Ordonnantie Andjing Gila merupakan kebijakan pemerintah kolonial sejak tahun 1927 yang mengatur pembatasan hewan liar penyebab virus rabies yang ditularkan oleh anjing.
Peraturan ini diterbitkan pemerintah kolonial seiring dengan bertambahnya jumlah korban rabies akibat gigitan anjing liar yang ada di jalan-jalan umum.
Maksud pemerintah menertibkan anjing liat guna menghindari rabies memang mulia, namun cara petugas penangkap anjing liar ini yang jadi sorotan menarik. Sebab mereka menangkap anjing liar dengan keji, bahkan membunuhnya dengan siksaan (tidak di suntik mati).
Tentu ini merupakan kebijakan yang abu-abu. Di sisi lain menegakan hidup bersih dan sehat terhindar dari penyakit rabies, namun di sisi lainnya juga anjing liar itu tersiksa. Pemerintah kolonial belum punya regulasi hukum tentang pembinasaan hewan dengan bijaksana.
Baca Juga: Sejarah Gelar Haji Zaman Kolonial Belanda, Jadi Alat Kontrol Sosial
Ujung-ujungnya pemerintah kolonial tidak berperi kehewanan. Mereka memusnahkan anjing-anjing liar itu dengan kejam. Selain kena siksa cekik, konon anjing liar yang disebutnya dengan anjing gila itu digebuk sampai tewas hingga keluar darah dari lubang hidung, mulut, dan telinga.
Surabaya Tempat Pemberlakuan Pertama Ordonnantie Andjing Gila
Menurut surat kabar Soeara Publiek yang terbit pada hari Senin, 14 Maret 1927 bertajuk, “Kabar Kota: Andjing Gila”, pemerintah kolonial telah menerbitkan aturan pencegahan rabies yang ditularkan oleh anjing liar pertama kalinya di Surabaya.
Pemerintah kolonial di daerah kota Jawa bagian Timur ini menerapkan Ordonnatie Andjing Gila pertamanya sejak bulan Januari 1927. Adapun Surabaya sebagai tempat utama kebijakan ini tak lepas dari jumlah penderita rabies yang cukup tinggi.
Oleh sebab itu Surabaya menjadi kota pusat perhatian pemerintah kolonial dalam menerapkan kebijakan penanganan anjing liar. Apabila tak tertangani segera, pemerintah khawatir virus rabies akan menyebar hingga ke berbagai daerah lain di Jawa Timur.
Guna menegakan kedisiplinan Ordonnantie Andjing Gila pemerintah kolonial menugaskan opas-opas perkotaan untuk menangkapi anjing-anjing liar di Surabaya.
Baca Juga: Kisah Tentara Belanda Culik Kuli di Garut Tahun 1949
Dalam aturan Ordonnantie Andjing Gila tertera pula himbauan agar setelah tertangkap anjing liar tersebut bisa dimusnahkan dengan cara dibunuh menggunakan peralatan yang ada. Anjing liar itu dibunuh keji, tak menggunakan suntik mati melainkan gebukan kayu.
Peristiwa ini menjadi perhatian tak pantas khususnya bagi para pecinta hewan. Pemerintah kolonial telah melanggar peraturan perhewanan, kendati tujuannya baik –melenyapkan wabah rabies, akan tetapi caranya tak dibenarkan.
Para petugas pemburu anjing liar di Surabaya kala itu tak berperi kehewanan. Hal ini sekaligus menggambarkan sifat barbar manusia yang kadang kala bisa memicu tindakan brutalnya pada sesama makhluk tuhan lain. Salah satunya memicu penyiksaan antar manusia itu sendiri.
Ordonnantie Andjing Gila Mengatur Kedisiplinan Hewan Peliharaan
Dalam nota kebijakan Ordonanntie Andjing Gila, pemerintah kolonial mengatur tentang kedisiplinan pemilik hewan peliharaan terutama hewan beresiko rabies seperti anjing dan kucing.
Ordonanntie Andjing Gila menghimbau agar para pemilik hewan peliharaan tersebut supaya tidak meliarkannya ke jalan-jalan umum.
Adapun bagi sebagian masyarakat lain yang punya hobi memelihara hewan seperti anjing dan kucing, alangkah baiknya diurungkan sebelum berjanji dengan diri sendiri bisa memelihara hewan tersebut dengan baik.
Menurut aturan pemeliharaan anjing menurut Ordonnantie Andjing Gila sebaiknya pemilik hewan peliharaan yang beresiko terkena rabies agar menjaganya dengan tepat. Antara lain seperti memberikan tali pada anjing dan menjauhkannya hewan peliharaan tersebut berinteraksi dengan anjing-anjing liar di jalan.
Himbauan ini sebagaimana tertera dalam surat kabar Suara Publiek tahun 1927 yang berisi tentang aturan Ordonnantie Andjing Gila, berikut kutipannya:
“Ini binatang meskipoen di dalem pelataran, moesti dipakein blongsong menoeroet model jang ditetepken, dan djikaloe ada andjing soedah diblongsongin di bawa djalan di djalan besar, ini andjing moesti ditjantjang dengen rante atawa tali jang paling pandjang boleh 2 meter”.
Pernyataan di atas semacam standarisasi untuk para pemilik anjing peliharaan supaya tidak terkena dan menularkan rabies.
Baca Juga: Perang Rakyat Pekanbaru: Pejuang Menang, Belanda Terusir
Memperluas Ordonnantie Andjing Gila hingga Tahun 1930-an
Kebijakan Ordonnantie Andjing Gila semakin popular di masyarakat luas hingga tahun 1930-an. Selain berkembang di Surabaya pemerintah kolonial juga mulai menerapkannya ke beberapa daerah di Jawa Barat yang beresiko tinggi terkena rabies.
Salah satu daerah tersebut adalah Sumedang. Ordonnatie Andjing Gila yang ada di Sumedang membuat orang sana heran dan kaget. Ternyata cikal bakal penyakit yang banyak menewaskan masyarakat saat itu (rabies) berasal dari hewan liar seperti anjing.
Maka dari itu ketika Ordonnantie Andjing Gila diterapkan di Sumedang, masyarakat menyambut baik petugas dan bekerja sama menangkap anjing lantas membunuhnya secara kejam.
Adapun pemberitaan penangkapan dan pembunuhan anjing liar di Sumedang terekam dalam suratkabar Soeara Oemoem: Dagblag Nasional untuk Indonesia yang terbit pada Kamis, 17 Februari 1937 bertajuk, Ordonnantie Andjing Gila: Dilakoeken di Soemedang” sebagai berikut:
“Semenjak beberapa lamanja district Soemedang dilakoeken Ordonnantie Andjing Gila. Dari pihak atas soedah di desak soepaja pemboenoehan andjing jang bergelandangan dilakoeken dengan loes. Dalam boelan Djanuari 1937 daerah Soemedang ada 319 ekor andjing jang mati diboenoeh siksa”,
Itulah penggalan berita yang meliput bagaimana Ordonnantie Andjing Gila di Sumedang menjalankan praktik pembunuhan hewan rabies tanpa memperhitungkan perasaan berperi kehewanan.
Jika peristiwa itu terjadi pada hari ini, bagaimana reaksi para pecinta hewan ya? Apakah akan menuai kontroversi serius? (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)