Sejarah Atjeh Moorden menjadi catatan traumatis bagi kolonial Belanda. Atjeh Moorden adalah peristiwa pembantaian orang-orang Belanda di Aceh yang terjadi sekitar tahun 1873-1933.
Orang-orang Aceh membantai Belanda karena mereka punya keyakinan jika orang dari Negeri Kincir Angin tersebut adalah orang yang berasal dari golongan “Kaphe” atau Kafir.
Orang Aceh zaman Belanda memegang teguh keyakinan membunuh golongan Kafir yang berasal dari Eropa. Mereka tidak ingin melihat negeri sendiri hancur karena orang-orang Kaphe ikut campur secara politis di beberapa kerajaan kecil yang berada di Aceh.
Meskipun pembantaian Kaphe Belanda terjadi sejak tahun 1873, namun secara catatan waktu sejarah, puncak dari peristiwa berdarah itu ada pada tahun 1933.
Baca Juga: Kapten Westerling, Kisah Sadis Komandan Baret Hijau Belanda
Orang Belanda banyak yang menjadi korban, sedang prajurit Aceh menjadi buron dan bulan-bulanan tentara Marsose dari berbagai daerah di Hindia Belanda.
Peristiwa Atjeh Moorden membuat trauma banyak orang Belanda. Mereka terusir dari negeri Serambi Mekkah secara telak.
Namun karena tidak ingin terlihat kalah, Belanda mendatangkan ahli jiwa untuk memeriksa para pelaku Atjeh Moorden. Mengapa mereka bisa tega membunuh Belanda secara keji.
Sejarah Atjeh Moorden dan Latar Belakang Pembantaian Orang Belanda di Aceh
Menurut Ibrahim Alfian dalam buku berjudul, “Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912” (2016), geger Atjeh Moorden terjadi karena keyakinan orang-orang Aceh tentang Belanda sebagai bangsa dari golongan Kaphe atau Kafir.
Masyarakat Aceh yang telah terbiasa mempelajari agama Islam menolak Belanda ada di Aceh dengan alasan tidak ingin negerinya rusak. Karena banyak tekanan dari Belanda yang seolah tak menghiraukan budaya orang Aceh akhirnya memicu meletusnya Perang Aceh pada tahun 1873.
Sepanjang abad ke-19 menjelang masuk sampai pertengahan abad ke-20 orang Aceh terus memerangi Belanda.
Mereka menghajar pasukan Marsoses Belanda dari berbagai arah mata angin. Korban pun bergeletakan di mana-mana, terutama orang Belanda tetapi juga ada orang Aceh yang juga tewas di medan pertempuran.
Puncaknya pada Juli 1933 keadaan Aceh semakin gawat dan tak terkondisikan. Sejarah mencatat, saat itu Prajurit Atjeh Moorden mengamuk, menyerang, dan memberontak seluruh isi tatanan pemerintah Hindia Belanda di negeri tercintanya. Akibatnya banyak korban berjatuhan terutama dari kalangan orang Belanda.
Baca Juga: Sejarah Perang Aceh, Ulama Berperan Memobilisasi Massa
Tidak ingin peristiwa ini berlanjut, pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Aceh berniat membalaskan dendam para keluarga korban.
Apalagi saat pejabat pemerintah bertangan besi, Kapten Ch. E. Schmid yang juga seorang Komandan Divisi V Marsose tewas ditikam pelaku Atjeh Moorden bernama Amat Leupon di Lhok Sukon, Aceh Utara.
Belanda langsung mencari bantuan Pejabat Asisten Residen Aceh Utara bernama J. Jongejans untuk menelusuri akar penyebab fenomena Atjeh Moorden ini meledak.
Ia kemudian memanggil Direktur Rumah Sakit Jiwa di Sabang bernama J. A. Latumeten untuk memeriksa kejiwaan si pelaku Atjeh Moorden.
Setelah memeriksa pelaku, dr. J. A. Latumeten berkesimpulan ada dua faktor yang menyebabkan prajurit kampung ini berani melakukan praktik Atjeh Moorden.
Pertama, Atjeh Moorden terjadi karena si pelaku hilang keseimbangan jiwa alias tidak sadar (regresi) dan hilang ingatan.
Kedua, Atjeh Moorden terjadi karena faktor klasik. Si pelaku secara sadar, sengaja, dan bengis atau dalam bahasa kriminal terkenal dengan kejahatan sejenis rituele extase.
Sejarah Atjeh Moorden: Berasal dari Indoktrinasi Agama
Menurut dr. J. A. Latumeten ahli kejiwaan sekaligus Direktur Rumah Sakit Jiwa di Sabang menyebut, fenomena Atjeh Moorden ini berasal dari sebuah indoktrinasi kepercayaan/ agama dari suatu kelompok tertentu yang ada di Aceh dan sekitarnya.
Indoktrinasi ini menyasar kaum muda di Aceh, terutama generasi bangsa yang pernah mengalami berbagai tindakan represif, diskriminatif, dan intimidasi dari Belanda.
Para pelaku indoktrinasi memberi arahan pada pengikutnya bahwa memerangi musuh (Belanda) sama seperti memerangi kaum Kafir. Hukumnya wajib dan bisa membawa pahala.
Peneliti kejiwaan dr. J. A. Latumeten menilai ada faktor lain selain pengaruh Indoktrinasi yaitu, adanya perasaan malu yang tak tertahan, perasaan dendam yang terpendam, dan konflik kejiwaan yang tak terkendalikan menjadi satu dalam jiwa orang Aceh.
Baca Juga: Syekh Palsu Snouck Hurgronje, Siasat Belanda Kalahkan Rakyat Aceh
Orang Aceh mengkolaborasikan jiwa tertekan itu dengan pengaruh Indoktrinasi. Hasilnya menciptakan pola ketidaksenangan mereka terhadap orang Kafir. Selain musuh kedaulatan Monarki di Aceh, Kafir Belanda juga adalah musuh orang Aceh yang notabene beragama Islam.
Membentuk Struktur Sosial yang Melahirkan Perang Sabil
Sejarah kemudian mencatat, Gubernur Aceh pada zaman van Akeun menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Ia mengabarkan fenomena Atjeh Moorden telah mengilhami lahirnya konsep Perang Sabil.
Salah satu tokoh Perang Sabil yang disoroti oleh Belanda saat itu adalah Tgk. Syaikh Ibrahim Lambhuek- seorang pejabat Uleebalang Masjid Raya Belanda.
Ia menyebut dalam kesaksiannya menyukai hidup bebas dan memerangi kaum Kafir, bahkan ia siap mati dengan semangat Perang Sabil untuk memerangi Belanda.
Menurut dr. J. A. Latumeten peristiwa ini terjadi karena masyarakat negeri Serambi Mekkah ini punya kepercayaan akan memperoleh imbalan apabila semangat Perang Sabil berhasil meruntuhkan kejayaan Belanda di tanah Aceh.
Imbalan itu bisa berupa berkah kehidupan sejahtera di dunia, atau pahala yang tak terlihat jadi bekal di akhirat.
Menariknya lagi masyarakat Aceh percaya apabila perjuangannya ini gagal mereka tidak usah khawatir masuk dengan hari esok di alam baka.
Sebab jasad pelaku Perang Sabil akan wafat dalam keadaan syahid sehingga Surga adalah tempat bagi mereka sebagaimana janji Tuhan. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)