Lumpia merupakan salah satu jajanan ikonik yang seringkali menjadi incaran oleh-oleh bagi para pengunjung di kota Semarang. Di balik kepopulerannya, tak banyak yang tahu bahwa sejarah lumpia Semarang berasal dari campuran budaya antara Jawa dan Tionghoa. Bahkan, lahirnya lumpia yang populer hingga saat ini, menyimpan kisah cinta menarik dari wanita pribumi dan etnis Tionghoa.
Baca Juga: Yuk, Cari Tahu Sejarah Bakpia! Oleh-oleh Khas Yogyakarta
Mengulik Sejarah Lumpia Semarang yang Lahir dari Kisah Cinta
Pada dasarnya, lumpia merupakan jajanan hasil dari akulturasi budaya antara etnis Tionghoa dan Jawa. Lumpia sendiri berasal dari lafalan bahasa Hokkian “Lum” atau “Lun” yang berarti lembut dan “Pia” yakni kue.
Dalam sejarahnya, jajanan lumpia tidak dibuat dengan cara digoreng. Sejak dahulu kala, jajanan ini memiliki cita rasa yang manis. Hingga akhirnya, lumpia mulai digoreng ketika terjadi perpaduan antara kultur Jawa dan Tionghoa.
Lumpia Semarang Berawal dari Cinta
Sejarah Lumpia Semarang, seperti yang dikutip dari buku Hidangan Lezat Semarang terbitan PT Penerbit Erlangga Mahameru, berawal dari kisah cinta antara dua orang dari negara yang berbeda. Perpaduan budaya ini melahirkan hidangan khas Semarang yang kini terkenal sebagai lumpia.
Awalnya, lumpia Semarang muncul pada abad ke-19. Kemunculan jajanan ini, berasal dari pendatang Fujian bernama Tjoa Thay Joe, seorang pebisnis yang menjajakan panganan dengan isian rebung dan daging babi.
Saat itu, Tjoa Thay Joe bertemu dengan wanita Jawa bernama Mbak Wasih. Menurut cerita yang beredar, Mbak Wasih juga menjajakan panganan yang serupa dengan bisnis Tjoa Thay Joe. Hanya saja, jajanan milik Mbak Wasih menggunakan isian udang dan kentang dengan citra rasa yang lebih manis.
Seiring berjalannya waktu, keduanya justru jatuh cinta dan akhirnya menikah, kemudian menggabungkan dagangannya. Hingga akhirnya, isian lumpia berubah menjadi udang atau ayam dengan kombinasi berupa rebung.
Kemudian, isian lumpia meningkat menggunakan lapisan kulit asal Tionghoa. Kombinasi ini menghasilkan kulit lumpia yang renyah, cita rasa rebung manis, dan telur udang gurih. Cita rasa yang khas ini, menjadikan lumpia sebagai jajanan favorit di kota Semarang.
Dalam catatan sejarah lumpia Semarang, kudapan tersebut kemudian banyak terjual di pasar malam Belanda bernama Olympia Park. Setelah itu, keberadaan lumpia semakin terkenal luas, khususnya di wilayah Semarang.
Seiring berjalannya waktu, usaha Tjoa Thay Joe dan Mbak Wasih diteruskan oleh anak-anaknya. Terkait hal ini, Siem Hwa Noi dan Siem Gwan Sing kemudian membuka usaha lumpia di daerah Mataram, Semarang. Sementara itu, Siem Swie Kiem membuka usahanya di Gang Lombok Nomor 11.
Kini, terdapat dua varian lumpia yang cukup populer, yakni lumpia versi basah dan goreng. Biasanya, pelanggan mengkonsumsi jajanan ini bersama lokio, acar, dan saus manis kental.
Ciri Khas Lumpia Semarang
Pada dasarnya, lumpia Semarang memang berbeda dari para kompetitornya. Salah satu ciri khas lumpia Semarang terletak pada isiannya yang kaya dan bervariasi.
Umumnya, lumpia Semarang menggunakan isian rebung, udang, dan daging ayam. Jajanan tradisional ini juga seringkali menambahkan isian lain seperti telur dan sayuran segar.
Dalam praktiknya, sejarah lumpia Semarang menggunakan lapisan pembukus kulit lumpia yang tipis dan renyah. Kemudian, lumpia digoreng hingga matang dengan warna kecoklatan.
Baca Juga: Sejarah Nasi Timbel, Asal-usul dan Cara Membuatnya
Kombinasi antara kulit lumpia renyah dengan isian yang gurih, berhasil menciptakan pengalaman kuliner tak terlupakan. Biasanya, jajanan ini tersaji bersama saus sambal pedas yang menciptakan cita rasa menggoda.
Fakta Menarik
Berikut beberapa fakta menarik seputar Lumpia Semarang berdasarkan jurnal Lumpia Semarang pada Masa Orde Baru dalam Avatara Vol 3 No 3 tahun 2015 serta penelitian IE Susanti dan SM Purwaningsih dari Universitas Surabaya:
- Lumpia berasal dari kata lun bing dalam dialek Hokkian yang berbunyi lun pia, yang berarti “kue bulat.” Di Tiongkok, lumpia disebut chun juan (dibaca: ju-en cuen), yang berarti spring roll dalam bahasa Inggris.
- Nama “lumpia” juga berasal dari gabungan kata lun (Bahasa Jawa) yang berarti gulung dan pia (Bahasa Hokkian) yang berarti kue, sehingga lumpia berarti “kue gulung.”
- Bagi etnis Tionghoa Semarang, lumpia bukan makanan wajib dalam ritual sembahyang Tahun Baru Imlek.
- Lumpia Semarang berbeda dengan lumpia Jakarta dan lumpia Medan yang menggunakan isian bengkuang seperti Popiah dari Singapura. Lumpia Semarang khas dengan isian rebung.
- Awalnya, Warsih dan Thay Yoe menjual lumpia Semarang secara berkeliling menggunakan pikulan. Sekitar tahun 1950-an, mereka menetap di dekat Klenteng Tay Kak Sie, Semarang, dan menjual lumpia di sana.
Lumpia Semarang kini telah menjadi ikon kuliner khas yang populer di Indonesia.
Tempat Terbaik untuk Menikmati Lumpia Semarang
Secara umum, lumpia Semarang paling nikmat disantap selagi masih hangat. Pelanggan dapat menikmati jajanan ini di sore hari, sebagai teman bersantai bersama keluarga.
Jika sedang berada di Semarang, salah satu tempat yang bisa dikunjungi adalah Lumpia Semarang Basah di Jalan Pemuda. Di tempat ini, pengunjung dapat menikmati lumpia otentik yang selalu padat dan ramai.
Selain itu, ada pula Lumpia Shinta yang menjadi tempat favorit banyak orang. Di tempat ini, pengunjung dapat menikmati berbagai variasi lumpia yang lezat, baik dalam versi bahasa maupun goreng.
Jangan lupa menikmati lumpia semarang dengan mencelupkannya ke dalam saus sambal. Selain itu, pelanggan juga dapat memilih opsi menikmati lumpia Semarang dengan mencelupkannya pada kecap manis untuk memperoleh rasa yang lebih sempurna.
Baca Juga: Sate Kalong Terbuat dari Apa? Kuliner Khas Cirebon Ini Ternyata Bukan dari Kelelawar Loh
Sejarah lumpia Semarang bukan hanya sekedar jajanan tradisional saja. Namun juga merupakan representasi budaya dan sejarah yang kaya. Di setiap gigitan lumpia, terdapat cita rasa lezat yang menggabungkan antara sejarah dan tradisi dalam satu hidangan. (R10/HR-Online)