Cara Kiai Cicalengka menanamkan sikap anti kolonial cukup unik. Saat itu, santri dilarang bergaul dan belajar ilmu pengetahuan modern seperti mempelajari bahasa Belanda. Bahkan, pada tahun 1936 para kiai Cicalengka mengeluarkan doktrin bisa Bahasa Belanda akan susah menghadapi sakaratul maut.
Padahal para santri di Cicalengka memiliki minat dan bakat yang tinggi akan hal baru. Termasuk mendalami ilmu pengetahuan modern salah satunya belajar bahasa Belanda. Namun upaya mereka untuk merealisasikan itu tertolak oleh kebijakan para Kiai di pondoknya.
Kiai pemilik pondok pesantren di Cicalengka melarang para santrinya untuk mempelajari pendidikan formal. Apalagi sampai belajar bahasa Belanda agar bisa bergaul dengan orang Nederlandsch. Ini perbuatan yang tidak mencerminkan santri taat agama.
Baca Juga: Tetamoe Malem di Surabaya, Kisah Maling Tak Kasat Mata Tahun 1920-an
Menariknya para santri didoktrin dengan kuat agar tidak mempelajari bahasa Belanda. Doktrin itu berbunyi, “barang siapa yang ingin bisa dan sudah bisa berbahasa Belanda, maka ia akan mendapatkan kesulitan menghadapi Sakratul maut”.
Entah doktrin ini benar atau tidak yang jelas para Kiai berhasil mencegah santri punya minat tinggi belajar bahasa Belanda. Mereka kembali pada tujuan di pesantren –mempelajari bahasa Arab dan terus mendalami ilmu-ilmu agama Islam secara ketat.
Santri Melawan Doktrin Kiai Cicalengka Tahun 1936
Menurut surat kabar Sinar Pasoendan: Dagblad Soenda Oemoem yang terbit pada Jumat, 30 November 1936 bertajuk, “Tjitjalengka: Nu Bisa Basa Walanda Sok Hese Sakarat”, meskipun sudah didoktrin kuat supaya tidak belajar bahasa Belanda, sebagian santri masih ada yang memberontak dan meminta alasan yang rasional dari para Kiai: Mengapa mereka tidak memperbolehkan santri mengetahui hal baru.
Para Kiai mengatakan jawaban itu dengan tegas. Jika para santri yang bandel tetap tidak setuju dengan pendapatnya, maka mereka adalah manusia di antara orang-orang kafir. Musuh rakyat pribumi, harus dimusuhi dan bisa mendapat kutukan dari para leluhurnya.
Adapun kutipan surat kabar Sinar Pasoendan (1936) dalam bahasa Sunda menggambarkan ketika santri menanyakan apa alasan para Kiai melarangnya tidak belajar bahasa Belanda:
“Noeroetkeun anggapan sawarehna santri-santri madjar noe bisa basa Walanda sok hese sakarat? Pangna beda anggapan kitoe malah timana djolna lianti para Adjengan. Naon panyebabna?”
(Menurut sebagian santri, siapapun yang bisa bahasa Belanda akan mendapatkan kesulitan menghadapi Sakratul’maut? Oleh sebab itu pendapat ini berasal dari mana lagi jika bukan dari para Adjengan (Kiai). Apa penyebabnya?)
Baca Juga: Penangkapan Si Pitung Tahun 1893, Jawara Betawi Kontroversial
Para santri bingung dengan dalil para Kiai yang mengharamkan bahasa Belanda. Apalagi ketika para Kiai mengatakan bagi siapapun umat Islam yang belajar bahasa Belanda konon akan mendapatkan kesulitan dalam menghadapi sakratul maut.
Ekspresi kebingungan itu terlihat jelas dalam kutipan berikutnya dari suratkabar Sinar Pasoendan (1936) berikut ini:
“Djadi asa katjida henteu kaharti na lamoen noe bisa basa Walanda diseboetkeun hese sakarat?”
(Jadi bagaimana mau mengerti kalau ternyata yang bisa berbahasa Belanda akan mendapatkan kesusahan menghadapi waktu sakarat: sakratul’maut?)
Mengedepankan Bahasa Arab dan Jadi Bahasa Wajib Santri
Para Kiai pengasuh pondok pesantren di seluruh Cicalengka menganjurkan para santri agar mengedepankan bahasa Arab. Mereka wajib bisa mendalami bahasa Arab. Semua santri akan malu jika mereka tidak berbahasa Arab.
Adapun pernyataan para Kiai terekam dalam surat kabar Sinar Pasoendan (1936) sebagai berikut: “Aja oge ngoeping, basa Arab eta pang aloesna basa moenggoeh agama”
Artinya kurang lebih dalam bahasa Indonesia yaitu, “ada juga mendengar jika bahasa Arab itu paling bagus dan berdasarkan pada ajaran agama (Islam)”.
Oleh sebab itu para Santri harus mendalami bahasa Arab. Jika tidak bagaimana mereka bisa menguasai ilmu agama Islam sedangkan hampir seluruhnya ilmu agama Islam itu berbahasa Arab. Semuanya menggunakan istilah-istilah Arab.
Artinya ketimbang susah payah belajar bahasa Belanda, lebih baik waktu mereka gunakan untuk melancarkan kemampuan berbahasa Arab. Hal itu menjadi salah satu doktrin dari para Kiai di Cicalengka.
Lagi pula bahasa Belanda tak terlalu penting untuk santri, yang ada hanya bisa membuat mereka kafir sebab bahasa Belanda datangnya dari kebudayaan penjajah.
Konon stigmatisasi bahasa Belanda buruk oleh para Kiai di pesantren Cicalengka tidak lain untuk mendiskreditkan peran pendidikan Belanda pasca lahirnya politik etis.
Para Kiai tak ingin kurikulum pendidikan formal mempengaruhi para santri. Oleh karena itu para Kiai terus bersikap kontra dengan pendidikan Barat termasuk belajar bahasa Belanda.
Para Kiai menentang perilaku modern demi memusuhi Belanda agar cepat hengkang dari tanah Pasundan.
Baca Juga: Sejarah Pabrik Gula Modjopanggung, Dipimpin Tokoh Emansipasi Wanita Belanda
Kiai Cicalengka Bentuk Persatuan Umat Islam untuk Mengusir Belanda
Pada puncaknya para Kiai di Cicalengka membentuk Persatuan Umat Islam untuk mengusir Belanda. Stigmatisasi haram belajar bahasa Belanda adalah salah satu faktor bersatunya umat Islam di tanah Pasundan untuk membenci pemerintah kolonial.
Meskipun caranya kurang masuk akal (menyatakan: jika belajar bahasa Belanda maka akan mendapatkan kesulitan menghadapi Sakratul’maut), namun doktrinasi stigma buruk terhadap Belanda terkenal sukses mempengaruhi cara berpikir kritis para santri.
Artinya para santri sebetulnya dibebaskan memilih, para Kiai mengeluarkan statement itu untuk melatih santrinya bisa memilih: belajar bahasa Belanda atau tetap pada pandangan pesantren dan mendalami lagi bahasa Arab.
Semuanya sama-sama positif. Tidak ada yang bisa menyebabkan kerugian, terlepas dari stigma buruk sang Kiai terhadap pelajaran bahasa Belanda, intinya doktrinasi ini sukses membuat santri bersatu dalam pandangannya masing-masing.
Para santri bersatu dengan Kiai untuk melawan penindasan kolonial. Mereka terus memusuhi Belanda dengan berbagai cara. Salah satunya dengan doktrin dari para Kiai Cicalengka terkait Bahasa Belanda. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)