Menurut catatan sejarah, Serikat Buruh Wanita merupakan perkumpulan para pekerja perempuan yang sudah menunjukan eksistensi politik sejak tahun 1930-an.
Kala itu perkumpulan ini jadi kelompok yang mendapatkan cap negatif dari pemerintah kolonial. Pejabat tinggi kolonial menganggap Serikat Buruh Wanita sebagai persoalan yang sering menimbulkan kerugian.
Mereka sering menghasut buruh-buruh lain mogok kerja. Selain itu Serikat Buruh Wanita juga tak jarang kedapatan sering ikut dalam demonstrasi menuntut kenaikan upah dan perubahan kebijakan yang menguntungkan negara. Kaum buruh ini kerap jadi sasaran amarah kolonial karena perannya yang kontroversial.
Baca Juga: Pemberantas Kemiskinan Zaman Belanda, Kolonial Bagi-Bagi Sembako Raih Simpati Massa
Lantas dari manakah sejarah awal Serikat Buruh Wanita ini terbentuk? Menurut beberapa sumber, Serikat Buruh Wanita berasal dari kelompok “Suara ibu-ibu rumah tangga”. Mereka menghimpun para wanita yang sudah berkeluarga bergabung dengan Serikat Buruh Wanita.
Persebaran Serikat Buruh Wanita terjadi di sepanjang batas pulau Jawa. Tapi aktivitas mereka sering ada di kota-kota besar pulau Jawa antara lain di Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan Batavia.
Sejarah Awal Munculnya Serikat Buruh Wanita dari Persatuan IRT
Sejarah awal pembentukan Serikat Buruh Wanita nampaknya bisa kita telusuri dari peristiwa pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan perburuhan sejak tahun 1930-an.
Isi dari peraturan tersebut “Pemerintah wajib memberhentikan buruh wanita yang sudah berkeluarga (menikah)”.
Peristiwa ini mengejutkan bagi berbagai pihak terutama para buruh wanita yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, pegawai pabrik, dan guru.
Mereka tidak mendapatkan izin bekerja karena sudah menikah. Memilih berkeluarga menjadi penyebab mereka kehilangan pekerjaan yang selama ini menghidupinya.
Menurut John Ingleson dalam buku berjudul, “Buruh, Serikat, dan Politik Indonesia pada 1920-an- 1930-an” (2015), pemerintah kolonial memandang konservatif terhadap kedudukan perempuan. Mereka lebih terbiasa menempatkan perempuan sebagai pendamping dan pengikut ketimbang “pemimpin”.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap wanita lebih layak mengurus keluarga ketimbang menjadi figur publik. Oleh sebab itu sebaiknya para IRT (Ibu Rumah Tangga) berdiam diri di rumah mengurus anak, suami, dapur dan rumah.
Baca Juga: Sejarah Upacara Pernikahan Zaman Belanda, Megah dan Diskriminatif
Dengan demikian kebijakan pemerintah tidak mengangkat pekerja wanita yang sudah menikah menjadi pegawai tetap berlaku sejak tahun 1930. Puncaknya para pemerintah banyak memberhentikan pekerja wanita yang sudah menikah pada tahun 1933.
Karena tak terima dengan kebijakan itu eks pegawai perempuan tersebut kemudian menggalang massa aksi. Mereka menggabungkan diri ke dalam organisasi buruh bernama Serikat Buruh Wanita.
Agenda organisasi ini mencari cara bagaimana mereka bisa menembus tembok pemerintah agar kebijakan kontroversi ini hancur dan tak berlaku lagi. Tujuannya jelas agar mereka bisa kembali bekerja.
Ajang Penolakan Praktik Diskriminasi Gender
Meskipun Serikat Buruh Wanita terlihat memperjuangkan runtuhnya kebijakan kolonial yang mengatur “undang-undang syarat bekerja bagi wanita”, nampaknya organisasi buruh wanita yang satu ini juga terbentuk dari tujuan menolak praktik diskriminasi gender.
Mereka sudah sadar bahwa perempuan itu punya hak yang sama seperti kaum lelaki. Melalui organisasi Serikat Buruh Wanita para perempuan Indonesia ingin mendobrak gunung es kehirarkisan bangsa ini yang terbentuk dari kultur feodal.
Bagi seluruh pengurus Serikat Buruh Wanita timing menggembar-gemborkan anti diskriminasi gender saat itu cenderung tepat.
Sebab selain program ini baru bagi pergaulan sosial remaja wanita, pemerintah kolonial kala itu sedang menghadapi pula depresi ekonomi yang hebat.
Seluruh anggota Serikat Buruh Wanita berharap bisa ikut menumbangkan pemerintah kolonial dari hasil suara perempuan. Apabila mereka ingin insyaf, Serikat Buruh Wanita akan meyakinkan berbagai perusahaan swasta untuk mempekerjakan kembali para wanita yang sudah menjadi IRT.
Serikat Buruh Wanita berjanji bisa mendidik wanita-wanita IRT tangguh. Organisasi ini menjamin status pernikahan bagi buruh wanita tidak akan berpengaruh pada kualitas pekerjaan. Mereka justru akan tampil lebih semangat karena punya harapan masa depan yang lebih cerah dari sebelumnya.
Baca Juga: Transmigrasi Jawa-Sumatera, Kebijakan Belanda yang Memaksa
Dukungan untuk mempekerjakan kembali IRT menjadi buruh wanita juga datang dari dua federasi Serikat Buruh Publik yaitu, PVPN (Persatuan Vakbond Pegawai Negeri) dan VVL (Verbond van Vereeningingen van Landsdienaren). Mereka menyatakan sikap menolak kebijakan itu karena tidak adil dan harus segera memberhentikannya.
Anggota Serikat Buruh Wanita Paling Banyak Berasal dari Profesi Guru
Menurut John Ingleson anggota Serikat Buruh Wanita paling banyak berasal dari profesi guru. Lebih tepatnya guru wanita, mereka mendominasi organisasi ini karena ingin sama-sama menyuarakan aspirasi kaum IRT.
Mereka kehilangan pekerjaan yang amat dicintainya –mendidik anak-anak bangsa menjadi pintar dan cerdik pandai, hanya karena pernikahan yang secara otomatis mengubah statusnya jadi IRT.
Bersama Serikat Buruh Wanita, kaum guru perempuan terdidik ini kemudian mengumpulkan strategi untuk berunjuk rasa pada pemerintah Hindia Belanda di pusat pemerintahan Batavia.
Namun usaha mereka patah dan gagal sia-sia. Sebab penentang dari para pemimpin Serikat di tingkat pusat tak selamanya mendapat dukungan di tingkat lokal.
Singkatnya strategi berunjuk rasa mereka belum matang. Selain kena gebuk pemerintah kolonial, para aktivisnya sampai ada yang di penjara.
Hal ini bukan saja karena dampak kegagalan berunjuk rasa, tetapi juga akibat dari sekolah-sekolah partikelir mengambil sikap yang sama dengan pemerintah: menolak buruh (guru) wanita yang sudah menikah jadi pegawai tetap. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)