Haji Hassan Arif, warga Cimareme, Garut, Jawa Barat tak terima saat Belanda menerapkan pajak padi di wilayahnya. Akibat pajak padi tersebut, Haji Hassan hanya mendapat 30 persen dari hasil panennya. Peristiwa ini kemudian memicu pemberontakan petani di Cimareme Garut.
Tahun 1919, pemerintah kolonial Hindia Belanda memang menerapkan pajak padi di wilayah Priangan Timur. Kebijakan ini dianggap memberatkan para petani beras di berbagai daerah Jawa Barat, tak terkecuali dengan daerah Garut.
Akibat kebijakan pajak padi itu masyarakat Garut mendadak berubah secara psikologis. Mereka seolah menjadi kelompok penduduk yang “gampang marah” alias temperamental.
Perkelahian antar warga terjadi di mana-mana, hal ini membuat angka kriminalitas di Garut meningkat dari tahun 1919-1927.
Para petani yang sakit hati dengan kebijakan padi dianggap menjadi salah satu sebab terbentuknya masyarakat temperamental.
Tak hanya perkelahian yang disebabkan oleh hal sepele, beberapa masyarakat dari golongan petani di Garut mulai menimbulkan sifat-sifat konfrontatif. Para petani di sana mulai menyibukkan diri dengan perkumpulan-perkumpulan politis.
Para petani temperamental di Garut membuat salah satu perkampungan bernama Cimareme dilanda masalah. Apakah yang menyebabkan daerah tersebut dirundung persoalan? Berikut akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
Baca Juga: Sejarah Pajak Padi di Garut 1919, Pemicu Pemberontakan Petani
Pajak Padi Zaman Belanda Membuat Warga Garut Memberontak
Menurut Anhar Gonggong dalam buku berjudul, “Sejarah Daerah Jawa Barat” (1977), salah satu persoalan yang menimpa masyarakat Cimareme disebabkan oleh adanya kasus pemberontakan petani terhadap pemerintah kolonial pada tanggal 17 Maret 1919.
Adapun salah satu tokoh pelopor pemberontakan Cimareme merupakan seorang tokoh masyarakat bernama H. Hassan Arif. Selain tokoh masyarakat Hassan Arif adalah petani sekaligus pemilik sawah yang jumlahnya ratusan hektar di Cimareme, Garut, Jawa Barat.
Konon Hassan Arif membangkitkan semangat petani di Garut karena sudah muak dengan kebijakan kolonial yang merugikan. Hassan adalah salah satu petani yang paling dirugikan oleh sistem pajak padi. Sebab sawah Hassan paling luas dari rata-rata sawah yang ada di daerah Cimareme.
Akibatnya Hassan harus membayarkan pajak padi pada pemerintah kolonial sebanyak mungkin. Jika dipresentasikan, Hassan hanya memperoleh 30 persen dari hasil panen yang didapatnya.
Karena petani Cimareme merasakan hal yang sama dengan Hassan Arif, maka mereka kemudian berkumpul dan sepakat mogok. Pertempuran pun meledak pada zaman penjajahan Belanda akibat warga Garut tidak menyetorkan pajak padi pada pemerintah kolonila.
Namun mogok ini malah disambut dengan kekerasan oleh Belanda, maka apa boleh buat, petani Garut yang sudah temperamental dari awal dengan senang hati meladeni Belanda. Maka terjadinya perpecahan dan korban banyak berjatuhan dari golongan petani.
Baca Juga: Peristiwa Cimareme 1919, Pembantaian Petani Garut Zaman Belanda
Masyarakat Garut Sebut Peristiwa Cimareme dengan Perang Jihad
Karena pemberontakan Cimareme berangkat dari keresahan petani yang menderita akibat pajak padi, maka banyak diantara petani tersebut yang menyamakan peristiwa tersebut dengan perang jihad.
Para petani Cimareme menyamakan pemberontakan dengan perang jihad karena tujuannya sama-sama memperjuangkan kebaikan. Sebagaimana ajaran agama, kebaikan merupakan hak setiap bangsa maka dari itu apapun yang dianggap baik oleh masyarakat banyak maka harus diperjuangkan mati-matian.
Gerombolan petani Cimareme yang dipimpin H. Hassan Arif bahkan telah berjanji dengan sesama petani lainnya, apabila mereka tewas di medan laga, jangan ada satu pun kain yang berlumuran darah diganti oleh kafan putih yang bersih.
Mereka ingin membiarkan baju yang dipakai berlumuran darah itu sebagai kain kafan paling suci. Sebagaimana ajaran jihad menyebut –pakaian apapun yang sedang dipakai dalam peperangan melawan kejahatan, jika seseorang itu wafat dalam perang maka baju berlumur darah itu akan menjadi saksi jihad yang paling baik.
Sifat Temperamental Masyarakat Garut Dimanfaatkan PKI
Setelah peristiwa Mareme selesai, sebagian petani Garut direkrut oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk ikut menjadi anggotanya. Karena emosional akibat kekalahan Cimareme belum tuntas, maka banyak petani ikut dalam PKI.
Dalam PKI para petani Garut merencanakan berbagai cara untuk menaklukkan Belanda. Mereka kemudian mengadakan forum diskusi untuk melakukan pemberontakan serentak di seluruh pulau Jawa-Sumatera.
Baca Juga: Sejarah Pemberontakan PKI 1926, Pelakunya Digantung di Alun-alun Ciamis
Pada akhirnya disepakatilah waktu pemberontakan itu jatuh pada tahun 1927. Kerusuhan yang diakibatkan oleh pemberontakan PKI terjadi di mana-mana. Salah satunya di Kabupaten Ciamis, banyak para pelaku pemberontak itu datang dari petani asal Garut.
Mereka gelap mata ingin menghabisi seluruh kekuatan kolonial, apalagi saat itu Bupati Ciamis yang dipimpin oleh RAA Sastrawinata condong memihak Belanda. Maka salah satu sasaran pemberontakan ini antara lain ingin membunuh sang bupati tersebut.
Namun pemberontakan ini berhasil digagalkan oleh Belanda. Banyak para pelaku pemberontakan yang tertangkap, tapi ada pula yang berhasil lolos dan mengasingkan diri ke berbagai daerah di luar Jawa.
Adapun mereka yang tertangkap biasanya adalah “Gembong” –otak dibalik pemberontakan tersebut. Menurut sejumlah catatan kolonial, mereka yang tertangkap akan dihukum mati dengan cara digantung dan jasadnya dipertontonkan di alun-alun kota. Salah satu peristiwa ini terjadi di Kabupaten Ciamis. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)