Profil Profesor Saharjo merupakan salah satu tokoh Indonesia yang berperan penting dalam ranah hukum di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada masa Kabinet Kerja 1, tepatnya tahun 1959 hingga 1960.
Baca Juga: Museum Muhammadiyah, Upaya Menggali Tokoh Nasional dalam Sejarah Islam yang Terlupakan
Banyak pihak yang menilai bahwa pandangannya mengenai hukum di Indonesia tidak bisa terpisahkan dari latar belakang kehidupannya yang berasal dari keluarga Jawa.
Gagasan lain yang cukup penting adalah mengenai Hari Pemasyarakatan setiap tanggal 27 April. Penetapan Hari Pemasyarakatan ini dalam rangka mengubah stigma penjara sebagai sesuatu yang negatif.
Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas tentang Profesor Saharjo, tokoh hukum Indonesia yang mencetuskan Hari Pemasyarakatan.
Profil Profesor Saharjo Tokoh Hukum di Indonesia
Mengutip dari buku berjudul “Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Volume 4” (1995). Sahardjo yang penampilannya halus, tenang dan serba sederhana itu lahir di Solo yang merupakan ibukota dari Kerajaan Surakarta, Jawa Tengah.
Ia lahir pada tanggal 26 Juni 1909 dan merupakan putra sulung dari Raden Ngabei Sastroprayitno. Ayahnya merupakan abdi dalem dari Keraton Surakarta yang memiliki kedudukan cukup tinggi.
Hal inilah yang membuat ia dapat bersekolah di ELS (Europese Lagere School) yang menggunakan bahasa Belanda dalam pelajarannya.
Padahal ketika itu sangat jarang ada anak pribumi yang bisa bersekolah di ELS, kecuali orang tuanya merupakan pejabat daerah atau keturunan ningrat.
Melihat dari profil Profesor Saharjo, ia lulus ELS pada tahun 1922, kemudian melanjutkan di STOVIA yang ada di Jakarta. Walaupun satu tahun kemudian ia pindah ke AMS dan berhasil menyelesaikan masa pendidikannya pada tahun 1927.
Baca Juga: Profil Haji Misbach, Tokoh Islam-Komunis yang Aktif Lawan Belanda
Masa hidup Saharjo berbarengan dengan era-era pergerakan nasional. Ketika itu salah satu organisasi yang cukup populer adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI), pendirinya Soekarno dan beberapa rekannya.
Oleh karena itulah, Sahardjo kemudian memutuskan untuk bergabung ke dalam Perguruan Rakyat (PR) yang sebenarnya juga pendirinya adalah orang-orang PNI.
Masuknya Profesor Saharjo ke dalam Perguruan Rakyat inilah yang membawanya berkiprah dalam dunia hukum di Indonesia.
Apalagi ketika itu ia sering berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang juga bergerak di bidang hukum. Hal ini membawanya masuk ke bangku RHS atau Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum).
Melalui perjuangannya yang cukup berat, Profesor Saharjo akhirnya berhasil menyelesaikan studinya di RHS pada tahun 1941. Setelah tamat, maka resmilah ia menyandang gelar Mr atau Meester in de Rechten.
Tokoh Hukum Indonesia
Mengutip dari buku “Dr. Sahardjo SH” (1983), dalam profil Profesor Saharjo dapat kita ketahui kalau ia sebagai salah satu penganut kebatinan Jawa atau Kejawen yang patuh. Oleh karena itulah, sifat-sifat pribadinya diwarnai dengan sikap Sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Sikapnya dalam memandang kehidupan berbangsa dan bernegara ini tercermin pula dalam sikapnya ketika memandang hukum. Ia menganggap hukum sebagai jiwa suatu masyarakat dan bangsa.
Baca Juga: Sejarah Ndoro Bakulan, Raja Pedagang di Jawa Tengah Abad 17
Jika berkaitan dengan Pancasila, ia menganggap bahwa Pancasila ini sebagai lima butir mutiara yang digali dalam bumi sendiri. Lima butir mutiara itu yang digali dari pancaran kepribadian bangsa Indonesia.
Kiprah Sahardjo dalam dunia hukum memang tidak perlu diragukan lagi. Setelah tamat dari sekolah hukum, Saharjo sempat bekerja di Departemen van Justisi Pemerintah Hindia Belanda.
Selama masa pendudukan Jepang, ia juga menjadi Wakil Kepala Kantor Kehakiman (Hooki Kyokoyu) yang ketuanya adalah Prof. Mr. Dr Supomo.
Kedekatannya dengan Prof. Mr. Dr. Supomo inilah yang membawa Saharjo menjadi bagian dari Panitia Perencanaan yang bertugas merancang pasal demi pasal Undang Undang Dasar RI.
Produk hukum lainnya yang pernah ia hasilkan selama menjadi Kepala Bagian Hukum Tata Negara Kementerian Kehakiman adalah UU Kewarganegaraan Indonesia Tahun 1947 dan 1958.
Ia juga pernah merancang UU Pemilihan Umum pada tahun 1953, dan menjadi salah satu orang yang bertugas untuk merencanakan UUD RIS.
Hari Pemasyarakatan
Jasa lain yang tak kalah penting dari profil Profesor Saharjo adalah mengenai istilah “Penjara” menjadi “Pemasyarakatan”. Ia juga mengganti istilah “Narapidana” menjadi “Orang terhukum”.
Mengutip dari buku berjudul “Sistem Pemasyarakatan di Indonesia” (2023). Perkembangan sistem pemasyarakatan dengan lembaga pemasyarakatan memang dipengaruhi oleh sejarah kolonialisme yang panjang.
Oleh karena itu, stigma mengenai penjara seringkali menjadi sesuatu yang mengerikan dan tidak berkemanusiaan.
Profesor Saharjo memandang bahwa stigma mengenai penjara ini haruslah berganti. Salah satu usulannya adalah melalui pergantian istilah-istilah dalam lembaga pemasyarakatan waktu itu.
Melalui Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. JH6.8.506 tanggal 17 Juni 1964, nama Rumah Penjara kemudian berganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan.
Keputusan ini sendiri muncul setelah adanya Konferensi Direktur-Direktur Penjara pada 27 April-7 Mei 1964.
Melalui hasil konferensi tersebut, maka setiap tanggal 27 April akan diperingati sebagai Hari Pemasyarakatan.
Profesor Saharjo berprinsip bahwa para narapidana tersebut harus mendapatkan perlakuan selayaknya manusia, meskipun pada awalnya mereka sempat tersesat.
Jangan sampai memperlakukan mereka sebagai penjahat. Setiap orang yang hidup adalah makhluk kemasyarakatan dan tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat. Oleh karena itulah sudah sepatutnya istilah itu diganti.
Baca Juga: Sejarah Etnik Jawa di Suriname, Awalnya dari Jawa Tengah?
Gagasan profesor Saharjo pun mendapatkan persetujuan, terutama dari para peserta sidang dalam Konferensi Direktur-Direktur Penjara pada tahun 1964. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)