Pada hari Jum’at, 12 Oktober 1934 surat kabar Sinar Pasoendan bertajuk, “Kariboetan di Wonogiri: Rakjat contra bestuur djeung politie”, mengabarkan terjadinya kerusuhan Tambakmerang yang timbul dari gerakan Messianistis (kepercayaan pada Ratu Adil) di Kecamatan Girimarta, distrik Djatisrono, Wonogiri Jawa Tengah.
Kerusuhan tersebut tersiar ke berbagai daerah melalui surat kabar, sebagian surat kabar yang memberitakan kerusuhan ini mengatakan peristiwa tersebut dengan istilah kerusuhan Tambakmerang.
Penyebab kerusuhan adalah tewasnya tokoh Messianistis berpengaruh di Wonogiri Timur bernama Kiai Wirasendjaja akibat timah panas yang keluar dari mulut senapan tentara kolonial Belanda.
Ratusan pengikut Kiai Wirasendjaja mengamuk, mereka memberontak pada pemerintah kolonial. Kerusuhan tersebut menimbulkan korban jiwa dari dua belah pihak –pengikut Kiai Wirasendjaja dan opas kolonial yang berjaga.
Kiai Wirasendjaja dianggap sebagai tokoh penting dalam pergerakan kaum petani di daerah Wonogiri. Konon Kiai Wirasendjaja punya kesaktian yang tinggi, orang-orang disekitarnya menyebut Kiai Wirasendjaja dengan istilah Kiai Kesakten.
Baca Juga: Kisah Tentara Belanda Culik Kuli di Garut Tahun 1949
Sejarah Kerusuhan Tambakmerang Berawal dari Penangkapan Kiai Wirasendjaja
Penangkapan disertai pembunuhan pada Kiai Wirasendjaja jadi sekam dalam jerami yang memicu kerusuhan Tambakmerang di Wonogiri tahun 1934.
Pemerintah kolonial kewalahan memadamkan kerusuhan tersebut massa yang didominasi oleh para petani. Konon penangkapan Kiai Wirasendjaja dilatarbelakangi oleh peranannya yang beresiko mengganggu stabilitas birokrasi kolonial karena pengikutnya banyak.
Oleh sebab itu pemerintah kolonial menangkap dan mengeksekusinya diam-diam. Namun beberapa pengikutnya mengetahui proses hukuman mati Kiai Wirasendjaja dan melaporkan ke khalayak umum. Kerusuhan pun pecah di Djatisrono Wonogiri.
Selama hidupnya Kiai Wirasendjaja kerap mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Terutama soal pajak petani yang kala itu terasa menekan kelompok tersebut. Kiai Wirasendjaja selalu memperjuangkan hak-hak rakyat kecil di pedesaan Wonogiri.
Gerakan Kiai Wirasendja semain dianggap bahaya tatkala Detachement Commandant Veld Politie yang dipimpin oleh Tuan Bimmelman menemukan ada aliran dana sebanyak F. 475 untuk gerakan Tambakmerang.
Setelah diusut dana itu merupakan uang dari para petani yang mendukung gerakan Tambakmerang. Dengan kata lain kerusuhan Tambakmerang di Wonogiri telah direncanakan sebelumnya, namun baru meletus ketika sang pemimpinnya dieksekusi mati.
Baca Juga: Perang Rakyat Pekanbaru: Pejuang Menang, Belanda Terusir
Sejarah Kerusuhan Tambakmerang, Gerakan Rakyat Kecil Mencari Ratu Adil
Menurut Sartono Kartodirdjo dalam tulisan R. K. Toha Sarumpaet berjudul, “Krisis Budaya: Oasis Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI” (2016), kerusuhan Tambakmerang merupakan peristiwa sejarah yang lahir dari rakyat kecil mencari kebenaran Ratu Adil.
Sartono menyebut Ratu Adil dengan sebutan Messianistis. Adapun yang dimaksud Ratu Adil dalam gerakan tersebut tidak lain adalah Kiai Wirasendjaja. Ia dipercaya memiliki kesaktian yang berasal dari wahyu Tuhan.
Rakyat kecil yang saat itu identik dengan petani memiliki harapan besar pada Kiai Wirasendjaja. Mereka percaya jika Kiai Wirasendjaja bisa membebaskan belenggu kesulitan terutama mengeluarkan mereka dari kemiskinan dan keterjajahan.
Kiai Wirasendjaja merupakan orang yang punya Kesakten, tak sembarang manusia bisa menyerupai keahliannya. Konon ia kebal peluru dan sabetan benda tajam, namun mitos itu terpecahkan ketika tentara kolonial berhasil membunuhnya hanya dengan timah panas yang menembus dadanya.
Kendati demikian para pengikut gerakan Tambakmerang masih percaya pada posisi Kiai Wirasendjaja sebagai Ratu Adil. Mereka rela korban jiwa demi membela kemenangan pengikut Kiai Wirasendaja.
Perang antara petani dan pemerintah kolonial akibat tewasnya sang Ratu Adil menggegerkan penduduk di berbagai daerah. Karena kerusuhan ini banyak pula gerakan lain yang semakin berani menonjolkan perlawanannya pada Belanda.
Baca Juga: Strategi Putus Jembatan, Taktik Perang Ambarawa Taklukan Belanda
Bupati Wonogiri Memadamkan Api Kerusuhan Tambakmerang
Kerusuhan yang melibatkan ratusan pengikut Kiai Wirasendjaja mendadak berhenti ketika Bupati Wonogiri, R. M. T. Hardjowiratmo turun tangan.
Regent yang berasal dari keluarga ningrat Kasunanan ini mencabut keris pusakanya untuk memadamkan api pemberontakan Tambakmerang.
Konon keris sang Bupati terkenal sakti. Terlepas dari itu kerusuhan berhenti akibat keris merupakan pusaka tertinggi Jawa yang menyimbolkan adi luhung kehidupan.
Oleh sebab itu ketika keris pemangku jabatan tertinggi di daerah itu sudah keluar dari sangkarnya, berarti rakyatnya harus memberhentikan seluruh kegiatan yang beresiko mencederai sesama manusia. Keris Bupati Hardjo jadi simbol perdamaian.
Adapun peristiwa R. M. T. Hardjowiratmo melerai kerusuhan Tambakmerang tergambar dalam kutipan suratkabar Sinar Pasoendan (1934) sebagai berikut:
“tjoema oentoek sekedar menjadi boenga rampai, adalah optreden regent Wonogiri R. M. T. Hardjowiratmo, waktoe mengetahoei pemberontak soedah moelai riboet, pantjakara dengan politie beliau menghoenoeskan kerisnja kabarnja “Kyai Gringsing” jg itoe waktoe dipakai. Beliau itoe tampil ke moeka dengen menjoeroh orang2 itoe soepaja memberhentikan perboeatannja, karena kalau tidak….”
“Sekian ratoes itoe, lantas lari salang toendjang. Takut karena perintah regent itoe” . (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)