Kisah Bj Habibie turunkan dolar saat masa krisis menarik untuk dibahas. Pasalnya nilai tukar dollar terhadap rupiah akhir-akhir ini menyentuh angka yang cukup mengkhawatirkan. Kurs rupiah sudah menyentuh angka 16 ribuan dan hampir mendekati angka ketika masa krisis di era Orde Baru.
Tentu saja hal ini menjadi salah satu hal yang mengkhawatirkan di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang semakin melemah. Indonesia di masa akhir Orde Baru sebenarnya pernah merasakan hal yang serupa.
Melihat kondisi yang serba sulit tersebut faktanya Presiden BJ. Habibie yang menggantikan tugas Presiden Soeharto mampu membuat rupiah kembali menguat. Tercatat nilai rupiah yang awalnya Rp. 16.800 per dolar AS berhasil menjadi Rp. 7.385 per dolar AS.
Baca Juga: Sejarah BAPERKI Bubar, Diduga Berafiliasi dengan PKI
Upaya Habibie Turunkan Nilai Dolar
Sejak akhir tahun 1997, tanda-tanda akan terjadinya krisis di Indonesia semakin jelas terlihat. Hal ini tak hanya dalam konteks perekonomian, melainkan juga dalam konteks perpolitikan.
Tanda-tanda keruntuhan Orde Baru menjadi semakin terlihat dan resmi berakhir ketika Presiden Soeharto turun dari tampuk kekuasaannya.
Namun, dibalik mundurnya Presiden Soeharto dan dimulainya era baru, yaitu era reformasi, terdapat fakta bahwa BJ. Habibie harus naik menjadi presiden Indonesia.
Mengutip dari, “Dari Panggung Sejarah Bangsa: Belajar dari Tokoh dan Peristiwa” (2020), Meskipun telah naik menjadi presiden yang sah secara konstitusional, suara-suara yang mempersoalkan posisinya terdengar menjadi sangat nyaring.
BJ. Habibie dianggap sebagai murid dan bagian dari antek Orde Baru, sehingga naiknya BJ. Habibie sebagai presiden adalah hal yang percuma.
Meskipun, penuh dengan cemoohan, terdapat dua pakar Hukum Tata Negara yang getol membela keputusan tersebut yaitu, Ismail Sunny dan Yusril Ihza Mahendra.
Selain dihadapkan pada suara-suara yang tidak merestuinya sebagai presiden, BJ. Habibie juga harus menghadapi nilai mata uang Indonesia yang semakin melemah.
Tercatat per 20 Mei 1998, nilai tukar rupiah ke dolar mencapai Rp.16.800 per dolar AS dan pada 20 Oktober 1999 menjadi Rp. 7.382 per dolar AS.
Tak hanya sukses dalam menguatkan nilai mata uang rupiah, BJ. Habibie juga diketahui sukses memecahkan masalah antrian sembako yang seringkali terjadi di Indonesia kala itu.
A.M Saefuddin yang menjabat sebagai Menteri Pangan dan Hortikultura menuturkan, setiap jam 11 malam, ia selalu ditelpon BJ. Habibie untuk mengecek ketersediaan bahan pangan.
Baca Juga: Sejarah Pengakuan Tionghoa Indonesia dan Kondisi Kehidupannya
Kebijakan Ekonomi
BJ. Habibie sempat diragukan untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi waktu itu, nyatanya BJ. Habibie berhasil membawa masa-masa transisi kekuasaan di Indonesia menjadi lebih baik.
Mengutip dari, “The Wisdom of Habibie” (2022), dengan segala kebijakan yang BJ. Habibie buat, hal ini bisa membawa kondisi ekonomi Indonesia bangkit. Ada banyak kebijakan beliau yang menjadi pondasi bagi kehidupan Indonesia setelahnya.
Salah satu kebijakan ekonomi yang ia terapkan kala itu adalah dengan menerbitkan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan yang tidak sehat. Undang-undang ini menjadi dasar BJ. Habibie dalam memberantas praktek monopoli yang terjadi.
BJ. Habibie juga melakukan upaya pengendalian terhadap uang yang beredar di masyarakat dengan cara menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi 70% dan menerapkan bank sentral independen.
Tak hanya itu, BJ. Habibie juga menutup 36 bank dan mengambil alih 7 bank yang bermasalah. Dalam bidang perbankan lainnya, ia juga menerbitkan obligasi untuk menanganinya.
Beberapa proyek yang dianggap kurang strategis seperti mobil nasional. Hingga infrastruktur ia hentikan dan melakukan program jaring pengaman nasional.
Upaya BJ Habibie ini terbukti sukses turunkan dolar dan membuat rupiah kembali menguat. Dampak lainnya, inflasi menurun dan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik.
Kebijakan Politik Era Reformasi
Selain menerapkan kebijakan ekonomi, pada masa BJ. Habibie juga menerapkan beberapa kebijakan politik yang sempat terabaikan pada masa Orde Baru.
Memang tidak mudah bagi BJ. Habibie dalam mengeluarkan kebijakan politik yang menjadi permasalahan pada masa Orde Baru. BJ. Habibie harus menghadapi tuntutan-tuntutan kaum prodemokrasi.
Mengutip dari, “Kekuatan-kekuatan politik Indonesia kontestasi ideologi dan kepentingan”, (2016), terdapat beberapa tuntutan dari kaum-kaum prodemokrasi ini seperti, pembatasan masa jabatan presiden, perubahan sistem kepartaian, desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah, kebebasan pers, pemilihan umum yang jujur dan adil, dan pemberantasan KKN
Untuk merealisasikan tuntutan tersebut salah satu kebijakan pada masa Presiden BJ. Habibie adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Undang-undang ini menjadi landasan bagi kebebasan pers dan menjadi lawan bagi pembredelan yang seringkali terjadi pada masa Orde Baru.
Kebijakan lain yang tak kalah pentingnya adalah mengenai otonomi daerah yang terangkum dalam Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
Undang-undang ini memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengelola daerah sendiri. Alasan lainnya adalah karena banyaknya isu mengenai disintegrasi yang terjadi di beberapa daerah.
Baca Juga: Sejarah Revolusi Indonesia, Popularitas Ideologi Sosialisme
BJ. Habibie juga sempat mengeluarkan Inpres nomor 26 tahun 1999 dan Inpres nomor 4 tahun 1999 yang menjadi payung hukum terhadap etnis Tionghoa yang mendapatkan diskriminasi kala itu.
Melalui aturan inilah larangan-larangan yang diberlakukan kepada etnis Tionghoa perlahan dihilangkan. Apalagi sejak masa Orde Baru sentimen terhadap kelompok ini sangatlah kuat.
Upaya politik terakhir BJ. Habibie yang menjadi kontroversi adalah melakukan referendum terhadap Timor Leste. Kebijakan referendum atau pemisahan ini sebenarnya ditentang banyak pihak, terutama dari kalangan militer.
Kebijakan BJ. Habibie memang cukup memukau banyak orang, meskipun ia seringkali mendapatkan cemoohan dari banyak pihak.
Jika melihat sejarahnya, BJ. Habibie merupakan presiden yang sukses dalam mengendalikan masa-masa krisis Indonesia dalam waktu yang singkat. (Azi/R7/HR-Online/Editor: Ndu)