Komandan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) berpangkat Mayor Daan Mogot gugur dalam pertempuran Lengkong pada 25 Januari 1946 di Tangerang, Banten.
Menurut sejumlah informasi sejarah, pertempuran Lengkong identik dengan pembantaian pasukan TRI oleh Jepang, karena tentara Dai Nippon menjebak TRI dengan perjanjian sepakat untuk menyerahkan senjata.
Namun tak disangka-sangka Jepang ternyata mengingkari janjinya tersebut, di sela-sela pengumpulan senjata terdapat tentara Jepang yang memprovokasi terjadinya perang. Akibatnya pasukan TRI yang minim senjata tidak sanggup menahan gempuran tersebut.
Karena pertempuran tersebut Mayor Daan Mogot tewas. Menurut sejumlah cerita veteran, Daan Mogot dibunuh sadis oleh tentara Jepang.
Selain memberondongnya menggunakan garand, Nippon juga menusuk-nusuk tubuh Daan Mogot menggunakan bayonet. Darah pun mengalir dari tubuh komandan TRI di Lengkong, Tangerang.
Tidak ada satu anggota TRI lainnya yang mampu menolong Daan Mogot. Ia pasrah dan ikhlas dengan kematian sadis yang menimpanya. Karena peristiwa ini banyak anggota TRI yang ingin balas dendam.
Baca Juga: Pasoekan Pangeran Papak, Laskar Kemerdekaan dari Garut yang Menampung Tentara Jepang
Satu pasukan TRI bersenjata lengkap diturunkan dari Jakarta. Mereka berniat membalaskan dendam pasukan Daan Mogot kepada tentara Nippon. Namun, keadaan di Lengkong tampaknya sudah dikuasai Belanda, alhasil balas dendam pun diurungkan demi mencegah korban yang lebih banyak lagi.
Pertempuran Lengkong 1946 yang Menewaskan Mayor Daan Mogot, Bagaimana Awalnya?
Pertempuran Lengkong 1946 –peristiwa yang menewaskan Daan Mogot ini berawal dari adanya upaya kerjasama pihak Jepang dan Republik untuk gencatan senjata. Sementara itu Jepang menyadari sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II.
Kesadaran Jepang itu membuatnya rela menyerahkan senjata kepada pihak republik di rumah dinas perkebunan karet, daerah Lengkong, Tangerang. Kesepakatan ini pun kemudian ditindaklanjuti oleh Mayor Daan Mogot bersama pasukannya.
Mayor Daan Mogot membawa dua truk yang berisi anggota TRI tak lengkap senjata. Hal ini dilakukan karena ia percaya pada Jepang yang sudah menyerah dan hendak bertindak kooperatif dengan tentara republik.
Sesampainya di lokasi Mayor Daan Mogot bersama Komandan Kompi Jepang bernama Kapten Abbe bersalaman saling kooperatif. Namun di sela-sela perjanjian itu ada yang mencurigakan, yaitu terdapat tentara Nippon yang masih menyimpan senjata.
Tanpa diketahui oleh pihak republik ternyata itu bagian dari skenario Jepang membantai pasukan Daan Mogot. Apalagi setelah terpicunya pelatuk senjata salah seorang anggota TRI ke udara.
Baca Juga: Sejarah Goa Jepang di Pangandaran, Benteng Pertahanan Nippon Buatan Romusha
Konon karena kondisi genting ini, tentara Nippon yang baru saja pulang dari palagan Amerika terpicu berontak dan membantai habis pasukan TRI termasuk pimpinannya, Mayor Daan Mogot.
Sifat Liar Tentara Nippon yang Semakin Terasah Seusai Perang Pasifik
Kekalahan tentara republik oleh Jepang juga disinyalir karena tentara Nippon baru saja pulang menyelesaikan perang Pasifik melawan tentara Amerika. Secara otomatis mereka lebih terlatih dari TRI, bahkan fisik dan mental lebih kuat daripada pasukan Daan Mogot.
Ketika peristiwa letusan senjata dari pihak republik ke udara, sontak membuat tentara Jepang bersiaga. Mereka yang tadinya sedang santai dan menikmati jam istirahat –karena terjadi pada waktu menjelang sore, mendadak bangun dan merebut kembali senjata yang sudah diserahkan untuk menyerang balik tentara republik.
Insting perang mereka kuat, pengalaman perang pasifik dengan Amerika membuatnya terlatih menghadapi berbagai ancaman musuh dengan cepat. Bahkan saking terlatihnya, tentara Nippon bisa melawan anggota TRI bersenjata hanya dengan sebilah bayonet.
Bertingkah layaknya seorang samurai, tentara Nippon yang hanya berbekal bayonet bisa mencabik-cabik musuhnya hingga tewas dengan mengenaskan. Bahkan pimpinan TRI, Mayor Daan Mogot saja tewas akibat tusukan bayonet di perut dan dadanya.
Untuk mengenang jasanya, nama Daan Mogot saat ini digunakan menjadi nama jalan di Jakarta Barat.
Baca Juga: Tragedi Mandor Berdarah di Kalimantan, Pembantaian Massal Terkejam Zaman Jepang
Selain Daan Mogot, Anak Lelaki Haji Agus Salim Juga Gugur
Menurut M. Zein Hassan dalam buku berjudul, “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” (1980), konon selain menewaskan Mayor Daan Mogot, pertempuran Lengkong 1946 juga telah menggugurkan anak lelaki diplomat tersohor, Haji Agus Salim.
Anak kelima Haji Agus Salim yang tewas akibat pembantaian ini bernama Achmad Sjawket, ia merupakan salah seorang Kadet (Siswa Militer) yang sedang menamatkan sekolahnya di Akademi Militer Tangerang (AMT).
Sewaktu ia bersekolah di AMT, Sjawket memang dikenal dekat dengan Mayor Daan Mogot. Akhirnya kedekatan ini membawa anak Haji Agus Salim bertekad kuat mengikuti tugas mendampingi Daan Mogot menjemput senjata Jepang di perkebunan karet Lengkong.
Tanpa diduga-duga sebelumnya kejadian maut ini menimpa Sjawket dan teman lainnya di AMT. Sama seperti jasad Daan Mogot, konon saat jasadnya ditemukan jadi korban pembantaian Jepang di Lengkong, Sjawket tewas karena sabetan benda tajam (bayonet) dan beberapa peluru yang bersarang di dadanya.
Karena peristiwa ini Haji Agus Salim sangat sedih, bahkan saking cinta dan kehilangannya ia dengan anak kelimanya, jaket militer yang dulu sering digunakan Sjawket sering dipakai olehnya. Hal sedih ini baru diketahui publik setelah masa revolusi berlalu. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)