Sejarah jembatan Panus menarik perhatian banyak orang, tak terkecuali dengan warga Depok, Jawa Barat. Hal ini karena fungsi jembatan tersebut penting bagi aktivitas para leluhur di zaman kolonial untuk bepergian dari Jakarta (Batavia) ke Buitenzorg (Bogor).
Menurut beberapa catatan sejarah, jembatan Panus merupakan jalur utama penghubung dua kota di atas. Bagi orang-orang Batavia yang hendak pergi ke Buitenzorg harus melalui jembatan Panus, tidak ada lagi jalan lain kecuali jalur penghubung buatan kolonial tersebut.
Hingga saat ini jembatan Panus yang terletak di jantung kota Depok masih eksis menjadi salah satu bangunan peninggalan zaman Belanda. Pemerintah daerah merawat artifact tersebut dengan baik, tidak lain untuk menjaga memori kolektif mengenang zaman yang telah berubah.
Baca Juga: Sejarah Gedung Jasindo Kota Tua, Warisan Kolonial Belanda
Pada hakikatnya jembatan Panus telah menjadi saksi bisu proyek pembangunan kolonial yang memakan dana cukup besar. Sebab jembatan Panus memiliki peran penting untuk menjadi jalur utama administratur rempah kolonial dari Batavia ke Bogor.
Sejarah Jembatan Panus: Dibangun Arsitek Belanda Andre Laurens
Menurut Praswasti dalam buku berjudul, “Digitalisasi Depok Lama: Sejarah, Peristiwa, dan Tinggalan Materinya” (2019), arsitektur jembatan Panus adalah seorang ahli bangunan Belanda bernama Andre Laurens pada tahun 1917.
Konon pemerintah kolonial memerintahkan Laurens untuk membuat jembatan guna menghubungkan kota Jakarta-Bogor dengan kualitas yang terbaik. Maka dari itu pembiayaan pembangunan jembatan ini cukup mahal.
Pemerintah kolonial tak mempersoalkan biaya mahal tersebut. Bagi mereka yang penting jembatan kuat, bisa terpakai sampai puluhan tahun kedepan. Karena mengingat perannya yang penting: jalur utama Batavia-Buitenzorg mengangkut distribusi rempah dari wilayah Priangan.
Menurut ilmu toponimi, penamaan jembatan ini menjadi jembatan Panus disebabkan oleh adanya orang Belanda yang tinggal di sana bernama Stevanus Leander. Orang-orang Depok saat itu –dari kalangan suku Sunda menyebutnya dengan nama Panus –diambil dari Ste-vanus: (Pa)nus.
Saat ini nama jembatan Panus masih eksis di kalangan orang Depok. Bahkan untuk melestarikan nilai historis, masyarakat Depok memanfaatkan aliran sungai Ciliwung di bawah jembatan Panus jadi tempat berbagai kegiatan. Dari mulai bermain wahana air, liburan bersejarah, dan tempat uji nyali.
Jembatan Panus Terkenal Angker
Bangunan Belanda yang seram dan menimbulkan kesan mistis mendorong kepercayaan kolektif akan sarang makhluk halus. Spiritualis itu muncul dalam pandangan orang Depok saat menceritakan jembatan Panus.
Jembatan yang dibangun pada pertengahan abad ke-20 ini dianggap angker oleh masyarakat sekitar. Banyak orang Depok percaya bahwa di jembatan Panus sering ditemukan sosok misterius wanita dan pendekar tua.
Baca Juga: Sejarah Museum Fatahillah, Eks Balai Kota Batavia
Sosok makhluk halus itu sering berbuat jahil pada pengendara yang melintasi jembatan Panus. Adapun para supir angkot yang jadi langganan kejahilan makhluk halus di tempat tersebut. Mereka sering diberhentikan oleh sosok perempuan misterius yang tiba-tiba menghilang di tengah jalan.
Kesan mistis yang lain dari jembatan Panus ini juga terlihat dari adanya beberapa persembahan sesaji yang entah datang dari mana. Kemungkinan besar dari seseorang yang kerap mempraktikan ajaran-ajaran ilmu hitam.
Konon praktik ini masih sering terjadi di jembatan Panus karena ada legenda sosok pendekar yang hilang ketika bertapa di bawah bangunan tua tersebut.
Hal inilah yang membuat orang-orang membuat sesaji dan menaruhnya di bawah jembatan Panus.
Tak jarang untuk menghindari sial dan cegatan makhluk halus kala melintas jembatan Panus, para pengendara sering melempar uang koin dan rokok. Menurut kepercayaan sekitar ini bisa meminimalisir gangguan makhluk tak kasat mata penghuni jembatan tua.
Jembatan Panus jadi Detektor Adanya Banjir Kiriman
Selain menjadi tempat bersejarah, jembatan Panus juga memiliki fungsi lain yang lebih realistis dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.
Hal ini karena kaki tiang jembatan Panus menjadi alat ukur ketinggian air sungai Ciliwung untuk mendeteksi bakal terjadinya banjir kiriman dari Bogor ke Jakarta.
Baca Juga: Razia PSK di Batavia Tahun 1936, Menteng Jadi Pusatnya
Masyarakat memberikan ukuran dengan batasan tinggi kaki jembatan Panus. Apabila air sungai Ciliwung melebihi batas yang ketetapan maksimal, maka besar kemungkinan Jakarta akan mendapat banjir kiriman.
Detektor banjir kiriman dari Bogor menuju Jakarta hanya bisa terlihat di jembatan Panus. Artinya jika air melebihi batas maksimal maka masyarakat Jakarta bisa bersiap-siap menghadapi banjir: mengungsikan barang-barang penting sebelum air meluap.
Namun jika air Ciliwung sedang normal, aliran sungai di bawah jembatan Panus akan terlihat jernih dan menyegarkan. Warga sekitar juga memanfaatkannya untuk mencuci pakaian, memancing ikan, dan jadi tempat berenang anak-anak.
Jembatan Panus kaya akan cerita. Selain membuat setiap orang yang melihatnya penasaran dengan sejarahnya, jembatan tersebut juga memberikan banyak manfaat bagi warga sekitar –terlepas dari kesan mistis dan horor. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)