Sutan Sjahrir merupakan legendaris tokoh Sosialisme di Indonesia. Melalui ideologi sosialis Sjahrir terkenal vocal dan sering menentang kebijakan-kebijakan kolonial Belanda. Namun dari sekian banyak narasi sejarah menarik soal Sutan Sjahrir sedikit yang tahu jika ia adalah satu-satunya tokoh Nasionalis Moderat yang dipilih Belanda untuk jadi juru bicara diplomasi kemerdekaan RI.
Intelektual sosialis ini lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 5 Maret 1909. Sjahrir lahir dari pasangan suami-istri terhormat di kampungnya.
Ayahnya merupakan seorang Kepala Landraad (Pengadilan Negeri) sedangkan ibunya berasal dari keluarga raja lokal swapraja.
Legitimasi hidup dari keluarga ningrat membuat Sjahrir terpaksa harus tumbuh menjadi dewasa yang cerdas. Maka dari itu keluarganya sering menjejali buku-buku berbahasa Belanda pada anak-anaknya termasuk Sjahrir walaupun usianya masih terbilang dini.
Baca Juga: Otto Iskandardinata, Guru HIS yang Berpolitik dan Hilang Diculik
Karena sudah terbiasa membaca dan terlatih berpikir kritis, Sjahrir remaja berhasil menembus sekolah ke Belanda bersama saudara persepupuannya yakni, Moh. Hatta. Sjahrir kuliah di fakultas hukum, Universiteit van Amsterdam.
Namun karena fokusnya lebih besar ke arah perjuangan bangsa Indonesia, Sjahrir rela tidak menuntaskan studinya. Ia memilih pulang ke Tanah Air dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada tanggal 12 November 1945.
Sjahrir Intelektual yang Egaliter dan Bersahaja, Dipilih Jadi Juru Bicara Diplokasi Kemerdekaan RI
Walaupun Sjahrir pernah berkuliah di Belanda dan sangat fasih dalam berbagai bahasa asing, tidak membuat dirinya sombong di hadapan orang-orang. Sjahrir dikenal banyak kolega kerjanya sebagai intelektual yang egaliter dan bersahaja.
Tidak seperti halnya Sukarno yang narsis dengan kelebihan intelektual yang ada dalam dirinya, Sjahrir cenderung bertindak submissive terhadap ilmu pengetahuan.
Bagi Sjahrir ilmu pengetahuan atau sifat-sifat intelektual itu tersebut berkembang setiap zamannya. Jadi jika merasa cukup dan puas dengan pengetahuan sejatinya tidak perlu ada yang disombongkan.
Sifat egaliter Sjahrir nampaknya sudah sedari kecil ada. Ayahnya yang seorang Ambtenaren (Pegawai Negeri) sering membekali anak-anaknya wejangan moral. Salah satu di antaranya yaitu jangan sombong terhadap siapapun orang yang sudah atau baru Anda temui. Sebab dari situlah sebetulnya ilmu dan pengetahuan itu berasal.
Wejangan di atas nampaknya tidak hanya berlaku untuk Sjahrir. Sebab biasanya orang-orang Minang memiliki ajaran moral yang sama dan wajib diturunkan ke anak cucu kelak.
Hal ini membuat Belanda simpati, mereka menghormati dan menghargai adat istiadat pendidikan keluarga Minang.
Oleh sebab itu konon orang-orang yang berasal dari Padang, setelah selesai perang Padri (1830-1839) memperoleh kesempatan dari pemerintah kolonial menuntut ilmu ke Belanda.
Tak heran kota Padang terkenal sebagai penghasil kaum intelektual. Salah satu ‘produknya’ adalah Sjahrir, Moh. Hatta, Haji Agus Salim, dst.
Baca Juga: Sejarah Perhimpunan Indonesia di Belanda, Organisasi Pelopor Kemerdekaan
Belanda Memilih Sjahrir Jadi Juru Bicara Diplomasi Kemerdekaan RI
Menurut surat kabar Belanda “De Tijd” yang terbit pada tanggal 12 November 1945 bertajuk, “Sjahrir”, Belanda menunjuk agar Sjahrir menjadi juru bicara dalam rangka berdiplomasi mengurus kemerdekaan Indonesia dari tangan kolonial.
Hal ini terjadi karena Sjahrir dianggap oleh Belanda seorang Nasionalis yang moderat. Artinya orang yang memiliki pengetahuan tinggi tapi tidak bersikap congkak dan hobi mendebat.
Sebab jika orang dengan kriteria itu jadi pelaku diplomasi maka kesepakatan dari hasil musyawarah tak akan terwujud sampai kapanpun.
Konon Belanda tidak memilih Sukarno karena tahu jika ia memiliki karakter yang temperamental. Orang seperti itu tidak bisa diajak berunding.
Belanda sadar betul dengan keadaan psikologi tokoh-tokoh Nasional. Sejauh pengamatannya hanya Sjahrir lah orang yang bisa memahami tujuan diplomasi sesungguhnya.
Selain karena Sjahrir bagian dari Nasionalis Moderat, penunjukannya oleh Belanda dalam diplomasi kemerdekaan RI juga diambil dari sikapnya terhadap pendudukan Jepang. Belanda yakin bahwa Sjahrir tidak terkontaminasi oleh Jepang. Sebab Sjahrir menjauhkan diri dari partai Nasional selama pendudukan Jepang.
Kebanyakan dari anggota partai Nasionalis di era pendudukan Jepang memiliki sikap yang revolusioner. Mereka sering bertindak radikal dan tidak memperhitungkan nyawa manusia.
Akibatnya Belanda khawatir jika orang-orang seperti itu duduk bersama di meja diplomasi. Mereka khawatir bisa terjadi keributan yang saling merugikan.
Baca Juga: Kisah Sinyo Indo-Belanda, Si Anak Silang yang Jumawa
Intelektual Sejati yang Hobi Baca Banyak Buku
Sudah dari kecil Sjahrir hobi membaca banyak buku, baginya buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah orang pertama yang mendorong supaya mencintai buku-buku. Sebab dalam buku apapun yang belum kita ketahui akan jadi ilmu yang membuat kita berkembang. Maju dalam peradaban.
Bagi Sjahrir membaca banyak buku bukan hanya tanda bahwa dirinya seorang intelektual. Tetapi lebih jauh dari itu membaca banyak buku juga bisa menjadi suplemen pengetahuan yang mengarahkan kita ke jalan yang lurus. Jalan keadilan dan kebenaran.
Menariknya tidak hanya hobi membaca buku, Sjahrir remaja dulu ternyata juga seorang musisi yang terampil bermain biola.
Sjahrir pernah mengadakan solo performance memberi hiburan di Hotel De Boer, Medan Sumatera Utara. Dengan lantang Sjahrir bernyanyi sambil menggesek biola di depan tamu-tamu Eropa.
Konon hasil uang “mengamen” di hotel tersebut ia tabung. Gunanya untuk membekali diri jika nanti menginginkan suatu benda yang perlu dibeli ia tak minta lagi pada ayah dan ibunya. Tanda ia sudah punya karakter dewasa dan mandiri. Sjahrir yang bertanggung jawab.
Pernyataan di atas sebagaimana diungkap oleh Rosihan Anwar dalam buku berjudul, “Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya” (2011). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)