Sejarah Indonesia pernah mencatat ada nama seorang novelis Amerika yang pernah membela dan berpihak pada kaum republiken pada masa Revolusi Fisik di Indonesia. Nama orang asing yang pernah menggegerkan dunia ini adalah K’Tut Tantri.
Meskipun bukan nama aslinya, K’Tut Tantri terkenal sebagai seorang perempuan yang jadi pahlawan bagi bangsa Indonesia.
Sebaliknya orang Amerika yang saat itu identik dengan pasukan sekutu justru menganggap K’Tut Tantri sebagai penghianat.
Namun terlepas dari dua perdebatan ini perjalanan K’Tut Tantri ke Indonesia bukanlah untuk mendapatkan pujian dan cercaan dua pihak yang saling berseberangan.
Ia adalah orang asing yang datang ke Indonesia untuk mencari leluhur keturunannya di daerah Bali.
Baca Juga: Profil Pakubuwono X: Raja Surakarta yang Punya Mobil Mahal
Kendati demikian K’Tantri terpaksa berpihak pada Indonesia karena ia percaya keturunan leluhur keluarganya berasal dari Nusantara.
Oleh sebab itu pada masa Revolusi Fisik ia rela menjadi mata-mata Indonesia yang bekerja penuh dengan tekanan. Resiko paling kecil tertangkap dan siksaan, sedangkan resiko terbesar tertembak dan terbunuh.
Karena keberanian K’Tut Tantri menjadi mata-mata, Presiden Sukarno pernah menganugerahi berbagai penghargaan untuknya.
Bahkan Presiden nomor satu di Indonesia ini pernah mengundang Novelis Amerika ini main dan menjamu hidangan istimewa di Istana Jakarta.
K’Tut Tantri: Novelis Amerika yang Sangat Indonesia
Menurut Pipit Priya Atmaja dalam Skripsi di Jurusan Sastra, Universitas Sanata Dharma berjudul, ”Citra Diri Wanita Tokoh Utama dalam Novel Revolusi di Nusa Damai Karya K’Tut Tantri: Kajian Sosiologi Sastra” (2012), K’Tut Tantri merupakan novelis berkebangsaan Amerika yang sangat Indonesianis.
Nama aslinya adalah Muriel Stuart Walker, ia datang ke Indonesia pertama kali menginjakan kakinya di Pulau Bali.
Konon K’Tantri berkunjung ke Bali karena ada wahyu mistik yang mendorong dirinya datang ke Pulau Dewata tersebut.
Menurut K’Tantri ia merupakan anak dari keturunan Ras Man di Amerika. Kepercayaan leluhur dari keturunan Ras Man percaya jika nenek moyang mereka berasal dari Pulau Bali. Oleh sebab itu wanita penulis novel ini mulai penasaran dengan Bali.
Baca Juga: Indonesia Pernah Ikut Piala Dunia? Begini Sejarahnya
Hingga akhirnya ia mengumpulkan uang dengan menabung hasil honorarium tulisan novelnya untuk pergi ke Bali.
Semenjak jatuh cinta dengan Bali, wanita keturunan Ras Man di Amerika ini juga mulai memusatkan objek setiap penulisan karyanya bernuansa kebudayaan Indonesia khususnya Bali.
Keseriusan ini mulai K’Tut Tantri dalami semenjak menonton film di bioskop Amerika berjudul”Bali Surga Terakhir” pada tahun 1932. Maka sejak tahun itulah ia mulai memutuskan menjadi seorang novelis Amerika yang sangat Indonesia.
Datang Ke Bali dan Memihak Republik
Tabungan hasil menulis Novel hanya cukup untuk melakukan perjalanan ke Bali pada tahun 1940-an.
Meskipun saat itu Bali sedang dalam keadaan perang, K’Tantri yang merasa berdarah Bali ini nekat menumpang kapal militer Amerika secara ilegal ke Pulau Dewata.
