Pada tahun 1932 terdapat koran bumiputera yang sering mengaktualisasi isu-isu pemajuan kaum ibu. Sebagian besar pendapat yang berlangganan harian berkala tersebut mengatakan koran ini mendukung perempuan agar mendapat pendidikan yang tinggi. Koran pendukung kaum ibu ini bernama Persatoean Pengedjar Kemadjuan atau kerap disingkat menjadi P.P.K.
Menurut sejarah P.P.K. lahir di pulau Jawa dan menyebar hingga ke berbagai wilayah di Hindia Belanda. Antara lain menyebar hingga ke daerah Sumatera, Borneo (Kalimantan), dan Sulawesi. P.P.K. selalu menghadirkan wacana-wacana pemajuan kaum ibu setiap bulan terbitnya.
Penulis terkenal yang sering mewacanakan pemajuan kaum ibu dalam P.P.K. bernama Moerniati. Seorang perempuan Jawa yang dilahirkan dari ibu feminis. Oleh sebab itu ia terbiasa didik oleh pemikiran-pemikiran feminisme, salah satunya seperti pendidikan kesetaraan gender.
Baca Juga: Pameran Pasar Gambir Tahun 1933, Cikal Bakal Jakarta Fair
Moerniati juga terkenal sebagai perempuan pejuang kaum ibu. Dalam motto tulisannya yang terbit dalam koran P.P.K. ia mengatakan melalui bahasa Belanda “In de school van bloeiende vrouwen ligt de sterkte van een volk” atau “Dipangkoean Kaoem Iboe jang Madju, Terletak Tenaga Rakjat”.
Lantas bagaimana sejarah koran Persatoean Pengedjar Kemadjuan (P.P.K.) yang dinakhodai oleh Moerniati? Berikut ulasannya.
Koran Persatoean Pengedjar Kemadjoean Membuka Kelas Perempuan
Menurut koran Penjoeloeh yang terbit pada bulan Januari 1939 bertajuk, “Kaoem Iboe dan Masjarakat”, Persatoean Pengedjar Kemadjoean alias P.P.K. telah membuka kelas perempuan yang mengajarkan faktor-faktor pemajuan untuk kaum ibu mendatang.
Agenda kelas perempuan akan berjalan selama satu bulan seiring dengan terbitnya P.P.K. yang ada di bulan Januari. Materi pengajaran terdiri dari tema-tema tentang kesetaraan gender.
Bagi para peserta yang akan mengikuti kelas ini sebelumnya akan mendapatkan tema tulisan mengenai kesetaraan gender. Tulisan ini adalah kumpulan artikel P.P.K. tentang perempuan.
Tujuan pemberian kelas perempuan pada para ibu tidak lain supaya mereka mendapat wawasan tentang hak kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan berhak sejahtera, melakukan apa yang mereka sukai tanpa harus merasa tertekan oleh laki-laki.
Materi dalam kelas ini juga membawakan bahan ajar mengenai cara menjadi ibu yang baik dan benar. Seperti memberikan bahan ajar tentang tanggung jawab dari kedudukannya sebagai ibu bukan lah sesuatu hal yang melegitimasi diri sendiri.
Baca Juga: Toean Ch G Cramer, Pejabat Kolonial yang Kirim Pengangguran dari Belanda ke Jawa
Sebagaimana menguti Penjoeloeh (1939), terkadang kaum ibu mendewakan dirinya untuk mendapatkan legitimasi yang sebetulnya berfungsi untuk melawan tekanan laki-laki seperti: mengatakan telapak kaki ibu terdapat surga atau dalam bahasa Jawa “sorga noenoet, neraka katoet”.
Menurut Moerniati perumpamaan ini sebetulnya bisa membuat peran wanita (ibu) menjadi kaku dalam kehidupan sosial. Maka dari itu kelas perempuan yang diadakan oleh P.P.K. akan mengupas tabu-tabu semacam itu guna meningkatkan daya kritis dan membuka logika berpikir perempuan menjadi lebih maju dari sebelumnya.
Ibu Hebat Hanya ada Dalam Kisah Fiksi
Selama berada dalam cengkraman kolonialisme Belanda, para perempuan calon ibu-ibu pencetak generasi bangsa selalu dikisahkan menjadi makhluk yang lemah. Paling tidak figure ibu hebat hanya ada dalam kisah fiksi yang berarti hasil dari imajinasi (khayalan).
Maka dari itu para perempuan yang sudah menjadi ibu tidak memiliki kegiatan lain selain macak, manak, masak atau berdandan, mengurus anak, dan memasak.
Menurut Moerniati kisah fiksi tentang perempuan membuat kaum hawa pesimis menghadapi hidup sehari-hari. Stigmatisasi wanita tangguh dan hebat tampaknya hanya jadi khayalan belaka. Sebab pada kenyataannya tidak ada wanita semacam ini di Hindia.
Biasanya dalam kebudayaan Timur figur-figur perempuan hebat tergambar dalam ketokohan wayang. Dalam pewayangan terdapat tokoh Srikandi –perempuan tangkas, pemberani, dan cerdas.
Selain itu jika dalam budaya Barat stigmatisasi perempuan hebat dalam dunia fiksi tercermin dari kisah Jeanne d’ Arc, Kenau Hasselaar, dan Keberanian Kaum Perempuan Bangsa Griek.
Kisah fiksi ini bisa menimbulkan gambaran jika wanita itu adalah makhluk yang lemah dalam dunia nyata tapi kuat dalam dunia fiksi. Setidaknya alur cerita dari kisah fiksi tersebut membuat kaum ibu sadar jika itu semua adalah bagian dari eksploitasi laki-laki untuk mendominasi gender.
Baca Juga: Sejarah Gedung Jasindo Kota Tua, Warisan Kolonial Belanda
Generasi Bangsa Berada di Tangah Ibu
Generasi bangsa berada di tangan seorang ibu, pernyataan ini sebagaimana yang tertulis dalam artikel Moerniati yang diterbitkan oleh koran Penjoeloeh (1939).
Adapun kutipan dari pernyataan ini sebagaimana berikut: “Setiap kaoem iboe Indonesia haroes di insjafkan bahwa di atas poendaknja sebagai iboelah letak nasib anak-anak jang kelak akan menjadi masjarakat Indonesia [generasi bangsa]”.
Maka dari itu kaum ibu di seluruh Indonesia harus maju supaya bisa membimbing anak-anaknya menjadi pribadi yang cerdas dan kritis. Jadilah kaum ibu yang dapat mendorong pertumbuhan sang anak terutama dalam menanamkan nilai-nilai etika dan modernitas.
Moerniati juga tak henti-hentinya terus menyemangati kaum ibu melalui koran P.P.K. agar mereka bisa terus belajar. Tiada henti mencoba hal baru, membiasakan diri untuk menciptakan kesetaraan gender, dan terus mengutamakan ilmu pengetahuan.
Hal ini sebagaimana mengutip pendapat Moerniati sebagai berikut: “Sekarang njatalah bahwa kewadjiban kaoem iboe berat djoega. Mereka haroes beladjar-beladjar, sekali lagi beladjar! Oentoek kepentingan anak dan negrinja!”.
Di akhir tulisannya Moerniati juga mengimbau pada kaum suami supaya mendukung para istri untuk mengikuti kelas perempuan bersama Persatoean Pengedjar Kemadjuan –koran pendukung kaum ibu. Jika ibu maju maka generasi bangsa akan turut mengikutinya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)