Cokronegoro 1 merupakan Bupati pertama Purworejo dari golongan Ksatria. Ia berasal dari sosok keturunan bangsawan Surakarta yang bertugas memimpin prajurit perang. Profesi ini kemudian menjadikan Cokronegoro 1 punya julukan Ksatria.
Karena sifat-sifat pemberani dan mental kuat seorang Cokronegoro 1 membuat pemerintah kolonial Belanda jatuh hati dengan jejak kerjanya.
Hingga pada akhirnya seorang Komisaris Tanah Kerajaan bernama Pieter Herbert Baron van Lawick van Pabst menunjuk Cokronegoro 1 sebagai Bupati Purworejo.
Pemilihan ini merupakan sebuah kado istimewa dari Belanda untuk Surakarta. Mengingat saat itu Belanda sedang ada permasalahan dengan Yogyakarta akibat Perang Jawa (Diponegoro) yang terjadi pada tahun 1825-1830.
Baca Juga: Profil Kyai Sadrach, Penginjil Mantan Santri Zaman Belanda
Memilih elit sosial bergelar Ksatria dari Surakarta, Belanda ingin menunjukan keseriusan “pilih kasih” perhatiannya pada Yogyakarta karena lamban mengatasi Perang Jawa.
Selain karena itu semua, pemilihan Cokronegoro 1 sebagai orang nomor satu di Purworejo ini tidak lain karena ia sebagai Ksatria yang cerdas.
Hal ini tercermin dari keahlian Cokronegoro 1 selain sebagai pemimpin prajurit perang. Dalam catatan Belanda Cokronegoro 1 pernah jadi seorang administrator di Surakarta.
Pengalamannya luas dan bisa membuat Purworejo maju. Namun Pabst mengenal Cokronegoro 1 sebagai “tukang pukul”, orang pemberani yang selalu konfrontatif.
Sejarah Awal Cokronegoro 1 Jadi Bupati Pertama di Purworejo
Menurut Peter Carey dalam buku berjudul, “Sisi Lain Diponegoro, Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa” (2017), pemilihan Cokronegoro 1 sebagai Bupati pertama Purworejo tak lepas dari kedudukannya sebagai seorang Ksatria.
Pemikiran rasional kolonial saat itu pemimpin terbaik adalah seseorang yang punya pengalaman militer (ksatria).
Selain itu terpilihnya Cokronegoro 1 menjadi Bupati Purworejo pertama juga terjadi akibat Belanda dekat dengan keluarga Kasunanan. Mereka merekomendasikan Cokronegoro 1 untuk jadi pejabat lokal karena prestasi kerja yang luar biasa.
Awalnya Van Pabst sempat meragukan rekomendasi Sunan untuk memilih Cokronegoro 1 jadi Bupati Purworejo, sebab Pabst yang seorang sipil tidak percaya sosok ksatria seperti Cokronegoro 1 bisa bekerja di ranah “administrasi professional”. Bahkan Pabst menjuluki Cokronegoro 1 tak lebih dari “tukang pukul”.
Namun ternyata Pabst salah, sebab selain jadi Ksatria Cokronegoro 1 juga punya pengalaman yang luas dalam bidang sipil. Ia pernah jadi mantra gladhag di Kasunanan Surakarta, jadi Panewu (asisten Wedana), dan punya keahlian teknis di bidang pengairan.
Rekam jejak kerja Cokronegoro 1 saat jadi pekerja teknis irigasi tercermin dari hasil kerja yang baik yaitu menyelesaikan sengketa irigasi di perbatasan Ampel-Boyolali pada tahun 1810. Oleh karena itulah Cokronegoro 1 tumbuh jadi Ksatria yang serba bisa.
Baca Juga: Sejarah Modernisasi Mangkunegaran Abad ke-20, Menantang Adat Menjunjung Pengetahuan Barat
Karena ini pula akhirnya Van Pabst melantik Cokronegoro 1 jadi Bupati Purworejo sejak tanggal 26/27 Februari 1831. Bupati Purworejo pertama bergelar Raden Adipati Ario Cokronegoro 1 tersebut resmi dilantik di Pendopo Suronegaran.
Seorang Administrator Lokal Berpengalaman
Cokronegoro 1 merupakan sosok administrator lokal berpengalaman yang pernah bekerja di Kasunanan Surakarta. Laporan kolonial mengungkap masa kerja Cokronegoro 1 di sana dari tahun 1805-1825, kurang lebih sudah 20 tahun Cokronegoro 1 bekerja sebagai seorang administrator lokal.
Perjalanan karir Cokronegoro 1 menjadi seorang pejabat lokal di Kasunanan Surakarta mendapatkan perhatian dari para petinggi keraton saat itu. Tak heran jabatan Cokronegoro 1 terus menanjak dan masuk terpilih menjadi salah satu kandidat Bupati pertama di Purworejo.
Selain itu karena pengalaman ini, pemerintah kolonial mempercayai Cokronegoro 1 agar tetap melahirkan regenerasi pemimpin alias menelurkan penerus tahta bupati di Purworejo.
Maka dari itu tradisi memilih Bupati di Purworejo berdasarkan trah Cokronegoro 1 dan ini berhasil sampai melahirkan pemerintahan Cokronegoro IV dari tahun 1907-1919.
Semasa trah Cokronegoro 1 sampai dengan Cokronegoro IV, Purworejo terkenal sebagai salah satu daerah kolonial yang tertib, bersih, dan nyaman. Antara lain karena pemimpinnya memperhatikan infrastruktur (jalan-pengairan) yang baik, pendidikan merata, dan mewariskan kekayaan sastrawi (kebudayaan) Babad Kedung Kebo 1834.
Seorang Ksatria yang Cerdas dan Pemberani
Selain sebagai “tukang pukul” akhirnya van Pabst mengakui Cokronegoro 1 sebagai seorang Ksatria yang cerdas dan pemberani. Hal ini tak lain karena beberapa keahlian yang ada dalam diri Cokronegoro 1.
Ia ternyata seorang ahli dalam bidang infrastruktur untuk meredam perang Jawa. Tujuannya tidak mencampuri siapa yang menang dan siapa yang kalah, akan tetapi Cokronegoro 1 menjadi seorang humanis yang peduli akan keselamatan orang yang tak bersalah seperti etnis Tionghoa di Purworejo.
Baca Juga: Profil Pakubuwono X: Raja Surakarta yang Punya Mobil Mahal
Ketika perang berlangsung, saat itu Cokronegoro 1 belum jadi Bupati Purworejo (1827) ia sibuk mengungsikan orang-orang Tionghoa ke Magelang, Wonosobo, dan Pesisir Utara Jawa. Mereka semua mengungsi untuk menghindari perang Jawa.
Selain membangun infrastruktur untuk memudahkan pemberhentian Perang Jawa, Cokronegoro 1 yang juga ahli perairan membangun jalur irigasi untuk kepentingan daerah yang terisolir oleh air.
Terutama daerah-daerah yang ada di Bagelen dengan mempekerjakan 5000 pasukan yang berasal dari desa-desa kecil di Purworejo. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)