Kasus pembantaian Tionghoa di Padaherang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat pada tahun 1948 menjadi kasus yang tak terpecahkan hingga saat ini.
Saat itu, sejumlah surat kabar memuat berita pembantaian 21 orang Tionghoa di Pangandaran yang menggegerkan pada 5 November 1948.
Pelakunya tidak diketahui hingga saat ini. Namun, kasus ini membuat geger lantaran para korban dimasukan ke dalam lubang parit yang memanjang. Saat ditemukan lubang yang memiliki kedalaman rendah itu membuat jasad korban tersebut membusuk.
Berdasarkan keterangan visum et repertum yang dilakukan oleh tim dokter, jasad yang jadi korban pembantaian itu dibunuh dengan cara ditembak. Namun, ada beberapa bagian tubuh yang terkena pukulan benda tumpul.
Bagian tubuh yang dipukul benda tumpul tersebut adalah kepala, lengan kiri, dan di tengah-tengah dada bagian tulang rusuk. Pernyataan hasil visum ini sudah dipastikan benar karena beberapa temuan yang ada di tubuh si korban.
Selain menemukan butiran peluru di bagian tengkorak, para dokter visum tersebut juga menemukan patahan tulang rusuk. Kemungkinan besar hal itu akibat pukulan benda tumpul seperti kayu, palu, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Sejarah Pembunuhan Tionghoa di Pangandaran, 21 Orang Dikubur di Lubang Dangkal
Kasus Pembantaian Tionghoa di Pangandaran Menggegerkan Berita Nasional
Peristiwa pembantaian 21 orang Tionghoa di Pangandaran menggegerkan berita Nasional (Bernas). Pasalnya banyak surat kabar mingguan yang menerbitkan berita tentang peristiwa berdarah tersebut.
Bahkan ada yang sampai mengabarkan berita di atas selama dua minggu berturut-turut. Saking hebohnya bernas sampai dikutip dan disiarkan oleh surat kabar Belanda De Nieuwsgier. Surat kabar tersebut menerbitkan berita bertajuk, “De lijken van 21 Chinezen” pada tanggal 5 November 1948.
Dalam koran tersebut diberitakan bahwa orang pertama yang menemukan jasad 21 orang Tionghoa di lubang parit memanjang itu adalah petani pencari rumput ternak. Mereka merasakan ada yang janggal dengan tumpukan tanah memanjang seperti kuburan massal.
Rasa penasaran itu ditambah dengan adanya bau busuk yang membuat lalat berterbangan di sekitar kuburan massal tersebut. Para pencari rumput itu juga sesekali menemukan satu sampai tiga ekor anjing mondar-mandir di sekitar tumpukan tanah tersebut seperti ada yang sedang dicari.
Peristiwa tersebut juga diberitakan dalam surat kabar berbahasa Belanda lainnya berjudul, “Het Nieuwsblad voor Sumatra” yang terbit pada tanggal 5 November 1948.
Karena diberitakan oleh surat kabar dari berbagai daerah di Indonesia, maka peristiwa pembantaian massal orang Tionghoa di Pangandaran jadi kasus kriminal paling mengerikan pasca kemerdekaan republik ini.
Semua Jasad Korban Mendapat Hasil Visum et Repertum dari Bandung
Ketika jasad yang sudah hampir membusuk ini ditemukan warga sekitar, pihak kepolisian dari Tasikmalaya kemudian mengevakuasi dan segera memberangkatkannya ke rumah sakit pusat daerah Jawa Barat di Bandung.
Keberangkatan 21 jasad orang Tionghoa yang terkubur di lubang parit itu untuk mendapat hasil visum et repertum –agar identitas si korban bisa diketahui secara pasti. Apalagi para korban mulai membusuk dan wajahnya hancur sehingga sulit teridentifikasi.
Setelah visum dilakukan maka hasilnya mengejutkan masyarakat Indonesia saat itu. Sebab ternyata 21 orang Tionghoa yang tewas dikubur di Padaherang itu merupakan sekumpulan saudara.
Berdasarkan hasil penyelidikan kepolisian di Tasikmalaya, pembantaian terhadap puluhan orang Tionghoa di Padaherang, Pangandaran ini dilakukan oleh sejumlah orang yang tak suka dengan etnis mereka.
Baca Juga: Sho Bun Seng, Seniman Tionghoa Pemberantas Gerombolan DI/TII di Ciamis
Sementara dugaan lain ada juga yang menyebut pembantaian ini dilakukan oleh tentara Sekutu yang kala itu masih bercokol kuat di Indonesia. Mereka sengaja melakukan ini karena ingin menimbulkan kekacauan yang bisa mengadu domba bangsa pribumi dengan etnis Tionghoa.
Motif Pembantaian Tionghoa di Pangandaran 1948: Merampok
Masih menurut keterangan polisi yang mengurus kasus ini, konon motif pembantaian orang Tionghoa di Padaherang, Pangandaran yang terjadi pada tahun 1948 memiliki motif perampokan.
Sebab banyak barang berharga keluarga Tionghoa di sana yang hilang begitu saja. Antara lain yakni hilangnya kotak perhiasan, sepeda, radio, dan barang berharga lainnya.
Jadi ada hipotesis yang menuduh lagi jika pelaku utama dari pembantaian ini adalah segerombolan perampok yang berasal dari luar daerah Pangandaran.
Baca Juga: Kisah RAA Kusumadiningrat, Bupati Galuh yang Beristri Wanita Tionghoa
Kendati begitu, polisi yang mengeluarkan statement ini di dalam surat kabar “Het Nieuwsblad voor Sumatera” (1948) mengatakan, perlu mendalami kembali penyelidikan. Sebab dugaan ini perlu dibuktikan dengan fakta-fakta baru yang sesuai dengan fakta di tempat kejadian.
Namun karena saat itu negara masih mengurus proses kedaulatan republik, maka kasus-kasus seperti ini dianggap kecil. Kasus pembantaian Tionghoa di Pangandaran dianggap tidak menimbulkan dampak yang terlalu besar kepada para pembaca setia surat kabar mingguan.
Maka dari itu kasus ini tidak mendapat kelanjutan penyelidikan. Pasalnya banyak tim polisi yang pindah ke kota-kota besar. Mereka dihadapkan dengan tugas yang lebih berat lagi seperti mengawal kedaulatan bangsa dan negara di republik Indonesia. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)