Ciamis, (HR),- Dalam kurun waktu yang singkat, harga kakao fermentasi di pasaran sudah melambung tinggi menjadi Rp. 28.500,00 perkilonya. Padahal pada satu minggu sebelumnya harga kakao tersebut hanya mencapai Rp.24.500,00.
Kenaikan harga tersebut diakibatkan permintaan kakao fermentasi yang tinggi dipasaran. Selain itu, harga itu diikuti dengan kenaikan harga kakao asalan (yang tidak diolah terlebih dahulu), yang dijual dikisaran harga Rp. 27.500,00.
Terlihat dari data BPS kab. Ciamis, peningkatan ekspor sektor nonmigas terbesar pada November 2009 terjadi pada kakao. Nilai ekspor kakao meningkat sebesar US$ 21 juta dari US$ 135,4 juta pada Oktober 2009 menjadi US$ 156,4 juta pada November 2009.
Jika dilihat pada periode antara Januari-November 2009, nilai ekspor kakao juga mengalami peningkatan menjadi US$ 1,232 miliar dari US$ 1,145 miliar pada periode yang sama tahun 2008.
Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia DPD Jabar, yang juga petani Kakao dari Kec. Banjarsari, Kab. Ciamis, Ujang Darsono, ketika dihubungi HR via telepon selulernya mengatakan, ketetapan harga kakao tersebut harus diatur oleh pemerintah daerah.
“Alasannya, kami tidak mempunyai pedoman ketetapan harga yang harus menjadi patokan dikemudian hari. Bisa jadi, hari ini sekian, besok bisa lain lagi. Selain itu dengan adanya ketetapan itu juga bisa menyesuaikan dengan permintaan dari pembeli,” katanya.
Dia menyayangkan seandainya produksi kakao di kab. Ciamis tidak dikelola dengan baik. Bisa dibayangkan dalam sebulan saja, produksi Kakao di wilayah Ciamis bisa mencapai 12 Ton. Dan kebutuhan pasar saat ini mencapai ratusan ton.
Ujang menceritakan, pada sebelumnya, para petani seringkali menjual kakaonya ke sejumlah kelompok tani yang kemudian dilanjutkan kepada ke Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan terakhir dijual ke koperasi.
Setelah itu, koperasi menjual langsung kepada pembeli/ konsumen. Namun, saat ini penjualan seperti itu sudah tidak mampu dipertahankan lagi. Alasannya kakao sudah menjadi komoditi unggulan yang banyak dibutuhkan pasar.
Maka secara tidak langsung para pembeli pun beramai-ramai mencari pasokan kakao ke petani di daerah, bahkan kakao yang belum dipanen sekalipun sudah dihargai oleh mereka.
Walaupun mempunyai perbedaan harga jual yang relatif kecil para petani tentunya berharap banyak menjual kakao fermentasi karena kakao jenis ini yang banyak dibutuhkan pasar.
“Bayangkan saja jika dilihat dari daya serap pasar, perbedaan kakao fermentasi dengan kakao asalan, mempunyai perbandingan 70:30,” katanya.
Ketua Gapoktan Banyu Metu Sejahtera, Warino, asal Padaherang, yang sekaligus Ketua Assosiasi Petani Agribisnis Komoditi Kakao (APKOKA), Kab Ciamis, membenarkan perbedaan harga kakao fermentasi dengan kakao asalan.
Menurutnya, perbedaan tersebut hanya berkisar seribu lima ratus rupiah. Namun, dengan menjual kakao permentasi dalam jumlah banyak bisa menutupi ongkos produksi, dan biaya fermentasi.
Dia berharap Disperindag Kab. Ciamis segera membuat Tata Niaga Kakao guna mengatur bagaimana tata cara penjualan kakao dan penetapan harga kakao. Termasuk di dalamnya mengatur perbedaan harga kakao fermentasi dan kako asalan.
“Justru langkah tersebut akan menguntungkan semua pihak, baik pembeli maupun penjualnya, tinggal Disperindag memfasilitasi dan memediasi petani dan pembelinya melalui Tata Niaga,” ungkapnya.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, Ir.Hj. Nurhastuty, ketika dimintai tanggapannya soal tuntutan para petani kakao, di Kab Ciamis, mengatakan dirinya mendukung adanya Tata Niaga Kakao.
Sementara itu, Kadisperindag Kab. Ciamis, Drs. Durahman, ketika dimintai tanggapannya mengenai permintaan para Petani Kako tersebut, tidak memberikan tanggapan apapun.
Kepala Bidang Perdagangan, Hafid W, pihaknya sudah berupaya memenuhi permintaan para petani Kakao. Salah satu bentuknya yakni memfasilitasi para pembeli kakao dalam Lelang Hasil Tanaman Perkebunan ditingkat Propinsi. (dicky)