Oleh : Asep Mulyana, SIP, MA (Tim Litbang HR)
Pengantar
Wacana untuk meningkatkan status Kota Administratif (Kotif) Banjar marak pada 1999 ketika pintu desentralisasi dan otonomi daerah dibuka selebar-lebarnya oleh rejim pasca-Soeharto. Tokoh-tokoh warga Banjar dari berbagai lapisan larut dalam euforia politik lokal tersebut. Mereka membangun energi kolektif dalam sebuah wadah yang mereka namai Forum Peningkatan Status Kotif Banjar Menuju Daerah Otonom (FPKSB). Perjuangan FPKSB ini berakhir ketika Banjar diresmikan menjadi pemerintah kota pada 21 Februari 2003 melalui UU No. 27 Tahun 2002. Hari itu adalah klimaks dari perjuangan panjang para pemangku kepentingan (stakeholders) Kota Banjar untuk mendorong Banjar menjadi daerah otonom baru. Ada banyak harapan, tujuan, dan cita-cita telah dicapai, namun pekerjaan rumah belum sepenuhnya selesai.
Capaian Keberhasilan
Sembilan tahun bukan waktu yang panjang. Namun Pemkot Banjar telah menorehkan capaian yang mengagumkan, utamanya dalam hal pelayanan hak-hak dasar dan akses ekonomi warga. Hal itu tercermin dalam tiga kebijakan utama berikut.
Pertama, kebijakan di bidang pendidikan. Kota Banjar adalah salah satu dari empat daerah yang dianggap berhasil mengembangkan PAUD. Dalam kurun waktu dua tahun (2005-2007) Pemkot Banjar mampu mendorong pendirian PAUD dari 2 (dua) lembaga menjadi 125 lembaga PAUD. Selain itu, alokasi anggaran untuk PAUD dari APBD Kota Banjar mencapai Rp 3,7 miliar/tahun dan merupakan alokasi anggaran terbesar di Jabar untuk PAUD (vide: Pikiran Rakyat, 07 September 2008). Di samping itu, Pemkot Banjar juga berusaha meningkatkan partisipasi warga, utamanya warga miskin, dengan meluncurkan program beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin yang terancam DO (Drop Out) karena kekurangan biaya. Pada 2009, misalnya, program ini menyasar 2.500 siswa dari keluarga miskin dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 750 juta. Di samping itu, Pemkot banjar juga meluncurkan program beasiswa bagi anak berprestasi dari keluarga miskin yang hendak melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada 2009 dan 2010, misalnya, Pemkot Banjar melansir program beasiswa untuk 10 siswa SMA dan sederajat dari keluarga miskin yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi (PT) sebesar Rp. 150 juta.
Kedua, kebijakan di sektor kesehatan. Pemkot Banjar membebaskan layanan berobat di Puskesmas bagi warga yang memiliki KTP dan KK Kota Banjar tanpa kecuali. Selain itu, warga miskin di Kota Banjar juga mendapatkan pembebasan biaya berobat dan rawat inap kelas tiga di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjar. Sampai 2011, terdapat sekitar 25 persen dari total penduduk 183.046 orang telah menikmati bebas biaya di Puskesmas dan kelas III RSUD Banjar (Kompas, 4 April 2011). Angka ini meningkat sejak 2006 ketika Pemkot Banjar membebaskan biaya pelayanan kesehatan di Puskesmas untuk seluruh penduduk berdasarkan Perda No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Perda No. 44/2004 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan di Puskesmas.
Ketiga, Kebijakan di sektor pedesaan. Pemkot Banjar meluncurkan Program Bantuan Keuangan Desa (BKD) sebesar Rp. 1 milyar pertahun untuk 24 desa/kelurahan. Program BKD ini dibagi ke dalam tiga program, yaitu (1) program penguatan ekonomi; (2) pembangunan pola padat karya; (3) pembangunan infrastruktur di desa.
Program penguatan ekonomi diwujudkan dalam bentuk pemberikan kredit lunak kepada pelaku usaha mikro di desa. Kebijakan ini menyediakan ekses kredit permodalan kepada warga desa yang sebelumnya tidak dapat memperoleh skema serupa dari lembaga-lembaga pemberi kredit formal seperti perbankan. Sementara itu, program pembangunan pola padat karya dan pembangunan infrastruktur di desa bertujuan untuk menyerap pengangguran di desa-desa.
Kebijakan-kebijakan sosial di atas merupakan langkah politik Walikota Banjar yang akhirnya menuai dukungan luas dari warga. Asumsi ini dikonfirmasi dengan kemenangan telak Walikota Banjar dalam pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada). Pada Pilkada yang digelar pada 2008 lalu, Walikota Banjar incumbent terpilih kembali menjadi walikota Banjar untuk periode kedua dengan perolehan suara 92,17 persen suaraâangka fantastis yang dalam beberapa hal dapat dibayangkan sebagai kemunculan fenomena populisme baru di tingkat lokal.
Pekerjaan Rumah Belum Selesai
Apakah capaian yang diraih Pemkot Banjar dengan tiga kebijakan sosial di atas sudah cukup? Bagi kami, hal itu tidak cukup. Untuk membangun kota, kemandirian ekonomi saja tidak cukup. Di usianya yang ke-9, penting bagi Banjar untuk menjadi kota yang demokratik secara politik, kohesif secara sosial, dan beradab secara budaya. Untuk mencapai cita-cita itu, Banjar butuh strategi politik yang jitu dan strategi kebudayaan yang brilian.
