harapanrakyat.com,- Seikerei adalah budaya Jepang untuk menghormati Dewa Matahari. Dengan posisi membungkukan badan ke arah negeri Jepang. Budaya ini harus dilakukan oleh orang Jepang dan masyarakat yang berstatus menjadi koloninya, seperti pribumi di Kota Garut pada tahun 1942.
Budaya Seikerei tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Hal inilah yang membuat kabilah ajengan di Garut turun ke jalan. Mereka menolak perintah Jepang untuk menghormat Dewa Matahari setiap pagi dan sore hari.
Menurut para ajengan di kota Garut, penghormatan terhadap Dewa Matahari tak ubahnya sebagai perilaku musyrik. Jika budaya ini dibiarkan, maka sudah dapat dipastikan bisa mengganggu akidah masyarakat pribumi di hari mendatang.
Kalangan ajengan di kota tersebut yang memiliki ratusan santri mengkhawatirkan hal ini. Mereka tidak takut dengan resiko yang akan dihadapinya, asalkan kotanya bersih dari budaya Seikerei.
Perkumpulan kabilah ajengan di Garut, Jawa Barat itu sepakat untuk mengadakan perlawanan terhadap Jepang.
Mendengar desas-desus pemberontakan yang akan diadakan oleh kaum ajengan nampaknya direspon langsung oleh tentara Nippon.
Mereka kemudian mempersiapkan diri untuk menghadapi para ajengan dengan membariskan pasukannya di Alun-alun kota Garut.
Baca Juga: Gerakan Bawah Tanah, Strategi Pemuda Usir Jepang dari Indonesia
Menolak Budaya Jepang Seikerei, Tentara Nippon Berlakukan Hukuman
Menurut Kunto Sofianto dalam Jurnal Sosiohumaniora Vol. 6, No. (1) Maret 2014: 51-61 berjudul, “Garut pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang (1942-1945)”, tentara Dai Nippon telah memberlakukan hukuman bagi setiap orang yang menolak Seikerei.
Dalam hal ini Nippon menerapkan beragam jenis hukuman. Ada yang ditampar, ditendang atau dijemur seharian di bawah terik matahari.
Bahkan dalam kasus lain di luar Jawa Barat misalnya, ada rakyat pribumi yang ditembak mati karena menolak bungkuk menghormat Dewa Matahari.
Tindakan kejam dan brutal tentara Jepang ini membuat sejumlah lapisan pribumi menjadi geram. Padahal awalnya mereka menganggap Jepang sebagai negara sahabat yang akan menolong kebebasan belenggunya dari sistem kolonialisme Hindia Belanda.
Namun sayangnya anggapan itu salah. Jepang datang menjadi neo-kolonialisme baru yang tampaknya lebih menyengsarakan rakyat ketimbang Belanda.
Pada zaman Jepang tidak saja mengalami kesulitan ekonomi (sandang, papan, pangan), rakyat pribumi juga mengalami tindak kekerasan fisik.
Baca Juga: Ekstrim! Tentara Yonif Raider 303 Kibarkan Bendera Raksasa di Tebing Gunung Batu Tumpang Garut
Jika diumpamakan dengan cara sederhana, nyawa masyarakat pribumi zaman itu lebih murah ketimbang harga beras. Tentara Nippon bisa menembakkan pelurunya hanya karena melihat orang pribumi yang tidak mereka senangi.
Oleh karena itu, Nippon terkenal sebagai tentara terkejam yang pernah bercokol di Tanah Pasundan, khususnya di Garut.
Akibat peristiwa ini, daerah Garut yang awalnya asri penuh dengan pergaulan orang Eropa bertatakrama, berubah menjadi kota yang sepi.
Tidak ada seorangpun pribumi yang berani keluar malam. Mereka menghindari keramaian agar tidak berpapasan dengan prajurit Nippon.
Kabilah Ajengan Mengagitasi Massa Tolak Budaya Seikerei
Karena keadaan sepi yang tak kunjung menepi, akhirnya sekumpulan kabilah ajengan di Garut memberanikan diri untuk mengagitasi massa menolak budaya Seikerei Jepang.
Mereka yang ikut dengan aksi ini rata-rata dari golongan pemuda yang revolusioner seperti santri.
Para ajengan melakukan agitasi massa untuk menolak budaya Jepang Seikerei ini berkaitan erat dengan persoalan akidah (kepercayaan) Islam.
Bagi umat Islam, menjalani budaya Seikerei sama saja seperti sedang melakukan praktik kemusyrikan.
Jika tidak ada perlawanan untuk menghentikannya, maka bisa menjadi dosa besar menimpa seluruh orang Islam di Garut. Atau bahkan seluruh umat Islam yang ada di Indonesia.
Oleh sebab itu, sebelum meluasnya dosa-dosa ini ke kalangan umat Islam di seluruh Indonesia, para ajengan mengimbau untuk bergabung bersama melawan Jepang.
Mereka (kabilah ajengan) tidak akan pernah sepakat melakukan langkah kooperatif sebagaimana tokoh-tokoh nasionalis gaungkan.
Bagi para ajengan di Garut, budaya Seikerei Jepang tidak boleh diberlakukan untuk umat Islam. Khususnya orang-orang muslim yang ada di Garut dan seluruh umat muslim yang ada di Indonesia.
Tokoh NU Tolak Seikeirei Menambah Semangat Ajengan Garut Melawan Jepang
Baca Juga: Kisah Orang-Orang Kebal Pejuang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949
Ketika tokoh Nahdlatul Ulama (NU), yakni KH. Hasyim Asy’ari menolak budaya Seikerei kepada Jepang, membuat hati tentara Nippon naik darah. Akibat peristiwa ini, Kyai Hasyim Asy’ari mendapatkan siksaan yang berat.
Konon karena peristiwa tersebut membuat kabilah ajengan di Garut geram. Mereka tidak terima salah satu tokoh besar Islam di Jawa mendapat perlakuan semena-mena dari tentara Nippon.
Akibat hal ini maka api semangat perlawanan ajengan di Garut semakin membara. Kyai Hasyim Asy’ari tidak menghiraukan siksaan yang ia dapat dari tentara Nippon.
Ia tetap memberikan semangat pada umat Islam di seluruh Indonesia agar tidak melakukan budaya Seikerei Jepang. Menurut Kyai Hasyim “karena hanya Allah yang berhak disembah. Bukan manusia atau matahari”.
Keadaan panas demikian membuat ajengan di Garut semakin berani melawan Jepang. Tidak seperti sebelumnya menghindari keramaian karena takut dengan tentara Nippon.
Saat kabilah ajengan melakukan perlawanan membuat sejumlah massa di Garut keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka bergabung ikut membantu perlawanan tersebut sampai Indonesia merdeka tahun 1945. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)