Sejarah mencatat kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu kerusuhan dan demonstrasi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Momen kerusuhan anti pemerintah ini terjadi di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, hingga Surakarta. Sebenarnya kerusuhan tersebut juga terjadi di daerah-daerah lainnya.
Permasalahan utama dari kerusuhan tersebut adalah berkaitan dengan ekonomi di Indonesia yang tak kunjung membaik.
Kerusuhan yang terjadi menyebabkan penjarahan di mana-mana hingga kasus pemerkosaan yang menyasar etnis Tionghoa.
Masalah Ekonomi Jadi Latar Belakang Sejarah Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 merupakan catatan kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. kerusuhan ini dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi yang berdampak terhadap krisis politik.
Penyebab krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 itu juga akibat kondisi perekonomian Asia dan dunia yang semakin tidak terkendali. Puncaknya, peristiwa ini rezim Orde Baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun jatuh.
Mengutip dari “Detik-Detik Terjadinya Kerusuhan Mei 1998” (2020), sejak tahun 1997 sebenarnya krisis ekonomi sudah sangat terlihat. Hal ini ditandai dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar di Indonesia.
Orde Baru menyelesaikan krisis keuangan yang terjadi kala itu dengan cara menutup 16 bank swasta. Hal ini justru membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin merosot.
Kejatuhan nilai rupiah pun tidak terkendali akibatnya masyarakat menjadi panik dan melakukan pembelian besar-besaran terhadap kebutuhan pokok, baik di pasar-pasar tradisional maupun swalayan.
Kondisi ini diperparah dengan naiknya Soeharto sebagai presiden Indonesia untuk yang ketujuh kalinya. Tak hanya itu, menurut beberapa pihak susunan Kabinet Pembangunan IV sangat kental dengan nuansa nepotisme.
Kekacauan pun terus berlanjut, mahasiswa turun ke jalan, mereka protes dan demonstrasi. Bentrokan pun tak terhindarkan yang menyebabkan korban luka-luka hingga meninggal dunia.
Baca Juga: Sejarah Kerusuhan Anti Cina di Indonesia yang Jarang Terungkap
Penjarahan Toko-Toko Tionghoa
Tak hanya kerusuhan dan bentrokan antara mahasiswa dan aparat, peristiwa lainnya yang tak kala memilukan adalah maraknya penjarahan terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Mengutip dari “Instalasi Sunaryo (1998-2003): Saksi Tragedi Kemanusiaan” (2007), saat itu, Mei 1998 seperti menjadi bulan penuh gejolak dalam sejarah Indonesia. Langit mendung, pekat oleh asap hitam. Bumi terasa panas karena merahnya api.
Kerusuhan dan penjarahan melahap Jakarta. Menjelang tengah bulan, kekacauan juga merayap di beberapa penjuru Tanah Air.
Penjarahan tersebut terjadi terutama terhadap toko milik orang-orang Tionghoa. Memang nuansa sentimen etnis kala itu menjadi sangat kental.
Tak hanya itu, beberapa fasilitas umum hingga perkantoran turut menjadi sasaran. Kasus pembakaran inilah yang menyebabkan banyaknya korban jiwa yang meninggal
Banyak dari korban tersebut terjebak di gedung-gedung akibat aksi pembakaran yang dilakukan. Alhasil banyak dari mereka yang tidak bisa keluar dari gedung-gedung.
Amukan massa dalam menjarah toko-toko Tionghoa semakin tak terkendali. Oleh karena itu, mereka pun menulis di toko-tokoh mereka dengan tulisan “milik pribumi”.
Tulisan itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa toko tersebut dimiliki orang-orang pribumi, sehingga terhindar dari penjarahan.
Kisah memilukan ini menjadi sorotan dunia kala itu. Berbagai pemberitaan kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di Jakarta, Surakarta dan Medan menjadi perhatian dunia internasional.
Baca Juga: Sejarawan Ong Hok Ham dan Tulisannya yang Bikin Naik Darah Mafia Orba
Pemerkosaan terhadap Etnis Tionghoa
Mengutip dari “Kaleidoskop Menolak Lupa: 13 Tanggapan atas 25 Kisah Drama dalam Puisi Esai Denny JA Soal Kerusuhan Primordial di 5 Wilayah Era Reforma” (2022), pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa pada bulan Mei 1998 bukanlah bentuk pemerkosaan yang selama ini dipahami masyarakat.
Pemerkosaan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 bukan hanya karena nafsu dan bertujuan memuaskan libido.
Terdapat pola tertentu yang cukup mengerikan apabila kita bandingkan dengan pemerkosaan pada umumnya. Ciri khas pada kasus-kasus yang terjadi adalah terdapat pola penganiayaan hingga pembunuhan terhadap para korban.
Pola para pelaku pemerkosaan seolah merupakan upaya untuk membuat teror hingga menundukkan lawan baik secara individu maupun komunitas.
Terdapat cukup kesulitan dalam menegakkan kasus-kasus pemerkosaan tersebut, salah satunya berkaitan dengan data korban yang ada.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPH) menuturkan setidaknya ada sebanyak 52 orang yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Namun, Kayanamitra menuturkan setidaknya ada lebih dari 150 orang yang menjadi korban.
Presiden BJ Habibie yang kala itu menjabat sebagai presiden mengganti Presiden Soeharto kemudian menindaklanjuti kasus-kasus tersebut. Salah satu kebijakannya yang terkenal kala itu adalah menginisiasi berdirinya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Baca Juga: Tragedi Revolusi Berdarah, Kronik Gelap Etnis Tionghoa di Jawa Tahun 1945-1947
Namun, meskipun berbagai upaya telah dilakukan baik secara kelembagaan maupun undang-undang, kasus-kasus pemerkosaan ini menguap begitu saja, seiring dengan hilangnya catatan-catatan sejarah para korban. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)