Koetil alias Sakhyani merupakan tokoh revolusi sosial di dalam peristiwa tiga daerah yang terkenal sadis di Karesidenan Pekalongan.
Konon ia telah menghasut rakyat pedesaan untuk menghabisi nyawa rakyat pribumi yang pro-Belanda. Termasuk para pejabat republik yang masih membentangkan bendera merah putih biru di dadanya.
Pembunuh berdarah dingin ini begitu benci dengan orang-orang yang ada di dalam pemerintahan. Terutama elit tradisional yang bermuka dua –di sisi lain berada di pihak republik namun masih pro mendukung pemerintah kolonial.
Karena rekam jejak kehidupannya yang kelam, Koetil identik dengan sosok preman. Ia punya banyak massa yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menyerang rival politiknya.
Salah satunya adalah Koetil menggerakkan rakyat di Karesidenan Pekalongan, khususnya di daerah Tegal untuk membantai para kaum Kabir (Kapitalis Birokrat).
Mereka terdiri dari pegawai pemerintah yang suka memperkaya diri dan suka bekerjasama dengan Belanda.
Baca Juga: Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan, Ada Campur Tangan PKI
Adapun dalam catatan peristiwa tiga daerah, Koetil alias Sakhyani menjadi aktor penting yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan tersebut. Sebab karena massa Koetil yang banyak telah memercikan api pemberontakan tahun 1945-1946.
Koetil Alias Sakhyani, Orang Pertama yang Divonis Mati Pemerintah RI
Menurut surat kabar Belanda Niuew Overijsselch Dagblad yang terbit pada tanggal 11 November 1946 bertajuk, “Indonesie: Eerste Republiekeinsch Doodvonis”, Koetil alias Sakhyani adalah orang pertama yang divonis mati oleh pemerintah republik Indonesia.
Vonis mati Koetil didasarkan pada kelakuan sadisnya telah membunuh banyak orang-orang penting. Terutama para pejabat yang berasal dari kalangan elit tradisional di daerah-daerah Karesidenan Pekalongan.
Bagi Koetil sendiri saat diwawancarai oleh wartawan Belanda, ia tidak pernah mengkhianati bangsanya sendiri. Sebab yang dibunuh oleh Koetil adalah komunitas pejabat republik yang masih menegakan nilai-nilai kolonialisme.
Sementara dugaan lain Koetil dihukum mati karena ada yang mengatakan jika ia adalah agen NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie). Koetil dikirim sengaja oleh Belanda untuk mengadu-dombakan rakyat di Karesidenan Pekalongan.
Namun terlepas dari benar dan salah, pemerintah republik memvonisnya mati karena Koetil terlibat banyak pembunuhan.
Koetil alias Sakhyani telah membantai orang-orang tak bersalah, maka dari itu vonis mati untuk Koetil menjadi alternatif pilihan jaksa untuk mengadilinya.
Baca Juga: Karesidenan Pekalongan Zaman Revolusi, Pemerintahan Darurat Dipimpin Ulama
Setelah Koetil dieksekusi mati, pemerintah republik menetapkannya sebagai pemberontak (subversif) –anti pada pemerintah Indonesia. Artinya hukuman ini untuk membuat efek jera bagi siapapun yang melakukan tindakan diluar batas pasca kemerdekaan.
Menariknya hingga tahun 50’an Koetil menjadi momok yang menakutkan di daerah Pekalongan dan sekitarnya. Anton Lucas peneliti peristiwa tiga daerah mengatakan Koetil adalah algojo yang kejam, buas, dan anarkis.
Tak heran Koetil kerap dijadikan media negatif untuk menakut-nakuti anak-anak nakal –awas ada Koetil.
Koetil: Dari Santri Jadi Preman
Masih menurut Anton Lucas, pria berkebangsaan Australia ini menuturkan kisah tersembunyi dari kehidupan Koetil yang sesungguhnya. Koetil alias Sakhyani tak seperti dilihat kebanyakan orang awam –pembunuh darah dingin, konon sebelum terjun ke dunia hitam Sakhyani merupakan seorang santri yang taat.
Ketika Koetil sudah menjadi kepala rumah tangga, anaknya mengaku sering melihat Koetil menjadi pemimpin pengajian di daerah Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Bahkan saking sibuknya berkegiatan agama, Koetil sering pulang larut malam.
Sedangkan di kalangan Santri se-pondoknya dahulu, Koetil dikenal sebagai Santri yang egaliter. Tidak pernah sombong, apalagi membanggakan diri sendiri meskipun ilmunya lebih tinggi dari orang-orang disekitarnya.
Para Santri yang kenal Koetil dari daerah Tegal, Pemalang, dan Pekalongan, mengaku kaget mendengar Koetil berubah menjadi orang jahat.
Sebab Koetil adalah orang yang sangat baik, ia suka menolong sesama rakyatnya terkecuali Belanda dan elit tradisional yang kerap memandangnya sebagai pemberontak.
Koetil, Robinhood dari Pantura
Melanjutkan kisah Koetil alias Sakhyani yang suka menolong rakyat jelata di Karesidenan Pekalongan, terlihat dari caranya menolong yang identik dengan Robinhood. Maka dari itu tak jarang sebagian pendapat menyebut Koetil dengan istilah Robinhood dari Pantura.
Baca Juga: Sejarah Industri Batik Pekalongan dan Berkembangnya Syarikat Islam
Salah satu cara Koetil menjadi Robinhood terlihat saat dirinya membagi-bagikan kain di daerah Talang, Tegal. Masyarakat di sana sangat berkekurangan, khususnya kekurangan penutup badan (kain baju) akibat depresi ekonomi sejak zaman Jepang.
Sebagai gantinya berpakaian, masyarakat Talang biasa menggunakan karung goni untuk melindungi badannya dari sengatan matahari dan tiupan angin dingin ketika malam hari.
Koetil merasa iba melihat itu, maka dengan modal keberaniannya ia mencuri kain dari pabrik-pabrik batik dan membagikannya kepada rakyat jelata.
Kisah menarik ini tidak diketahui oleh banyak orang. Bahkan oleh pemerintah republik saat itu kiprah mulia Koetil tak terungkap. Padahal jika kita lihat ke belakang lagi Koetil alias Sakhyani memiliki rekam jejak yang begitu berarti bagi bangsa Indonesia. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)