Suwarsih Djojopuspito adalah salah satu tokoh yang penting untuk kita ketahui di Indonesia. Beliau merupakan sastrawan feminis dan nasionalis terkemuka di Indonesia. Dengan karya-karyanya yang menggambarkan kehidupan rakyat pribumi di bawah penjajahan Belanda, ia memberikan suara bagi mereka yang tertindas dan bungkam.
Baca Juga: Profil Erna Djajadiningrat, Pejuang Perempuan Penerima Bintang Gerilya dari Divisi Siliwangi
Karya paling monumental dari Suwarsih adalah “Buiten Het Gareel,” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Manusia Bebas”. Karya inilah yang menjadi saksi kekuatan kritiknya terhadap kolonialisme.
Suwarsih Djojopuspito dan Latar Belakangnya
Suwarsih lahir di Cibatok, Bogor, Jawa Barat, pada 20 April 1912, dengan nama kecil Cicih. Ia adalah anak dari Raden Bagoes Noersaid Djojosapoetro, yang sangat mendukung pendidikan dan kesetaraan bagi anak-anak perempuannya. Ayahnya memastikan Suwarsih mendapatkan pendidikan yang baik, dimulai dari Sekolah Kartini dan kemudian MULO di Bogor.
Pada tahun 1928, Suwarsih melanjutkan pendidikan di Europese Kweekschool di Surabaya, sebuah sekolah guru yang mempersiapkannya untuk menjadi pendidik. Setelah lulus, Suwarsih mengajar di berbagai sekolah di Jawa, termasuk Perguruan Rakyat, Taman Siswa, Perguruan Pasundan Istri, dan HIS.
Selama masa mengajar, Suwarsih bertemu dengan Soegondo Djojopuspito. Beliau adalah tokoh pemuda Indonesia yang terkenal karena memimpin Kongres Pemuda II pada 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Mereka menikah pada tahun 1932 dan memiliki tiga anak, yakni Sunartini, Sunarindrati, dan Sunaryo Djojopuspito. Nama belakangnya setelah menikah berubah menjadi Djojopuspito.
Karier sebagai Penulis dan Sastrawan
Sejak awal kariernya sebagai guru, Suwarsih Djojopuspito sudah terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia dan proyek pendidikan. Ia mulai menulis esai-esai dalam bahasa Belanda yang mengkritik praktik poligami dan mempromosikan kesetaraan gender.
Karya-karya Suwarsih dipublikasikan di berbagai majalah berbahasa Belanda. Sebagai contoh seperti Critiec en Opbouw, Het Inzecht, dan Orientatie. Inilah yang memberikan platform untuk kritiknya terhadap pemerintah kolonial.
Novel “Buiten Het Gareel”
Pada tahun 1937, Suwarsih Djojopuspito menulis novel dalam yang berbahasa Sunda dengan judul “Maryanah”. Novel ini mengisahkan kehidupan rakyat biasa di bawah penindasan kolonial. Naskah ini awalnya Balai Pustaka tolak karena menurut mereka terlalu politis.
Namun, setelah bertemu dengan redaktur Eddy Du Peron, Suwarsih mendapatkan saran untuk menulis ulang novelnya dalam bahasa Belanda. Hasilnya adalah “Buiten Het Gareel,” yang terbit pada tahun 1940 oleh penerbit Vrij Nederland di Utrecht, Belanda.
“Buiten Het Gareel” adalah salah satu dari sedikit novel yang orang Indonesia tulis dalam bahasa Belanda. Novel ini menggambarkan kehidupan guru-guru Indonesia di “sekolah liar,” yang merupakan sekolah-sekolah independen. Sekolah ini berdiri sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.
Baca Juga: Sejarah Samin Surosentiko, Lawan Penjajah Tanpa Kekerasan
Suwarsih dengan cermat mengilustrasikan dedikasi para guru terhadap gerakan nasionalis Soekarno dan perjuangan mereka melawan kemiskinan. Ia juga mengangkat perjuangan melawan ketidakadilan dari pemerintah kolonial.
Kritik terhadap Kolonialisme
Suwarsih terkenal sebagai penulis yang berani dan terang-terangan dalam kritiknya terhadap kolonialisme Belanda. Karyanya merupakan bentuk perlawanan pasif terhadap pemerintah kolonial yang terus membungkam suara-suara perlawanan. Hazil Tanzil, seorang kritikus sastra, menyatakan bahwa Suwarsih secara terbuka mengkritik penjajah dengan memaparkan nasib rakyat yang terbungkam.
Meskipun tulisannya mengandung kritik tajam dan sulit mendapatkan penerbit di Indonesia, Suwarsih tidak menyerah. Suwarsih mencari penerbit di Belanda agar kehidupan rakyat Indonesia dapat dunia lihat. HB Jassin, seorang kritikus sastra ternama, memuji daya observasi Suwarsih yang kuat dan kemampuannya melukiskan suasana dan watak dengan tepat.
Selain menulis, Suwarsih Djojopuspito juga aktif dalam dunia politik. Ia menjadi anggota Komite Nasional Pusat (KNP) dari tahun 1945 hingga 1950. Ia juga menjabat sebagai Wakil Biro Perjuangan Bagian Wanita antara tahun 1946 hingga 1947. Aktivisme politiknya menunjukkan komitmennya terhadap kemerdekaan dan kesetaraan di Indonesia.
Akhir Hayat
Pada tahun 1975, “Buiten Het Gareel” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, terbit dengan judul “Manusia Bebas” oleh Penerbit Djambatan di Jakarta. Penerjemahan ini menandai pengakuan yang lebih luas terhadap karya Suwarsih di Indonesia.
Suwarsih aktif menulis hingga tahun 1970-an. Ia menghasilkan karya-karya seperti “Tudjuh Tjeritera Pendek,” “Empat Serangkai,” dan “Siluman Karangkobar”. Ia meninggal pada 24 Agustus 1977 di Yogyakarta di Pemakaman Taman Wijayabrata Tamansiswa.
Pada tahun 2013, Suwarsih dianugerahi tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma. Ini sebagai pengakuan atas kontribusinya terhadap sastra dan budaya Indonesia.
Baca Juga: Mengenal Sastrawan Betawi S.M Ardan dan Karya-karyanya
Itulah kisah dari Suwarsih Djojopuspito yang dapat kita jadikan pelajaran berharga di bidang sastra di Indonesia. Melalui karyanya, Suwarsih tetap menjadi suara penting dalam sejarah sastra Indonesia. Ini mengingatkan kita akan kekuatan kata-kata dalam memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan. (R10/HR-Online)