Dari kiri, Jajang Wahyudin (HMI Banjar), Miftah (PMII Ciamis), Ridwan (PMII Pangandaran), Sodiq (PMII Banjar). Photo: Muhafid/HR
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Wacana resolusi alih fungsi hutan produksi ke hutan konservasi yang dikeluarkan pimpinan DPRD Kabupaten Ciamis, Nanang Permana, mendapatkan respon dari kalangan aktivis mahasiswa HMI dan PMII.
Rencana resolusi yang menggandeng tiga unsur pimpinan DPRD dari Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran itu untuk menjawab persoalan terjadinya bencana yang disebabkan oleh adanya hutan produksi yang dikelola pihak Perhutani, justru semakin membeku karena niatan tiga pimpinan DPRD tersebut belum melakukan langkah kongkrit.
Ketua Cabang Persiapan HMI Kota Banjar, Jajang Wahyudin, mengkritik rencana tersebut. Sebab menurut dia, seharusnya resolusi menjadi jawaban dari adanya bencana alam yang terjadi di tiga wilayah tersebut, dan resolusi harusnya sudah dilaksanakan jauh-jauh hari sebelum bencana terjadi, bukan setelah bencana terjadi.
“Memang kami sepakat dan mendukung rencana pengalihfungsian hutan produksi di Kota Banjar, Ciamis dan Pangandaran menjadi hutan konservasi, mengingat wilayah tersebut curah hujannya sangat tinggi. Sehingga, potensi banjir dan tanah longsor sangat tinggi pula,” tegasnya, kepada Koran HR, Selasa (15/11/2016) lalu.
Dia juga mengatakan, ketika resolusi tersebut bisa berhasil, maka akan meminimalisir kemungkinan adanya bencana banjir dan longsor. Pasalnya, hutan produksi ada kurun waktu tertentu pohon-pohon di hutan bisa ditebang, dan untuk mengembalikan pohon yang ada di hutan sebagai penyangga air hujan membutuhkan waktu cukup lama, karena harus menunggu pohonnya besar.
Untuk itu, kata Jajang, pihaknya mendesak kepada pimpinan DPRD Ciamis, Banjar dan Pangandaran, untuk segera merampungkan resolusi tersebut. Sebab sudah jelas hal itu akan lebih memberi manfaat kepada masyarakat.
Sedangkan menurut Ketua PMII Kabupaten Ciamis, Miftah, bahwa angka wilayah hutan produksi di wilayah Ciamis, Banjar dan Pangandaran yang cukup luas, menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana alam.
“Kami pahami pengelolaannya oleh Perhutani tentu menggunakan prosedur. Namun, dampak sosial tidak mereka kaji. Sebab, ketika terjadi bencana, pemerintah daerah yang kerepotan menangani dampaknya, bukan Perhutani,” tandasnya.
Miftah juga berharap, resolusi alih fungsi hutan produksi ke hutan konsevasi merupakan langkah tepat. Seperti halnya resolusi Ciremai yang digagas oleh tiga wilayah, yaitu Cirebon, Majalengka dan Kuningan.
“Mari kita kawal langkah ini. Kami akan terus lanjutkan agar nasib masyarakat tidak sengsara akibat bencana alam yang disebabkan oleh penebangan pohon di hutan,” ucap Miftah.
Pendapat serupa ditegaskan aktifis PMII Kabupaten Pangandaran, Ridwan. Dia menilai, meski pencegahan bencana banjir maupun longsor bisa dilakukan dengan cara resolusi alih fungsi hutan produksi. Namun pihaknya menyarankan agar Perhutani tidak kembali menebang pohon di hutan produksi yang tidak memikirkan dampak sosialnya, seperti bencana.
Menurut Ridwan, jika Perhutani mengindahkan dampaknya secara luas, bukan hanya keuntungan semata sesuai target produksi, namun juga bencana pun kemungkinan tidak akan terjadi begitu dahsyat seperti kemarin.
“Langkah DPRD di tiga wilayah tersebut saya harap bukan wacana saja, tapi harus terwujud,” kata Ridwan.
Sementara itu, sindiran pedas datang dari Ketua PMII Kota Banjar, Ahmad Nursodiq. Dia menilai, wacana yang dikeluarkan oleh Ketua DPRD Ciamis jangan hanya dijadikan retorika dan janji semata.
“Memang langkah tersebut kami nilai sudah telat, karena bencana sudah terajadi 1 bulan yang lalu. Tapi kami pikir, untuk pencegahan bencana kedepannya sangat penting. Maka dari itu, jika tiga DPRD tersebut tidak segera melanjutkannya, kita akan dorong terus hingga resolusi itu tercapai,” tandasnya. (Muhafid/Koran HR)