Maria Dermout adalah seorang sohibul hikayat atau pendongeng Belanda yang memegang erat nilai-nilai ke-Indonesiaan.
Menurut catatan sejarah kolonial, Maria Dermout merupakan orang Belanda yang lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juni 1888. Ia lahir dari orang tua yang berprofesi sebagai pejabat pabrik gula.
Sejak kecil ia terbiasa dengan kehidupan yang layak, maka dari itu ketika usianya mulai menginjak remaja, Maria Dermout dikirim oleh ayahnya sekolah ke negeri Belanda. Hingga usia dewasa perempuan tinggi berparas cantik ini tinggal di negeri kincir angin.
Namun Belanda hanya ia jadikan sebagai batu lompatan untuk menjadi orang berpendidikan. Ketika masa studinya selesai, Maria yang menikahi pria Belanda ini kembali ke tanah air bersama keluarga kecilnya dan berprofesi menjadi seorang sastrawan.
Baca Juga: Sejarah Hari Raya Lebaran Zaman Belanda, Dianggap Ajang Pemborosan
Karya-karya Maria Dermout semakin terkenal ketika ia memilih keliling Indonesia bersama sang suami. Konon dari kegiatan ini Maria menemukan ide-ide melimpah untuk dituangkan dalam tulisannya. Maria Dermout sukses jadi sohibul hikayat.
Maria Dermout, Sastrawan Belanda yang Hobi Travelling
Ketika Maria bersama sang suami memutuskan terbang ke tanah air pada usia 60 tahun, mereka langsung merealisasikan impiannya yang sejak dulu sudah tertimbun. Mereka berdua ingin berkeliling Indonesia.
Menurut Budut W. Andibya dalam buku berjudul, “The Wonderful Island Maluku: Membangun Kembali Maluku dengan Nilai-nilai dan Khazanah, Lokal, serta Prinsip Enterpreneurial Gouverment, Beragam Potensi dan Peluang” (2008), hobi travelling itu membuat Maria semakin punya banyak ide untuk menulis.
Maria Dermout bersama suami mengelilingi beberapa pulau indah di Indonesia antara lain, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Mereka melihat langsung kehidupan masyarakat di sana, bahkan ikut berkegiatan budaya bersama apabila kebetulan sedang ada perayaan tradisi masyarakat yang mereka sambangi.
Sepulang dari penjelajahannya dengan sang suami, Maria jadi sastrawan idealis. Didikan ayahnya yang Neerlandosentrisme seakan-akan luntur. Ia baru sadar ternyata kehidupan sulit masyarakat pribumi saat ia masih kecil berasal dari kebijakan orang Belanda yang menjajahnya.
Baca Juga: Kisah Wanita Pribumi Mata-Mata Belanda dan Awal Terbentuknya Polwan
Karena peristiwa ini Maria Dermout tumbuh menjadi sohibul hikayat yang humanis. Cerita-cerita karyanya selalu menyentuh hati. Ia sering mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan karena pengalamannya mengelilingi Indonesia berbulan-bulan lamanya.
Maria Dermout mengakui bahwa perjalanan bersama suami mengelilingi Jawa, Sulawesi, dan Maluku membuat dirinya semakin menjadi Belanda yang Indonesianis.
Maria Dermout, Sohibul Hikayat Indonesianis yang Produktif
Menurut pengakuan Maria dalam pengantar salah satu bukunya mengatakan bahwa ia awalnya tidak berniat menerbitkan tulisan-tulisan dari pengalaman keliling Indonesia.
Namun karena dorongan suami yang kuat ia kemudian menerbitkan karyanya itu menjadi sebuah buku. Ternyata pembaca menyambut baik karya-karyanya.
Di usianya yang tak lagi muda, Maria Dermout (60 Tahun) berhasil menerbitkan beberapa buku antara lain terdiri dari, Only Yesterday (1951) dalam bahasa Belanda berjudul Nog Pasgisteren (1951), dan The Ten Thousand Thing (1955) dalam bahasa Belanda berjudul De Tienduzend Dingen (1955).
Buku karangan Maria ini mendapatkan penghargaan dari Majalah Time tahun 1958. Majalah terbaik di dunia saat itu menganugerahkan Maria Dermout sebagai pengarang terbaik.
Pengarang yang bisa membuat pikiran orang-orang Barat terbuka melihat jika sistem imperialisme dan kolonialisme itu merugikan.
Konon Maria Dermout mencantumkan beberapa pernyataan yang menyudutkan dosa-dosa pemerintah kolonial Belanda kepada rakyat pribumi di Indonesia.
Salah satu dosa terbesar mereka versi Maria antara lain yaitu Belanda adalah faktor utama dari terbentuknya konflik identitas.
Pemerintah kolonial Belanda di Indonesia berhasil mengadu domba pribumi dengan bangsa Asing dalam berbagai hal. Seperti konflik akibat kepentingan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Menurut Maria ini terjadi secara disengaja oleh Belanda untuk melegitimasi kekuasaan pemerintah kolonial.
Karena sikap dan pemikiran Maria Dermout seperti ini, banyak tokoh-tokoh Nasional kita yang mengatakan Maria sebagai wanita Belanda yang Indonesianis.
Seluruh perbuatan Maria begitu bermanfaat untuk melihat perbuatan Belanda yang licik pada pribumi.
Baca Juga: Ketika Pakubuwono X Berlibur ke Magetan 1922, Rakyat Jatim Menanti Hadiah
Sastrawan Belanda yang Mendunia
Pada tahun 1960-an karya-karya Maria Dermout banyak diterbitkan dalam berbagai versi bahasa di dunia. Beberapa negara yang memproduksi ulang karya Maria antara lain yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.
Tiga negara besar di dunia itu mengklaim Maria sebagai penulis yang handal. Maria piawai menghipnotis pembaca supaya si pembaca terus tertarik melihat halaman berikutnya.
Buku-buku Maria Dermout seolah membuat jendela masa depan seluruh bangsa di dunia untuk menghapuskan penjajahan.
Sebab seluruh isi buku yang ditulis oleh Maria Dermout menggambarkan tesis-tesis anti penjajahan. Bahasanya yang mudah diterima oleh seluruh pembaca di dunia membuat karya sastra karangan Maria populer.
Maka dari itu selain mendapat julukan sohibul hikayat Belanda yang Indonesianis, Maria Dermout juga terkenal sebagai sastrawan yang mendunia.
Wanita Belanda kelahiran Kota Batik ini semakin terkenal seiring karya-karyanya banyak dikutip oleh pengacara-pengacara di Amerika Serikat.
Mereka mengutip perumpamaan-perumpamaan dalam buku Maria untuk menyelesaikan kasus-kasus rasial yang marak terjadi pada rentang tahun 1970-1990.
Maria Dermout meninggal pada usia 74 tahun. Ia wafat akibat sakit di Norwijk Belanda pada tanggal 27 Juni 1962. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)