Ketika ia sampai di pelabuhan Bali, K’Tantri menyewa mobil dari jasa transportasi umum daerah setempat untuk mengantarkannya ke pusat pemerintahan kota Bali.
Dengan uang yang cukup atau bahkan lebih itu, sopir pribumi mengantarnya hingga ke depan pintu kerajaan Bali yang saat itu sedang terbuka.
Menurut K’Tut Tantri dalam novel sejarahnya berjudul ”K’Tut Tantri: Revolusi di Nusa Damai” (1982), Raja Anak Agung Nura menyambut kedatangan K’Tut Tantri di depan Istana Bali dengan penuh ramah tamah.
Meskipun kedatangan novelis Amerika ini merupakan ketidaksengajaan karena mobil mogok, Anak Agung Nura mempersilakan wanita asing ini singgah di tempatnya.
Ketika K’Tut Tantri selesai mandi, Raja Anak Agung Nura mengajaknya makan bersama dengan keluarga besar kerajaan. Waktu ini pun terasa beda, sebab K’Tut Tantri melihat wajah-wajah keluarga mereka seperti sedang bersedih.
Ternyata benar, mereka sedang kebingungan menghadapi Sekutu yang sebentar lagi akan mendarat di Bali.
Karena kebaikan Putera Mahkota Anak Agung Nura, Muriel Stuart Walker kemudian bersedia menawarkan diri untuk jadi mata-mata dan memihak kaum republik.
Sejak saat itu keluarga kerajaan Bali memberikan nama baru novelis Amerika di Indonesia ini dengan nama K’Tut Tantri.
Tak lama setelah K’Tut Tantri tinggal di Bali pasukan Sekutu datang dari pelabuhan Gilimanuk. Namun keluarga kerajaan Bali berhasil pergi meninggalkan Pulau Dewata dan singgah di Surabaya satu hari sebelum kedatangan Sekutu.
Sejak saat itu K’Tut Tantri mulai jadi pejuang republik. Ia aktif dalam berbagai aksi penyerangan laskar terhadap Sekutu di Pulau Jawa.
Baca Juga: Tragedi Metromini Maut 1994, 33 Penumpang Tewas karena Sopir Ugal-ugalan
Bahkan keberadaannya pernah terlacak oleh tentara musuh dan mendapatkan cap penghianat karena memihak kaum republik. K’Tut Tantri pernah mengangkat senjata dan menjadi mata-mata pasukan Republik.
Pernah Menjadi Tawanan dan Korban Perang
Ketika K’Tut Tantri berjuang di Surabaya, wanita asing pemberani ini pernah tertangkap menjadi tawanan dan korban perang oleh Sekutu. Ia sudah pasrah karena dalam waktu dekat Belanda akan mendeportasenya ke Amerika.
K’Tut Tantri yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi tidak ingin berhenti berjuang untuk kelompok republik. Ia berdoa agar persoalan ini bisa selesai secepatnya karena jujur K’Tut Tantri sudah tak tahan dengan siksaan dalam sel markas Sekutu di Surabaya.
Doa penulis asing yang Indonesianis ini nampaknya terkabul, sebab beberapa jam setelah doa itu terucap tiba-tiba terdengar kerusuhan tembakan dari arah depan markas Sekutu. Ternyata kerusuhan itu berasal dari tembakan kaum republik yang berusaha menyelamatkan K’Tut Tantri.
Tentara musuh pun kalah dan berhasil mundur, K’Tut Tantri yang sedang meringkuk tersiksa selamat dan mendapatkan perawatan yang layak dari Palang Merah Indonesia (PMI) di markas Republiken.
Peristiwa ini tidak terlupakan, oleh karena itu ketika K’Tut Tantri bangkit dari pesakitan tersebut, langkah kaki pertamanya tertuju untuk membalaskan dendam pada Sekutu.
Tak tanggung-tanggung, ia menggabungkan diri dengan pasukan Bung Tomo di Surabaya dan sukses meledakkan peristiwa 10 November 1945. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)