Panji Koming yang rilis pertama kali pada 14 Oktober 1979 merupakan komik karya Dwi Koendoro. Komik yang terbit sejak era Orde Baru ini tidak hanya menghibur, tapi juga mengandung kritik terhadap pemerintah.
Panji Koming dikemas dalam bentuk satire-satire politik yang penuh dengan makna. Alasannya tentu karena pada masa tersebut kritikan secara langsung tidak mungkin dilakukan.
Komik karya Dwi Koen ini memang dikenal sebagai komik dengan humor yang khas. Tak hanya itu, komik ini juga sering mengangkat topik-topik yang sedang hangat.
Baca Juga: Mengenal Soegondo Djojopoespito, Pelajar Nakal yang Pimpin Kongres Pemuda 1928
Memang komik ini selalu mengundang tawa para pembacanya. Tak heran apabila komik yang tayang setiap hari minggu ini selalu ditunggu oleh para pembacanya.
Sejarah Terbitnya Komik Panji Koming
Mengutip dari, “Panji Koming Nyingkap Denmas: Representasi Budaya Jawa dalam Perilaku Elite Politik Semasa Pemilu 2014” (2019), Panji Koming merupakan komik strip yang mulai rilis pada 14 Oktober 1979.
Komik ini sendiri rilis setiap hari minggu di kolom komik koran Kompas. Nama karakter dari komik itu diberi nama Panji Koming yang kemudian membuatnya dikenal sebagai Komik Panji Koming.
Terdapat fakta unik lain mengenai penamaan komik ini, nama koming diambil pula dari penamaan “Kompas Minggu”. Hal ini sebenarnya secara tidak langsung menyiratkan cara Kompas dalam menyapa para pembacanya.
Sehingga tak heran apabila Panji Koming tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Kompas sebagai media massa.
Komik Panji Koming juga menjadi sebuah representasi dari esensi berita aktual yang sedang hangat-hangatnya atau banyak dibicarakan masyarakat.
Meskipun Komik Panji Koming menggambarkan bagaimana situasi masa lalu seperti zaman Majapahit, namun makna yang terkandung didalamnya sangat erat dengan masa kini.
Komik yang lahir dari tangan terampil Dwi Koendoro Brotoatmodjo ini memang pandai menyelipkan kritikan dan sindiran terhadap isu yang beredar.
Komik Satire Era Orde Baru
Dwi Koen merilis Komik Panji Koming pada periode-periode perpolitikan yang cukup sensitif yaitu periode Orde Baru.
Orde Baru seringkali tidak mengizinkan kritik-kritik yang disampaikan secara terbuka. Tak heran apabila pada periode tersebut banyak media massa yang dibredel oleh pemerintah.
Pertimbangan inilah yang agaknya membuat kritik-kritik yang disampaikan oleh Komik Panji Koming selalu dibuat samar-samar.
Mengutip dari, ‘‘Umberto Eco dan Pembaca yang Berkeringat” (2022), Komik Panji Koming selalu menyapa para pembacanya untuk selalu tersenyum sembari merenung, dua hal yang bisa dikatakan berlawanan dan sulit dilakukan masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru.
Dwi Koen menghadirkan ciri khas yang berbeda antara komik ciptaannya dengan komik-komik lainnya. Misalnya, pada komik-komik strip lainnya kritik politik disertai dengan lelucon cabul dan dianggap rendahan.
Salah satu isi dari Komik Panji Koming yang cukup terkenal adalah ketika komik tersebut mengambil latar zaman Majapahit yang disandingkan dengan Orde Baru,
Dwi Koen menjelaskan zaman Majapahit dan Orde Baru sama-sama memiliki banyak intrik politik di kalangan penguasa.
Tak hanya itu, tipu muslihat untuk memenangkan kepentingan politiknya juga dianggap memiliki kesamaan. Dwi Koen juga menambahkan, keduanya sama-sama menghalalkan jalan-jalan kekerasan dalam memuluskan rencananya.
Gambaran yang dibuat oleh Dwi Koen ini merupakan analogi yang menarik. Ia mampu mengkorelasikan antara masa lalu dengan masa ketika ia membuat komik tersebut
Panji Koming di Era Reformasi
Ketika Orde Baru resmi berakhir keterbukaan terhadap pers pun menjadi angin segar bagi media massa, termasuk Kompas. Berita-berita yang terkesan tabu pun semakin gamblang untuk ditulis.
Kritik-kritik tajam terhadap Suharto, keluarga Cendana hingga Dwi Fungsi ABRI bisa disampaikan dengan jelas bahkan vulgar.
Berbeda halnya dengan media-media lain, Kompas melalui Komik Panji Koming berusaha untuk menyampaikan kritik secara halus tetapi tetap memberikan pencerahan dan hiburan bagi para pembacanya.
Panji Koming tetap memberikan kritikan dengan balutan humornya yang khas. Meskipun, zaman sudah berubah, satire-satire politik yang disampaikan dalam Panji Koming tak berubah. Padahal besar peluang bagi Komik Panji Koming menyampaikan kritikan secara to the point.
Kritik yang disampaikan oleh Dwi Koen sebenarnya tak hanya berkaitan dengan isu politik. Salah satu isu yang pernah ia sampaikan pada tahun 2016 adalah berkaitan dengan dunia pendidikan.
Mengutip dari, “Bunga yang Tak Dikehendaki: Senarai Kisah-Kisah Manusiawi” (2020), di komik lain, Dwi Koen pernah menyalurkan kritikannya terhadap kurikulum pendidikan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016. Kritikan tersebut ia sampaikan melalui komik yang rilis pada 23 Oktober 2016.
Dwi Koen memberikan pesan bahwa Kemendikbud terkesan terlalu terburu-buru dalam menerapkan kurikulum yang ada. Tak hanya itu, Kemendikbud juga dianggap hanya berfokus pada persoalan teknis ketimbang akhlak dan budi pekerti. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)