Kedaulatan pangan sudah lenyap. Harga komoditas pangan didikte pasar bebas
Foto : Dicky Haryanto Adjid/HR.
Siapa yang tidak kenal tahu dan tempe? Hampir semua orang Indonesia mengenalnya. Bahkan sumber protein nabati ini indentik atau bahkan disematkan sebagai makanan tradisional atau lokal Indonesia, sekalipun patennya dipegang negara lain. Sebagai pangan yang dianggap lokal, asli Indonesia ternyata tempe sejatinya bukanlah makanan lokal jika dilihat dari sumber bahan bakunya. Namun tempe adalah pangan internasional.
Betapa tidak, lebih dari lebih dari 60 persen bahan bakunya didatangkan dari negera lain semisal Amerika Serikat, Kanada, China, Ukraina, dan Malaysia. Tingginya permintaan produk turunan kedelai ternyata tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Setiap tahun tidak kurang dari 2,4 juta ton kedelai dikonsumsi masyarakat. Akibatnya, serbuan kedelai impor semakin deras membanjiri Indonesia.
Ketergantungan akan bahan baku impor membawa implikasi yang serius. Perubahan produksi di level dunia sedikit saja akan sangat berpengaruh pada stok dan tentu saja harga. Fenomena kegagalan panen di negera-negara eksportir pada tahun 2007-2008 atau kekeringan di Amerika serikat pada bulan ini, telah berpengaruh pada peningkatan harga kedelai di dunia.
Peningkatan harga ini tentu saja menjadi pukulan telak, terutama bagi pengusaha tahu, tempe dan kecap. Harga yang melambung membuat ongkos produksi meningkat. Peningkatan produksi tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat. Akibatnya, para pengusaha ini merugi luar biasa. Dan seperti sebelum-sebelumnya, mogok produksi menjadi pilihan walaupun konsumen turut menjadi korban, atau dirugikan.
Swasembada Kedelai jadi Solusi?
Merujuk pada rencana pemerintah yang akan melakukan swasembada tanaman pangan strategis, salah satunya kedelai pada tahun 2014 menjadi pertanyaan besar apakah benar dapat dicapai?
Sedari awal target swasembada pada tahun 2014 telah diikrarkan sebagai bentuk keberhasilan pemerintah. Khusus untuk kedelai, hingga tahun 2014 diproyeksikan produksi kedelai dalam negeri mencapai 2,7 juta ton dengan laju peningkatan produksi mencapai 1,5 ton/hektare dari sebelumnya yang hanya 1,3 ton/hektare. Dari hitungan ini, pada tahun 2014 terdapat surplus 137 ribu ton. Dengan jumlah ini, impor diasumsikan tidak lagi diperlukan.
Dengan produksi tahun lalu yang hanya 851 ribu ton, terdapat defisit produksi hingga 1,9 juta ton untuk mencapai 2,7 juta ton. Dengan waktu yang kurang dari tiga tahun defisit itu menjadi tantangan yang cukup berat. Dengan hitungan sederhana maka setiap tahun, produksi harus meningkat rata-rata 1,4 juta ton.
Untuk mencapai ini, optimalisasi lahan kering dan rawa ditingkatkan selain lahan sawah. Persoalannya optimalisasi lahan kering dan rawa masih mengalami tantangan luar biasa, selain terjadinya rebutan lahan dengan sektor perkebunan juga daya dukung infrastruktur dan pembiayaan masih rendah.
Faktanya selama ini, produksi kedelai ditumpukan pada lahan sawah yang biasanya digunakan pada saat jeda musim tanam padi. Lahan sawah sendiri saat ini terus mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan yang masif. ***