Masjid tertua di Bandung Utara, Jawa Barat, tepatnya di Jalan RAA Wiranatakusumah, dirancang oleh seorang arsitek Belanda. Masjid yang dibangun pada zaman Hindia Belanda sekitar tahun 1933 dan selesai pada tahun 1934 itu bernama Masjid Cipaganti.
Jika melihat dari dekat, nampak nuansa arsitektur Eropa menghiasi bangunan masjid tersebut. Tak hanya itu, pada awalnya bangunan ini pun berdiri di area pemukiman Eropa dan para elit pribumi. Sehingga bisa dikatakan masjid ini merupakan salah satu masjid yang menyimpan banyak kisah bersejarah.
Tak heran apabila saat ini Masjid Cipaganti mendapat predikat sebagai masjid paling tua dan bersejarah di Bandung Utara.
Merangkung dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas tentang sejarah Masjid Cipaganti rancangan arsitek Belanda.
Sejarah Masjid Cipaganti, Masjid Tertua di Bandung Utara
Mengutip dari buku “Jejak-Jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa ke Masa” (2015), Masjid Cipaganti merupakan sebuah masjid indah yang menghiasi Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
Rancang desain masjid ini seorang arsitek Belanda bernama Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker.
Pembangunan masjid ini mulai pada 10 Ramadhan 1351 H atau 7 Januari 1933 M. Kala itu penggagas pembangunan Masjid Cipaganti adalah Bupati Bandung, Raden Tumenggung Hassan Soemadipradja, bersama Patih Bandung, Raden Wirijadinata. Serta seorang penghulu dari Bandung bernama Raden Hadji Abdoel Kadir.
Masjid Cipaganti berdiri di atas tanah seluas 2.025 meter persegi, terletak di daerah Cipaganti, Bandung Utara.
Memang kala itu kawasan tersebut belum seramai sekarang. Ketika menuju ke masjid ini akan terlihat keindahan Bandung Utara dan Gunung Tangkuban Perahu.
Mahakarya Wolff Schoemaker
Masjid Cipaganti sebagai masjid pertama yang dibangun di kawasan orang Eropa di Bandung Utara.
Bahkan, Masjid Cipaganti ini merupakan salah satu mahakarya Wolff Schoemaker ketika pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke daerah Bandung.
Wolff Schoemaker sendiri sebenarnya merupakan salah seorang arsitek yang didatangkan ke Bandung untuk merencanakan Bandung sebagai kawasan hunian Eropa.
Oleh karena itu, banyak sekali arsitek-arsitek yang datang dari Eropa untuk menyulap Bandung menjadi pemukiman elit dan pusat Pemerintahan Hindia Belanda.
Wolff Schoemaker memang terkenal sebagai salah satu arsitek yang mumpuni dalam menangani bangunan-bangunan di Belanda.
Bangunan di Bandung Hasil Rancangannya
Tercatat ada beberapa bangunan hasil rancangannya. seperti Gedung NV Becker & Co, Gedung AC Nix di Landraad Weg. Kemudian, gedung kantor pabrik minyak NV Insulinde, Gereja Katedral Bandung, Observatorium Bosscha, hingga Villa Isola.
Uniknya lagi, Wolff Schoemaker juga terkenal sebagai orang Belanda yang amat tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Islam. Ketertarikan inilah yang membuatnya melahirkan desain bangunan Masjid Cipaganti.
Baca Juga: Sejarah Istana Cipanas, Dibangun Zaman Belanda hingga Diambil Alih Pemerintah Indonesia
Salmon Priaji Martana dalam buku “Wolff Schoemaker Karya dan Lingkup Dunia Sekelilingnya” (2022), banha Wolff Schoemaker yang memiliki minat terhadap dunia Islam ini merupakan hal yang cukup kontroversial.
Pasalnya, kala itu Islam merupakan salah satu ideologi yang menjadi penggerak kemerdekaan bangsa Indonesia.
Wolff Schoemaker sendiri memiliki pengetahuan luas mengenai sejarah nusantara, dan pengaruh kebudayaan hingga arsitektur Hindu Buddha.
Arsitektur Masjid Berkarakter dan Indah
Minatnya terhadap arsitektur Islam ini bahkan ia tekankan dalam pernyataan bahwa, orang Indonesia harus memiliki masjid yang berkarakter dan indah.
Menurut Wolff Schoemaker, arsitektur masjid yang berkarakter dan indah dapat menimbulkan pula rasa kebangsaan, selain tentunya religiusitas.
Wolff Schoemaker juga menyatakan bahwa di Hindia Belanda kala itu sangat kekurangan masjid-masjid berkarakter dan indah. Hampir di seluruh wilayahnya, kecuali wilayah Yogyakarta.
Kecintaan dan minat mendalamnya mengenai arsitektur Islam ini bahkan membawanya untuk mendalami Islam di Kairo pada tahun 1938.
Ketika pembangunan Masjid Cipaganti pada tahun 1933, memang kental dengan sentuhan Eropa dan gaya tradisional Jawa.
Selain itu, untuk menambah kesan Islam-nya, maka ia menambahkan arsitektur dan kaligrafi khas Timur Tengah. Pada bagian depan masjid terdapat kaligrafi dan kalimat hamdalah di soko gurunya.
Kemudian, tahun 1965 Masjid Cipaganti sebagai masjid tertua di Bandung Utara itu mengalami renovasi agar dapat menampung jamaah lebih banyak lagi. Renovasi ini untuk menambah luas bangunan masjid tanpa merubah bentuknya.
Pada tahun 1988, bangunan ini kembali dipugar untuk mengubah lantai masjid yang awalnya berwarna merah, ditutup dengan warna putih untuk menyeragamkan dengan bangunan baru.
Masjid Cipaganti memiliki empat soko guru penyanggah bagian tengah masjid. Masjid ini memiliki tiga atap tajuk, dengan filosofi para jamaah masjid yang bertumpuk-tumpuk memadati masjid ini untuk beribadah kepada Allah.
Selain itu, ada juga yang mengartikan atas yang bersusun tiga ini sebagai tiga dasar kepribadian muslim, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Masjid Bersejarah di Bandung Utara
Hingga kini Masjid Cipaganti yang menyimpan banyak kisah bersejarah dan menjadi masjid tertua di Bandung Utara itu masih masyarakat gunakan.
Selama masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, bangunan ini seringkali menjadi markas bagi Pembela Tanah Air atau PETA ketika revolusi fisik.
Masjid ini pun sering menjadi tempat kunjungan bagi para wisatawan lokal hingga mancanegara. Selain itu, masjid ini juga ramai dengan berbagai kegiatan, mulai dari TPA hingga berbagai kegiatan lainnya saat bulan Ramadhan tiba.
Selama bulan suci Ramadhan, masjid ini selalu semarak dengan berbagai kegiatan seperti tarawih, tadarus, buka bersama, ceramah, hingga program i’tikaf.
Baca Juga: Sejarah Villa Isola di Kota Bandung, Dibangun Zaman Belanda Kini Jadi Gedung Rektorat UPI
Catatan sejarah panjang Masjid Cipaganti dari zaman Hindia Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia inilah yang membuat masjid ini menyimpan sejarah. Bahkan menjadi salah satu masjid tertua di daerah Bandung. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)