekitar 12 sanggar seni ronggeng yang telah memiliki legalitas formal dari Pemkab Pangandaran, dan ada sekitar 40 kelompok seni ronggeng yang belum memiliki legalitas formal dari Pemkab Pangandaran,” katanya.
Selain itu, kata Cucu, penikmat seni ronggeng memiliki kelompok-kelompok dengan jumlah yang sangat banyak. Menurut dia kesenian ronggeng ini sering sekali diikutsertakan dalam even-even di luar Pangandaran.
“Dewan Kesenian juga sudah sepakat dengan Kompepar untuk mengusung seni ronggeng, seni gondang dan seni badud sebagai ikon seni Pangandaran. Bupati Pangandaran juag sudah sepakat dengan ketiga ikon tersebut,” katanya.
Cucu optimis, esensi dari seni ronggeng baik ronggeng gunung maupun ronggeng amen sudah “Ngabaju Miraga Sukma”, artinya sudah mendarah daging dengan masyarakat Pangandaran.
“Bukti dari itu adalah frekwensi dari pagelaran ronggeng di tempat hajatan sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan Ciamis lebih banyak mana frekuensinya,” tantang Cucu.
Pada kesempatan itu, Cucu juga mempersoalkan pengkultusan Bi Raspi sebagai tokoh ronggeng. Padahal menurut dia, tokoh kesenian ronggeng sangat banyak jumlahnya dan bukan hanya Bi Raspi.
“Bila dibanding-bandingkan, lebih banyak mana jumlah pelaku ronggeng di Ciamis dengan di Pangandaran,” katanya. (Askar/Koran HR)
Berita Terkait