Pada tanggal 2 Januari 1927, berbagai surat kabar kolonial memberitakan kejadian tentang pemberontakan PKI di Sumatera.
Peristiwa pemberontakan PKI 1927 di Sumatera membuat seluruh masyarakat was-was. Mereka khawatir menjadi sasaran tangkap oleh pemerintah kolonial. Padahal sebagian besar masyarakat di Sumatera saat itu tidak terlibat dengan kerusuhan tersebut.
Untungnya pemerintah kolonial berhati-hati menangkap pelaku kerusuhan dengan menginterogasi ketat para terduga kerusuhan.
Menurut berbagai keterangan yang ada dalam surat kabar kolonial, sisa-sisa pelaku pemberontakan PKI 1927 di Sumatera telah menyamar jadi maling untuk lolos dari penangkapan dan hukuman mati.
Baca Juga: PKI Bawah Tanah, Gerakan Rahasia Komunis Lawan Jepang
Penemuan anggota PKI berkedok maling terjadi pada 25 Oktober 1935 di Medan, hampir satu tahun lamanya pelaku kerusuhan PKI di Sumatera baru ditemukan tatkala ia sedang menggasak barang-barang berharga di kantor opas.
Karena ada polisi yang berjaga malam, maling tak lolos dari aksi main hakim sendiri masyarakat sekitar. Kurang lebih si maling tertangkap pada pukul 3 dini hari, pria kurus yang tak disebutkan namanya itu lantas di bawa ke kantor polisi terdekat.
Namun ketika polisi memeriksa tas dan gembolan kain yang berisi hasil colongan itu ditemukan sepucuk surat berlogo PKI. Nampaknya polisi semakin serius menginterogasi si maling terutama menyoroti dari mana surat itu diperolehnya.
Kisah Mantan Pelaku Pemberontakan PKI 1927 di Sumatera
Menurut surat kabar Hanpo yang terbit pada hari Selasa, 8 November 1927 bertajuk, “Maoe ka Digoel”, maling yang telah menggasak kantor opas di Medan sebetulnya merupakan mantan pelaku pemberontakan PKI 1927 di Sumatera.
Penyamaran ini terbongkar ketika polisi kolonial menemukan surat dan mengintrogasinya dengan ketat dari mana surat itu berasal. Karena keadaan si maling yang tak kuat lagi akhirnya ia mengaku jika dirinya adalah orang PKI.
Konon ia menjadi maling untuk menafkahi keluarga dan berkamuflase dari kejaran polisi kolonial. Selain itu ia juga mencuri agar bisa tertangkap oleh polisi. Harapan konyol ini tak lepas dari anggapannya apabila melakukan tindakan kriminal maka polisi akan menghukum buangnya ke Boven Digul. Ia ingin bertemu sanak family di sana.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip surat kabar Hanpo (1927) berikut: “Koetika ditanja: kenapa ia telah mentjoeri, itoe maling djawab: Ochhh… akoe poenja familie semoea telah diboeang ke Boven Digoel. Akoe djoega maoe pergi ke sana!”.
Mendengar keterangan ini polisi kolonial district Medan segera mengirim kawat ke kantor pusat yang terletak di Deli. Surat itu berisi imbauan supaya hati-hati akan modus baru dari sisa-sisa pemberontakan PKI 1927 di Sumatera. Mereka menyamar jadi maling dan berharap bisa menyusul sanak keluarganya ke Boven Digoel.
Adapun yang menjadi persoalan mengapa si maling tersebut ingin menyusul keluarganya ke Boven Digoel. Bukankah di sana sulit mendapat kenyamanan hidup?
Baca Juga: Kaderisasi PKI Tahun 1964, Tolak Kabir dan Anti Mohlimo
Polisi Kolonial di Medan Berhati-hati dengan Tipu Daya PKI
Setelah peristiwa sisa-sisa pemberontakan PKI 1927 di Sumatera itu menyamar jadi maling di Medan, polisi kolonial berhati-hati dan menghimbau satuannya agar terhindar dari tipu daya PKI.
Mereka melakukan patroli malam setiap hari. Berjaga-jaga mengamankan susulan pemberontakan, mengingat masih banyak sisa-sisa pelaku kerusuhan itu bertebaran di daerah Medan.
Polisi juga tak segan memberhentikan seseorang yang masih berjalan-jalan pada malam hari. Bahkan tindakan represif pun kerap mereka layangkan pada orang yang membangkang dari pemeriksaan. Mereka kerap memberikan bogem mentah pada orang yang tidak mau diperiksa.
Polisi kolonial juga bersinergi dengan petugas-petugas opas lainnya. Mereka sama-sama menjaga keamanan lingkungan dari tipu daya PKI.
Jika ada orang mencurigakan dan menebar fitnah di tempat mereka kerja, maka orang itu patut dicurigai. Sebab fitnah adu-domba adalah cara PKI bekerja menghancurkan pertahanan aparat kolonial.
Para polisi yang berpatroli juga sering membubarkan perkumpulan para pemuda. Keadaan di Medan saat itu sangat menegangkan. Paling tidak suasana mencekam ini terus berjalan sampai akhir tahun 1930-an.
Mengapa Pelaku Pemberontakan PKI Ingin ke Boven Digoel?
Setelah keamanan kota Medan teratasi oleh kepolisian kolonial, pemerintah Belanda meneliti penyebab pelaku pemberontakan PKI 1927 di Sumatera ingin diasingkan ke Boven Digoel. Padahal di sana sarang penyakit dan banyak orang mati mengenaskan akibat Malaria.
Baca Juga: Ibarruri Putri Alam, Putri Sulung Aidit PKI yang Jadi Dokter di Pari
Alasan pertamanya adalah “ingin bertemu dengan keluarga” yang pada saat itu terjaring dan dibuang pemerintah kolonial ke Boven Digoel. Mereka ingin bertemu dengan ayah dan ibunya, atau paman dan bibinya yang saat itu diasingkan ke sana.
Alasan kedua adalah “karena sulit mendapatkan kehidupan: makan dan tempat tinggal”. Meskipun di Boven Digoel sarang penyakit, setidaknya orang-orang yang ada di sana mudah mendapat sumber pangan dan tempat tinggal.
Sebab orang-orang penghuni Digoel dibebaskan oleh pemerintah kolonial membangun rumah dan mengurus kehidupan sehari-harinya dari hasil bercocok tanam mandiri. Maka dari itu alasan inilah yang membuat sisa-sisa pemberontakan PKI 1927 di Sumatera ingin menyusul ke Boven Digoel.
Kebanyakan eks-pemberontakan PKI 1927 hidup sengsara. Ketakutan membuat ia tak leluasa bergerak. Sehingga sulit mencari makan dan pekerjaan. Oleh sebab itu mereka hanya keluar dan mencari pekerjaan pada malam hari: menjadi pencuri.
Namun pemerintah kolonial tidak mengizinkan mereka diasingkan ke Digoel. Sebab besar kemungkinan mereka akan menghimpun kekuatan massa kiri dan mendobrak pertahanan Digoel untuk melarikan diri; bagaimanapun caranya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)