harapanrakyat.com,- Majelis hakim PN Bale Bandung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terpaksa menunda sidang lanjutan yang menyeret mantan Ketua DPRD Jawa Barat Irfan Suryanagara dan istrinya Endang Kusumawaty.
Rencananya, pada Jumat (13/1/2023) ini, majelis hakim mengagendakan sidang lanjutan dengan agenda sidang pemeriksaan terhadap para terdakwa.
Penundaan itu lantaran jaksa penuntut umum (JPU), bersikeras ingin menghadirkan terdakwa secara tatap muka (offline). Jaksa berpendapat, saat ini pemerintah sudah mencabut aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Selain itu, pertimbangan jaksa ingin menghadirkan terdakwa secara langsung berkaitan dengan pembuktian materi dakwaan.
Baca Juga : Sidang Mantan Ketua DPRD Jabar, Saksi Ahli: Jaksa Wajib Buktikan Pidana Asal
JPU pun meminta majelis menunda jalannya persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa ini jika terdakwa tidak hadir di persidangan secara tatap muka.
Menanggapi hal itu, majelis hakim itu mengabulkan permohonan JPU menunda persidangan. Namun, majelis hakim terpaksa belum bisa mengabulkan keinginan jaksa untuk menghadirkan terdakwa secara langsung.
Alasannya, majelis hakim menjelaskan, saat ini belum ada keputusan tertulis mengenai pencabutan perjanjian bersama tiga lembaga negara mengenai teknis pelaksanaan sidang secara online.
Dengan demikian, kata hakim ketua, pihaknya tetap berpedoman pada surat keputusan bersama (SKB) mengenai teknis pelaksanaan persidangan secara online.
Sebagai informasi, majelis hakim kembali menggelar persidangan pada Jumat (13/1/2023) ini mengagendakan pemeriksaan terhadap terdakwa.
“Kami memohon majelis menggelar persidangan dengan agenda pemeriksaan terhadap terdakwa ini secara tatap muka. Pemerintah saat ini sudah mencabut peraturan PPKM. Ada beberapa hal juga yang harus kami tunjukkan kepada para terdakwa,” ungkap JPU atas nama Pujo dalam persidangan.
Selain itu, Pujo juga menerangkan, persidangan secara tatap muka ini untuk kepentingan JPU demi pembuktian materi dakwaan.
“Banyak yang harus kita kasih lihat dan konfirmasikan sama dia (para terdakwa). Itu hanya untuk memenuhi dakwaan kita. Ada catatan-catatan dalam dakwaan harus kita perlihatkan sama dia,” tutur Pujo seusai persidangan.
Tidak Persoalkan Kehendak Jaksa, Majelis Hakim Ingatkan Soal SKB
Menanggapi hal tersebut, majelis hakim berpendapat pada prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan kehendak JPU. Akan tetapi majelis berpendapat, saat ini belum ada keputusan mengenai pencabutan SKB yang mengatur teknis pelaksanaan sidang secara online.
“Secara prinsip, kami tidak jadi masalah mau sidang secara offline maupun online. Namun, kami tidak mau melanggar SKB mengenai pelaksanaan sidang secara online,” ungkap majelis di persidangan.
Baca Juga : Penasihat Hukum Terdakwa Irfan Hadirkan Saksi Fakta
“Kami tetap menghormati perjanjian SKB antara Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, serta Kementerian Hukum dan HAM tentang pelaksanaan persidangan melalui teleconference,” tutur pimpinan persidangan.
Selain itu, majelis juga berpendapat jika terdakwa dihadirkan secara tatap muka maka terdakwa harus menjalani tes PCR Covid-19 dan juga menjalani isolasi selama 14 hari jika keluar rumah tahanan.
Khawatirnya, lanjut majelis hakim, jika terdakwa harus menjalani isolasi, dapat mengganggu jalannya agenda persidangan selanjutnya.
“Jika saudara jaksa tetap ingin menghadirkan terdakwa secara langsung di persidangan, silahkan kami memberi kesempatan jaksa menempuh prosedur sidang offline, termasuk jaminan keselamatan terdakwa,” ungkap majelis hakim.
Majelis hakim menekankan, persidangan akan digelar kembali pada Senin (16/1/2023) dengan agenda pemeriksaan kepada terdakwa.
“Jika jaksa tidak bisa membuktikan secara hitam di atas putih prosedur persidangan offline, maka sidang akan digelar secara online kembali,” tutur hakim sebelum menutup persidangan.
Sebagai informasi, Irfan Suryanagara dan Endang Kusumawaty terjerat kasus dugaan penipuan dan penggelapan bisnis SPBU.
Berdasarkan dakwaan, transaksi kerja sama bisnis antara terdakwa Irfan dan korban yaitu Stelly Gandawidjaja, berlangsung sejak 2013 hingga 2019 yang merugikan korban sebesar Rp 58 miliar. (Ecep/R13/HR-Online)