Patih Demang Sukma Amijaya merupakan sosok tersohor di Tasikmalaya pada pertengahan abad ke-19 masehi. Ia adalah seorang santri yang belajar di sejumlah pesantren. Sikapnya terkenal sangat islami kala itu. Konon karena sikap ini, Patih Demang Sukma Amijaya kemudian dipercaya untuk memimpin Masjid Agung Tasikmalaya.
Kisah menarik sosok Patih Demang Sukma Amijaya ketika ia diangkat menjadi pejabat kolonial oleh Belanda. Jarang sekali pemerintah Belanda mengangkat pejabat lokalnya dari kalangan yang Islami kecuali Demang Sukma.
Entah apa yang membuat Belanda yakin memilih Demang Sukma sebagai pejabat lokal untuk wilayah Tasikmalaya, yang jelas ia dipilih karena jiwa kharismatiknya yang dihormati oleh setiap rakyat Pasundan.
Patih Demang Sukma Amijaya tidak mencerminkan pejabat lokal yang sombong seperti kebanyakan elit tradisional lainnya di pulau Jawa.
Meskipun statusnya sudah berubah –dari rakyat menjadi pejabat kolonial, ia tetap berpakaian sederhana dan suka berkumpul dengan rakyat biasa.
Baca Juga: Sejarah Masjid Agung Tasikmalaya yang Dibangun Bupati Sumedang
Patih Demang Sukma Amijaya Pejabat Kolonial yang Islami, Pengurus Masjid Agung Tasikmalaya
Sikap Demang Sukma menjadi sosok Islami tak lepas dari pendidikan orang tuanya dahulu. Tidak seperti kebanyakan anak-anak seorang Ambtenaar (PNS) kala itu, Demang Sukma dimasukkan oleh ayahnya ke pesantren bukan ke sekolah formal yang notabene didominasi anak-anak Belanda.
Begitu juga dengan lingkungan ayahnya yang hidup di dekat salah satu pesantren di Tasikmalaya, Demang Sukma tumbuh menjadi seorang dewasa yang lekat dengan nilai-nilai Islami.
Ayahnya juga sering membawa Demang Sukma mengikuti pengajian-pengajian rutin yang diadakan oleh salah seorang kyai besar di perbatasan Tasik dengan Ciamis.
Pengajian-pengajian yang sering diikuti olehnya kala itu ternyata membentuk jiwa Demang Sukma yang soleh. Sikap Islami ini kemudian terbawa sampai ia ditunjuk oleh pemerintah kolonial menjadi seorang Patih untuk Tasikmalaya.
Walaupun mengundang banyak kontroversi karena ia menjadi pejabat kolonial, Patih Demang Sukma Amijaya tak menghiraukannya.
Menurutnya, selagi ia berada di jalan yang benar maka tak perlu khawatir jika cibiran massa yang tak sejalan akan memperburuk keadaan.
Prinsip teguh ini membawa Demang Sukma dekat dengan Bupati Sumedang bernama Raden Adipati Wiratanuningrat.
Karena sikap soleh Demang Sukma, Bupati Sumedang ini kemudian memperkenalkannya dengan ulama besar di perbatasan Tasik-Ciamis bernama KH. Muhammad Sudjai yang biasa disebut dengan Mama Kudang.
Setelah beberapa kali tiga orang ini bertemu dan berdiskusi kemudian Mama Kudang mendaulat Bupati Sumedang untuk membangun pusat peribadatan antara Ciamis-Tasikmalaya berupa masjid agung.
Karena Mama Kudang menduduki peran yang tinggi diantara mereka, akhirnya Bupati Sumedang melaksanakannya.
Kemudian ketika masjid agung itu selesai dibangun sang Bupati kharismatik ini menyerahkan kepengurusan pusat masjid tersebut kepada Demang Sukma.
Konon penyerahan kepengurusan ini bertujuan untuk menjaga masjid supaya terus terawat dengan baik.
Baca Juga: Kisah Masyarakat Betawi Abad 19, Rayakan 3 Kali Lebaran dalam Setahun
Patih Tasikmalaya yang Dekat dengan Bupati Sumedang
Menurut Zaki Mubarak dalam buku “Masjid Agung Tasikmalaya: Sejarah, Arsitektur, Tokoh dan Gerakan Islam di Kota Santri” (2021), karena dekat dengan Bupati Sumedang, Patih Demang Sukma Amijaya digadang-gadang akan menghimpun kekuatan melawan kolonial.
Hal ini kemudian ditanggapi langsung oleh pemerintah kolonial yang berpusat di wilayah Jawa Barat. Mereka menginspeksi hubungan antara Bupati Sumedang dengan Patih Tasikmalaya secara intens.
Bahkan dalam satu minggu, Belanda mengirim perwakilannya untuk memata-matai percakapan antara Bupati Sumedang dengan Patih Demang.
Berdasarkan informasi yang terdapat di kalangan masyarakat luas, konon pembangunan masjid Agung ditujukan untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda.
Biasanya selepas menunaikan sholat maghrib, Patih Demang Sukma Amijaya akan berdiskusi dengan Bupati Sumedang mengenai nasib rakyatnya.
Itu pun jika kebetulan Bupati Sumedang sedang berkunjung ke Tasikmalaya. Tapi laporan kolonial mencatat jika Bupati Sumedang sering datang ke Tasik dan melakukan pertemuan rahasia dengan Patih Demang Sukma Amijaya kurang lebih setiap satu bulan dua kali.
Masjid Agung Tasikmalaya Jadi Basis Perlawanan Pejuang Republik Masa Revolusi
Masih menurut Zaki, ketika Indonesia Merdeka tahun 1945 bukan berarti rakyat Indonesia terbebas dari persoalan penjajahan. Justru karena kemerdekaan itulah Belanda melakukan agresi militer sekitar tahun 1946-1948.
Baca Juga: Sejarah Cadas Pangeran Sumedang dan Kisah Perseteruan Pangeran Kornel dengan Daendels
Sebagian orang yang hidup pada zaman itu menyebut peristiwa ini dengan istilah “masa bersiap atau zaman revolusi fisik”. Ada kisah menarik yang menempel di masjid agung Tasikmalaya pada zaman revolusi berlangsung.
Konon berdasarkan sebagian pendapat saksi sejarah yang masih hidup, masjid agung Tasikmalaya digunakan sebagai basis perlawanan para santri terhadap agresi militer di wilayah Priangan Timur.
Para santri yang tergabung dalam laskar Sabilillah menyerang pasukan Belanda yang datang dari dua arah sekaligus. Dari arah Selatan (Pangandaran) dan wilayah Jakarta-Bandung. Mereka sekuat mungkin menghalangi Belanda supaya tidak masuk ke wilayah Tasikmalaya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)