Demokratik secara Politik
Suatu sistem politik disebut demokratik jika warga dilibatkan secara penuh dalam perumusan dan penentuan kebijakan politik. Partisipasi warga menjadi kata kunci. Adapun partisipasi adalah kegiatan aktif dari individu atau kelompok dalam kehidupan politik, baik dalam memilih pimpinan politik maupun terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik (Budiardjo 1994).
Memang perencanaan pembangunan secara nasional, termasuk di Kota Banjar, telah mengadopsi model partisipasi. Hal ini tampak dengan dilembagakannya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Namun secara praktis, partisipasi warga yang otentik dalam Musrenbang terakomodasi hanya sampai tingkat desa. Begitu sampai tingkat kecamatan dan kota, ada banyak vested interest elit terlibat, baik elit warga maupun elit di pemerintahan (teknokrat), sehingga rencana-rencana pembangunan tidak faktual dan lebih mencerminkan kepentingan elit. Musrenbang kemudian berwatak teknokratik, elitis, dan antipolitik. Rakyat tetap terdepolitisasi dan tidak tersentuh secara politik. Kondisi ini berimplikasi negatif terhadap pembangunan politik demokratik.
Membangun partisipasi genuine menjadi kata kunci jika Banjar ingin menjadi kota yang demokratik secara politik. Untuk itu, kapasitas politik warga harus diperkuat dengan pelembagaan politik warga di parlemen. Tanpa penguatan kapasitas politik warga, kebijakan sebagus apapun yang ditempuh Pemkot Banjar tidak akan punya fondasi politik, rapuh secara sosial, dan mudah tergerus oleh perubahan konstelasi elit. Apalagi jika kebijakan pemerintah hanya bertumpu pada kepala daerah.
Hal lain yang patut dicermati adalah posisi politik walikota yang sangat kuat dan mengkooptasi hampir seluruh sumber daya politik yang ada. Kondisi tersebut pada akhirnya mengabsenkan potensi kontrol publik terhadap jalannya roda pemerintahan. Padahal kontrol publik merupakan sesuatu yang inheren dalam desain kelembagaan politik demokratik. Membangun kekuatan politik pengimbang adalah pekerjaan rumah yang sangat penting untuk menghindari dominasi dan abuse of power.
Kohesif secara Sosial
Pekerjaan rumah lain yang tak kalah penting adalah membangun suatu tatanan sosial yang kohesif dan beradab secara sosial budaya. Kohesi sosial nampak dengan adanya suatu solidaritas sosial. Sudah saatnya Pemkot Banjar meluncurkan kebijakan-kebijakan sosial universal yang menyasar seluruh warga kota, tak hanya warga miskin. Kebijakan yang hanya menguntungkan warga miskin tak akan mampu melahirkan suatu solidaritas dan, karena itu, rapuh secara sosial.
Kebijakan pembebasan biaya kesehatan di Puskesmas untuk seluruh warga kota adalah langkah awal Pemkot Banjar yang patut diapresiasi. Pelembagaan program publik kolektif dan universalis itu niscaya dapat menumbuhkan solidaritas dan kohesi sosial dan menggerus identitas kelompok yang sempit.
Beradab secara Budaya
Nilai-nilai kesukarelaan (voluntarisme) yang dulu melekat kuat sebagai tata nilai warga desa juga harus dikembangluaskan. Oleh karena itu, program-program sosial yang bersifat charity (bagi-bagi uang) yang menggerus nilai-nilai voluntarisme dan kegotongroyongan di desa sudah saatnya dikurangi.
Pekerjaan rumah lain yang belum usai adalah menggerus birokrasi yang berwatak sebagai pencari rente (jual/sewa kewenangan). Dalam konteks ini, pendekatan struktur (perbaikan hukum dan kelembagaan pengawasan) saja tidak cukup. Banjar butuh strategi kebudayaan yang brilian untuk menggerus suprastruktur (nilai, norma, mindset, kebiasaan, dan budaya) birokrasi yang korup dan berwatak pencari rente. Korupsi dalam pelaksanaan program, nepotisme dalam rekrutmen pegawai, serta kolusi dan pencarian rente dalam tender-tender proyek birokrasi bukan lagi bentuk anomali. Abuse of power semacam ini sudah menjadi nilai, norma, mindset, kebiasaan, dan budaya birokrasi di Indonesia.
Membangun budaya birokrasi baru yang bersih, transparan, akuntabel, kreatif, dan egaliter adalah pekerjaan besar, berjangka panjang, dan butuh strategi kebudayaan yang brilian. Jika Banjar mampu membangun budaya birokrasi mumpuni semacam ini, maka tak sulit bagi Pemkot Banjar untuk membangun harapan, optimisme, kepercayaan (trust) dari warga kota. Harapan, optimisme, dan kepercayaan adalah bekal sosial dan modal politik yang penting jika Banjar ingin menjadi kota yang demokratik secara politik, kohesif secara sosial, dan beradab secara budaya. ***