harapanrakyat.com,- Fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan hanya terjadi di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Akademisi sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh, Dr Erlan Suwarlan, S.IP., M.I.Pol, mengatakan pada 2015 setidaknya ada tiga daerah yang pilkadanya melawan kotak kosong.
“Soal Kotak Kosong, saya mundur dulu ke belakang. Sekitar tahun 2015 ada tiga daerah yang pilkadanya melawan kotak kosong, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara,” katanya, Jumat (23/8/2024).
Baca Juga: Herdiat-Yana Lawan Kota Kosong di Pilkada Ciamis, Kaderisasi Partai Gagal?
Selain itu, lanjut Erlan, banyak juga daerah yang mengalami hal yang serupa. Lantas kenapa sampai terjadi fenomena kotak kosong dalam Pilkada?
Menurut Erlan, ada banyak faktor yang membuat suatu daerah pilkadanya melawan kotak kosong. Namun, ia menyebut, akar persoalan yang paling mendasar adalah karena adanya ambang batas pencalonan.
“Ambang batas pencalonan ini, baik dalam pilpres maupun pilkada adalah sumber utama terjadinya politik transaksional. Sementara politik transaksional itu menggelinding dari awal pencalonan hingga setelah terpilih, bahkan berimbas ke jual-beli jabatan di SKPD. Ini fakta!” Jelasnya.
Ambang batas juga, kata Erlan, menyebabkan high cost politic. High cost politic ini memiliki dua sisi.
“Di satu sisi menyebabkan orang tidak berani mencalonkan, karena mahal. Di sisi yang lain bisa menyebabkan menghalalkan segala cara,” katanya.
Faktor Penyebab Munculnya Kotak Kosong Dalam Pilkada Ciamis
Sementara, lanjut Erlan, dalam konteks Ciamis, Pilkada 2024 tidak menarik lantaran petahana, Herdiat-Yana bakal melawan kotak kosong setelah 9 partai politik menyatakan dukungannya untuk pasangan ini.
“Selain soal ambang batas, kotak kosong bisa terjadi karena partai politik sebagai domain utama pengusung digelayuti banyak persoalan. Misalnya, lemahnya leadership di partai, sehingga dia gamang mau mencalonkan siapa? Karena merasa tidak punya figur yang menjanjikan,” katanya.
Faktor lainnya, menurut Erlan, adalah karena parpol tidak memiliki kemandirian dalam pendanaan.
“Persoalan ini (pendanaan) telah banyak menyebabkan (parpol) jadi spesialis rental kendaraan saja,” kata Erlan.
Baca Juga: PDI Perjuangan Usung Herdiat-Yana di Pilkada Ciamis 2024, Diumumkan Langsung DPP
Erlan menuturkan, kotak kosong memang dibolehkan pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi bagi demokrasi hal ini menjadi sangat tidak menarik. Padahal demokrasi mesti melahirkan banyak pilihan calon pemimpin.
“Ciamis sebetulnya masih berpeluang untuk tidak terjadinya melawan kotak kosong, yakni jika partai di luar KIM (Koalisi Indonesia Maju) benar-benar struggle dan siap bertanding,” katanya.
Sementara koalisi gemuk yang saat ini terjadi menjelang Pilkada Ciamis, menurut Erlan, belum tentu sebagai representasi aklamasi.
“Koalisi gemuk bisa dimaknai juga bahwa partai-partai yang ada sudah menyerah, dengan berbagai alasan. Meski belakangan koalisi partai yang terjadi malah semakin menguatkan terjadinya melawan kotak kosong,” katanya.
Bagaimana jika nantinya kotak kosong yang menang? Menurut Erlan jika terjadi, maka hal itu sesungguhnya tamparan keras bagi calon tunggal yang ada.
“Berikutnya akan mengeluarkan lebih banyak biaya, karena pemilihan diulang pada berikutnya,” kata Erlan.
Kepercayaan Publik Tinggi Terhadap Herdiat-Yana
Sementara di sisi lain, kata Erlan, pasangan Herdiat-Yana banyak yang mendukung lantaran masih dinilai baik. Begitu juga kepercayaan publik terbilang masih tinggi.
“Saya kira itu baik. Namun, jauh hari sebetulnya masih memungkinkan didesain lebih banyak pilihan. Ini kembali ke partai, mau atau tidak, karena partai adalah training ground (tempat latihan) untuk lahirnya para pemimpin. Simpelnya, jangan jadi ketua DPC kalau gak berani nyalon,” tegas Erlan.
Erlan pun mengakui, untuk mengusung satu pasangan calon dalam Pilkada, kalkulasi politiknya tidak sesederhana itu.
“Namun, dalam posisinya sebagai training ground lahirnya para pemimpin, ya harus berani nyalon,” katanya.
Apalagi, lanjut Erlan, putusan MK nomor 60, memungkinkan terjadinya banyak pilihan. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Baca Juga: PKS Resmi Dukung Pasangan HY di Pilkada Ciamis
“Itu berbunyi bahwa MK memutuskan untuk mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon oleh partai politik. Di mana yang semula memerlukan perolehan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah, menjadi lebih rendah. Yakni 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap. Hal ini seharusnya dimanfaatkan oleh partai-partai yang ada (untuk mengusung satu calon),” pungkasnya. (Fahmi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)