Dialita merupakan nama grup musik yang anggotanya terdiri dari 10 orang wanita mantan Tahanan Politik 1965. Anggotanya adalah para perempuan pemberani yang revolusioner.
Seluruh anggota Dialita memiliki prinsip yang tangguh dan gemar berorganisasi. Bagi mereka kekuatan solidaritas merupakan kunci untuk mencapai kesuksesan rakyat Indonesia.
Sepuluh perempuan mantan tahanan politik 1965 mendirikan grup musik Dialita pada tahun 2011. Saat itu mereka mendirikan grup ini di Kampung Beji, Kota Depok Jawa Barat. Tujuan mendirikan Dialita tidak lain untuk mendulang rupiah demi mencukupi kehidupan sehari-hari.
Adapun 10 anggota Dialita tersebut antara lain terdiri dari perempuan-perempuan pemberani bernama: Utji, Utati, Eli, Mudjiati, Tutik, Hersis, Irina, Tuni, Yani, dan Mega.
Mereka juga kerap menggunakan uang hasil manggung bersama Dialita untuk membantu saudara sesama perempuan eks-tahanan politik 1965 yang mengalami kesusahan ekonomi.
Di masa lalu 10 anggota penyanyi Dialita mengalami banyak penderitaan, peristiwa ini terjadi ketika meletusnya kejadian G30S 1965. Tanpa pengetahuan sebelumnya mereka ditangkapi oleh tentara.
Konon kisah pilu ini diakibatkan oleh penangkapan yang menimpa mereka tanpa dakwaan yang jelas. Personil Dialita mendekam di penjara tanpa tahu kapan mereka akan bebas.
Baca Juga: Kisah Semaun Semprot Pejabat Kolonial Belanda yang Hobi Flexing
Anggota Grup Musik Dialita Tertangkap Militer Pasca G30S 1965
Menurut salah satu anggota Dialita bernama Utati, latar belakang masuknya 10 wanita personil Dialita ke penjara, konon diakibatkan karena mereka disinyalir bagian dari wanita gerakan kiri yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebelumnya 10 personil Dialita tidak tahu apa alasan mereka ditangkap oleh tentara. Belakangan mereka baru paham kalau ternyata para tentara menangkapnya akibat mereka terlibat dalam berbagai organisasi pemuda-pemudi PKI.
Maka pada saat meletusnya peristiwa G30S tahun 1965, seluruh wanita yang ada dalam grup musik Dialita diamankan oleh tentara. Utati sendiri dipenjara oleh tentara pada tahun 1967, dari penjara itu ia bertemu dengan para tahanan politik wanita lainnya.
Saat di dalam penjara Utati dan 9 orang wanita Dialita mengalami berbagai penderitaan. Menurut Utati penderitaan yang paling menyedihkan ketika sedang rindu kehangatan keluarga.
Dari kesedihan tak punya keluarga itu maka Utati bersama wanita penghuni penjara sama-sama membangun kehangatan berkeluarga.
Baca Juga: Sisa-Sisa Pemberontakan PKI 1927 di Sumatera, Pelakunya Nyamar Jadi Maling
Mereka bersenang-senang bersama dengan kemampuannya berpaduan suara. Kebetulan 10 wanita termasuk Utati merupakan pemuda-pemudi kiri yang saat itu gemar menyanyi.
Dialita, Grup Musik Menjunjung Tinggi Sukarnoisme
Seluruh personil dalam grup musik Dialita terdiri dari kaum wanita yang menjunjung tinggi nilai-nilai Sukarnoisme. Mereka selalu bertindak pada prinsip ajaran Sukarno yang sarat akan sifat nasionalismenya. Wanita Dialita merupakan pemudi Indonesia yang cinta tanah air.
Namun ketika peristiwa G30S 1965 meletus seluruh hal yang berbau Sukarnoisme dilarang oleh tentara. Wanita Dialita seakan-akan terjebak oleh ajaran tersebut.
Mereka ditangkap oleh tentara karena menjadi bagian dari orang yang mendukung ajaran orang nomor satu di Indonesia yaitu Presiden Sukarno.
Menurut Mia Bustam dalam buku berjudul, “Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan” (2008), tidak cuma karena Sukarnoisme, kaum wanita yang menjadi tahanan politik 1965 juga karena ada anggotanya yang bergabung dengan organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Para wanita yang bergabung dalam organisasi ini bernasib sama seperti anggota Dialita. Mereka mendekam di penjara, tersiksa oleh kesepian.
Para wanita Gerwani kehilangan keluarga dan tak tahu kapan akan terbebas dari jeruji penjara. Semua peristiwa memilukan ini terjadi saat transisi dari masa Orde Lama ke Orde Baru.
Tak hanya Gerwani dan Wanita Dialita, Sukarno sendiri yang kala itu dielu-elukan oleh rakyatnya tiba-tiba tenggelam dalam kegelapan. Kepemimpinan Sukarno tidak dipercayai lagi oleh rakyat, pada akhirnya ia bernasib sama seperti orang dalam organisasi kiri: menjadi tahanan politik.
Grup Musik Nasionalis Tercermin dari Lagu-lagunya
Wanita Dialita memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi tercermin dari karya lagu-lagunya. Seperti salah satu lagu karangan grup musik Dialita berjudul Viva Ganefo.
Lagu ini berisi tentang seruan rakyat Indonesia untuk dunia meruntuhkan negara-negara imperialis. Konon lagu Viva Ganefo menyadur salah satu karya komposer terkenal asal Spanyol.
Baca Juga: De Waarheid, Koran Komunis Belanda yang Serang Wapres Hatta
Selain Viva Ganefo, wanita Dialita menciptakan beberapa lagu lain yang menjadi ciri khas mereka sebagai wadah gerakan wanita revolusioner di Indonesia.
Kepiawaian menulis lagu-lagu revolusioner ini terjadi karena saat dipenjara 10 wanita Dialita pernah bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan tersohor itu banyak memberikan pelajaran revolusi pada wanita Dialita.
Saat ini peran wanita Dialita kurang diperhatikan oleh sejarah Indonesia. Barangkali ini terjadi karena mereka dulu terlibat dalam sejarah kelam tahun 1965.
Padahal pada kenyataannya wanita Dialita tak seperti yang dibayangkan oleh rakyat pendukung Orde Baru. Mereka justru menjadi wanita yang hebat, tangguh, dan revolusioner.
Wanita Dialita kerap mempropagandakan perjuangan Indonesia menjadi negara yang maju, negara yang kuat, dan negara yang besar. Tidak tunduk pada kekuasaan kolonialisme-imperialisme yang licik.
Mereka juga mendukung Sukarno untuk membasmi bentuk-bentuk penjajahan baru yang terkenal dengan nama neo-kolonialisme.
Pada puncaknya grup musik Dialita mendapatkan penghargaan dari Korea pada tanggal 18 Mei 2019. Negara berjuluk Negeri Ginseng tersebut mengapresiasi gerakan Dialita karena grup musik berisi mantan tahanan politik perempuan ini telah sukses menyampaikan pesan perdamaian dan solidaritas dunia. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)