Mengenang Sipon dan Widji Thukul, kisah pasangan suami istri aktivis buruh pemberani dari Solo Jawa Tengah. Dalam catatan sejarah Indonesia, mereka berdua terkenal sebagai pasutri pembela buruh sejati.
Sipon kini telah wafat, wanita pemberani bernama asli Dyah Sujirah menghembuskan nafas terakhirnya pada Kamis, 5 Januari 2023 kemarin. Menurut pendapat keluarga mendiang Sipon meninggal akibat serangan Jantung dan menderita penyakit gula cukup lama.
Wafat Sipon telah menambah catatan sejarah Indonesia pada bab “sejarah pergerakan buruh zaman Orde Baru”. Pasalnya selain menjadi istri Widji Thukul- seorang aktivis buruh yang hilang, Sipon juga menjadi saksi penting dalam peristiwa kelam tersebut.
Betapa khawatir dan putus asa Sipon bersama anak-anaknya ketika mengetahui suami hilang, entah kemana perginya. Belakangan Widji masuk dalam daftar “aktivis yang hilang”. Dugaan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah Orde Baru telah menculiknya.
Baca Juga: Profil Widji Thukul, Aktivis HAM yang Hilang di Era Orba
Sipon dan Widji Thukul, Lambang Keluarga Harmonis di Kalangan Aktivis
Widji Thukul pria bertubuh kerempeng pemilik nama asli Widji Widodo merupakan pekerja pabrik (buruh) yang aktif dalam organisasi pergerakan buruh tersohor yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Selain aktif dalam pergerakan buruh, pria kelahiran Surakarta, 26 Juli 1963 tersebut aktif pula dalam dunia seni teater. Dari sinilah pertemuan awal Sipon dengan Widji Thukul. Saat itu Widji dan Sipon bermain teater bersama dan menjadi lawan aktingnya.
Kedekatan semakin merekat tatkala Thukul dan Sipon saling mengungkapkan isi hati. Hingga pada akhirnya mereka berdua memberanikan diri menikah pada 30 September 1988.
Tetangga mengenal Widji sebagai suami yang baik, Sipon tak pernah kena marah atau pun pukul darinya. Widji Thukul representasi suami terbaik bagi Sipon.
Dari pernikahannya Widji dan Sipon memiliki dua anak, satu perempuan bernama Fitri Nganthi Wani dan yang ke dua lelaki bernama Fajar Merah. Untuk mengisi dompet demi menghidupi keluarga Widji dan Sipon bekerja menjadi buruh di Pabrik.
Terkadang ayah dua anak ini menambah penghasilan dengan bekerja serabutan. Sementara Sipon juga sama, ia membuka jasa menjahit pakaian kecil-kecilan di rumahnya. Kendati hidup berkecukupan, Sipon mengaku bahagia dengan suami.
Widji Thukul aktif dalam gerakan buruh, Sipon secara otomatis ikut terlibat di dalamnya menenami perjuangan suami tercinta.
Oleh sebab itu mereka terkenal sebagai lambang keharmonisan rumah tangga aktivis buruh sejati. Sepasang suami istri tersebut telah menginspirasi banyak orang di dalam organisasi pergerakan buruh.
Baca Juga: Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Lekra Peraih Ramon Magsaysay Award
Semua keharmonisan Sipon dan Widji Thukul mendadak berhenti setelah penyair pelo ini menjadi buron akibat peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 yang terkenal dengan istilah Kuda Tuli.
Widji Thukul yang saat itu menjadi penyair buruh kena imbasnya. Pemerintah Orde Baru menuduh Widji Thukul sebagai dalang kerusuhan tersebut.
Sipon Mencari Widji Thukul, Suami yang Hilang
Setelah buron beberapa tahun dari peristiwa itu, Widji Thukul hidup berpindah-pindah. Ada yang menyebut ia pernah kabur ke Kalimantan, Widji tinggal di sana dengan seorang teman yang sama-sama aktivis buruh.
Kecemasan selalu membayang-bayangi keseharian Widji Thukul, ia tak berani bergerak lebih leluasa sebagaimana ia dulu sebelum peristiwa Kuda Tuli terjadi.
Begitu pun dengan rasa rindu pada keluarga, anak, dan istri tercinta Sipon. Hingga pada akhirnya Widji Thukul memberanikan diri pulang ke Jawa untuk menemui mereka.
Tetapi pertemuan itu tak bisa terjadi di rumah kecil sederhananya. Sebab orang tak dikenal selalu mengintip dan mengawasi gerak-gerik Sipon. Khawatir Widji tertangkap, Sipon mengajak ketemuan di salah satu tempat aman bersama Widji sang suami.
Itulah salah satu kenangan Sipon yang masih tersimpan baik di memori ingatannya hingga wafat. Sipon benar-benar seorang istri yang berbakti pada suami.
Menurut Edisi Khusus: Tragedi Mei 1998-2013, Majalah Tempo (2013), Widji Thukul hilang sejak tanggal 27 Juli 1998. Sama seperti tanggal huru hara Kuda Tuli, besar kemungkinan “orang suruhan” Orde Baru menemukan persembunyian Widji Thukul dan menghilangkannya.
Sejak saat itu Sipon tak pernah bertemu lagi dengan suaminya. Seperti tak menyerah Sipon terus mencari suami hingga ia bergabung dengan aktivis HAM. Berbagai tuntutan untuk menemukan Widji Thukul terus dilakukan Sipon.
Ibu dua anak ini percaya kalau suaminya masih hidup. Widji Thukul hilang dan belum mati, sebab kalau sudah meninggal ia dan keluarganya tak pernah tahu di mana letak peristirahatan terakhirnya.
Sampai Sipon wafat negara masih belum tuntas menyelesaikan kasus kemana hilangnya “penyair merah” Widji Thukul.
Baca Juga: Profil Ridwan Saidi, Peminat Sejarah yang Kontroversial
Istri Aktivis Buruh yang Setia
Meskipun hati Sipon hancur kehilangan suami dan harus membesarkan kedua anaknya seorang diri, ia tetap berusaha memberi yang terbaik untuk Widji Thukul dengan tidak menikah lagi. Sipon begitu mencintai suaminya sehingga ia mati-matian mencari nafkah untuk menghidupi anak-anak Widji.
Berbekal keterampilan menjahit pakaian, Sipon sehari-hari membesarkan anak-anaknya dari hasil menjadi penjahit. Ia membuka jasa menjahit pakaian dan reproduksi pakaian yang sudah ketinggalan zaman menjadi kelihatan lagi modern dengan tambahan variasi.
Karena keikhlasan hati membesarkan kedua anak tanpa suami, Sipon selalu mendapatkan berkah dari Tuhan. Ia bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Sipon selalu melatih anaknya kuat kendati tak punya ayah sejak ia kecil.
Sipon menjaga mental anak-anak Widji Thukul dengan mengatakan ayahnya sebagai pahlawan. Pada kenyataannya memang begitu, Widji Thukul adalah seorang pahlawan “kerah biru”, berani mati hanya untuk memperjuangkan nasib buruh ke depan.
Sampai wafat Sipon masih percaya dan mengharapkan suaminya bisa pulang. Jika pada kenyataannya Widji Thukul telah meninggal dunia, ia berharap bisa mengetahui letak peristirahatan terakhirnya ada di mana. Nahas permintaan Sipon tak terjawab, lantas siapakah yang seharusnya bertanggung jawab? (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)