Banjar, (harapanrakyat.com),- Terkait dengan studi banding yang dilakukan Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) kuliner Doboku dan Pajajaran ke Kota Semarang dan Solo, mengenai tata cara pengelolaan PKL, para pengelola PKL berharap pihak pemerintah menindaklanjuti apa yang dihasilkan dari studi banding tersebut.
Ketua Paguyuban PKL Doboku, Tanto, mengatakan, selesai dari studi banding banyak yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Banjar melalui dinas terkait, diantaranya Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop), Satpol PP, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Lingkungan Hidup (DKPLH), serta aparat Kepolisian.
Lantaran, apa artinya studi banding kalau pemerintah sendiri tidak bisa menerapkan/mengimplementasikan hasil dari studi banding tersebut di daerahnya. Dikatakan Tanto, suksesnya sebuah program bukan hanya kesiapan dari masyarakatnya saja, tapi juga perlu dukungan dari pihak pemerintah.
“Kami di sana tujuannya sharing, baik dengan para PKL-nya maupun pemerintahnya. Melihat kesuksesan PKL kuliner di sana, itu melibatkan banyak dinas terkait. Sistem pemerintahannya sangat berpihak pada pedagang kuliner, bahkan walikotanya pun disana terlibat langsung,” tuturnya, Senin (5/12).
Jika semua dinas terkait turun, kata Tanto, maka perkembangan kawasan kuliner, khususnya Doboku, bisa lebih pesat lagi. Pihaknya ingin kawasan Doboku menjadi icon kuliner di Kota Banjar, pasalnya lokasi ini sangat berpotensi dijadikan tempat rekreasi, sekaligus wisata kuliner.
Untuk itu, dia ingin mengadakan duduk bersama dengan para pejabat terkait, termasuk walikota, guna menyampaikan hasil dari studi banding tersebut. Dan, tindak lanjut dari pemerintah sendiri akan seperti apa.
Sebab, banyak hal didapat dari hasil studi banding yang bisa diterapkan di kawasan kuliner Doboku. Salah satu contohnya yaitu masalah kebersihan, di Semarang dan Solo ada petugas khusus dari dinas terkait yang secara rutin membersihkan kawasan kuliner.
“Kalau kita di sini, dari mulai kebersihan, keamanan dan keteriban, itu semua dilakukan oleh petugas Linmas,” ujarnya.
Dikatakan Tanto, berdirinya kawasan kuliner Doboku bukan hasil dari sebuah program pemerintah, tetapi murni aspirasi masyarakat sekitar hingga akhirnya bisa maju dan berdiri sendiri.
Setelah maju baru dilirik oleh pemerintah, yaitu dengan diberikannya bantuan berupa pembangunan lapak secara permanen. Selain itu, pemerintah juga melibatkan para PKL Doboku untuk mengikuti studi banding bersama PKL Wiskul Pajajaran, yang mana Wiskul Pajajaran merupakan hasil dari program pemerintah.
Namun diakui Tanto, bahwa dengan diliriknya PKL Doboku oleh pemerintah, maka pihaknya merasa bersyukur sebab hal itu merupakan sebuah legalitas usaha bagi para pedagang.
Lantaran, dengan adanya legalitas usaha, berarti para PKL yang berjumlah 40 pedagang, tidak akan digusur oleh pemerintah. Sedangkan, bantuan fasilitas usaha berupa materi atau barang adalah kebutuhan nomor dua.
Pendapat serupa juga dikatakan Kepala Koppas Warga Usaha Banjar, sekaligus pengelola PKL Wiskul Pajajaran, Enceng. Menurutnya, memang hasil dari studing banding tersebut banyak yang bisa diterapkan di Kota Banjar.
“Sekarang tinggal pemerintahnya, siap atau tidak. Kemudian, para pedagangnya juga jangan manja, artinya mereka harus mempunyai mental dan jiwa usaha, bukan pedagang coba-coba, jadi harus konsekuen dengan aturan yang telah disepakati sebelumnya,” kata Enceng.
Lanjut dia, selama ini berbagai upaya memang telah dilakukan pemerintah untuk memajukan wisata kuliner, khususnya Wiskul Pajajaran yang sebelumnya di Jl. BKR, namun upaya itu tidak membuahkan hasil yang baik.
Dengan dilakukannya studi banding ke dua daerah tersebut, setidaknya bisa membuka wawasan dan membangkitkan kembali gairah usahanya untuk memajukan wisata kuliner di Kota Banjar.
Bukan hanya itu, instansi terkait pun harus bersatu dalam memajukan wisata kuliner di daerahnya, seperti yang dilakukan di Kota Semarang dan Solo. Kemudian, pemerintah harus tegas tapi bijak dalam menerapkan aturan-aturannya.
Enceng menambahkan, bahwa di lokasi wisata kuliner harus ada pedagang yang sudah besar usahanya, hal itu untuk memancing keramaian pengunjung. Usulan tersebut sebelumnya sudah pernah disampaikan, namun para pedagang menolak dengan alasan pedagang yang sudah besar tidak perlu ditempatkan di wiskul karena dapat mematikan usaha pedagang lain.
“Setelah mereka melihat langsung di sana, diharapkan ada dampak bagi mereka untuk terus bersemangat dan mau mengaplikasikan hasil studi bandingnya itu,” pungkas Enceng. (Eva)