Sejarah perbudakan zaman kolonial Belanda di Indonesia ternyata menyimpan kisah kelam yang mengiris hati. Salah satu peristiwa yang menyedihkan ini tercermin dari adanya istilah Londo Ireng untuk menyebut serdadu Belanda dari budak Afrika.
Belanda sengaja membawa budak-budak dari Afrika untuk bekerja menjadi pion. Layaknya serdadu yang tahan banting dan seolah punya nyawa cadangan, budak Afrika sering menjadi orang nomor satu menghadapi masalah orang-orang Belanda di Indonesia.
Mereka diadu domba dengan orang-orang pribumi oleh Belanda. Kadang-kadang perkelahian yang menimbulkan bentrokan secara berkelompok menyebabkan kematian. Oleh karena itu orang-orang pribumi membenci mereka dan menjulukinya dengan sebutan Londo Ireng (Bahasa Jawa: Belanda Hitam).
Baca Juga: Belanda Hitam yang Malang, Kisah Orang Afrika jadi Serdadu di Jawa
Londo Ireng ini tersebar di pulau Jawa. Mereka berdiaspora dari arah Timur hingga mendarat dan mendominasi kategori sosial sebagai budak orang Belanda di kota-kota Pelabuhan Indonesia seperti, Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Awal Sejarah Perbudakan Zaman Kolonial, Orang Afrika Jadi Sasaran
Menurut Ineke van Kessel dalam bukunya berjudul ”Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945” (2011), pertama kali orang Afrika jadi sasaran perbudakan oleh orang Belanda di Jawa terjadi pada awal abad ke-17 masehi.
Orang-orang Belanda datang bersama budak Afrika yang berasal dari pemberian koloni Portugis di wilayah Timur Indonesia. Pada awalnya mereka bertugas jadi pengawal kapal dan tukang pukul apabila kapal mereka diserang Bajak Laut.
Namun di tangan kekuasaan kolonial Belanda, para budak Afrika ini berubah menjadi seorang serdadu yang tangguh dan dipersenjatai. Belanda juga memberikan pakaian dan atribut lengkap layaknya tentara.
Karena merasa diperlakukan seperti petugas keamanan opsir Nederlands Indie, mereka nyaman dan tidak mencurigai jika Belanda telah memperbudaknya. Para barisan Londo Ireng ini tunduk dan hormat pada Belanda karena telah diberi tugas yang baik.
Pemerintah kolonial hanya menangguk dan senyum kecut pada mereka. Sebab dalam hatinya mereka hanya sebatas budak yang diberi atribut opsir.
Belanda menganggap mereka sebagai badut pemberani. Sebab para budak Afrika terkenal punya tenaga yang besar dan kuat layaknya raksasa.
Baca Juga: Jenderal Sudirman dan Sepak Bola, Pencetak Gol yang Handal
Oleh sebab itu karena postur tubuhnya yang besar dan kuat, pemerintah kolonial menjadikan mereka pion menghadapi pertempuran. Selain kuat dan bertenaga raksasa, Belanda juga senang karena para budak ini mampu dibeli dengan harga yang murah.
Serdadu Belanda dari Budak Afrika Berdiaspora di Jawa
Setelah para budak Afrika ini berprofesi menjadi Serdadu Belanda, persebaran mereka di Indonesia begitu cepat. Terutama menyebar dan berdiaspora di seluruh pelosok Jawa. Tidak hanya berada di kota-kota Pelabuhan, mereka juga ada di pedesaan agraris.
Peristiwa ini terjadi akibat para budak Afrika ini merasa bangga dan punya kewenangan khusus dari Belanda untuk menjaga wilayahnya. Meskipun status mereka sebagai budak, orang-orang Afrika ini tidak merasa rendah dari pada kaum pribumi.
Justru para serdadu Afrika ini berani menentang pribumi karena mereka dianggap lemah dan tak berdaya menghadapi opsir kolonial. Sebab budak Afrika dibekali senjata oleh Belanda yang bisa melukai bahkan menewaskan siapapun lawan di depannya.
Selain karena karakter yang arogan, diaspora budak Afrika di Jawa juga terjadi akibat Belanda menambah jumlah budak tersebut dari bekas budak orang Portugis di Timor-Timur.
Portugis mengirim mereka ke Jawa atas perintah Belanda, akibatnya golongan Londo Ireng ini semakin banyak berdatangan di sana.
Budak Afrika yang kemudian jadi serdadu kolonial ini kebanyakan berasal dari daerahnya di Mozambik. Karena merasa Jawa nyaman dari ancaman musuh dan Bajak Laut, mereka pun memutuskan untuk kawin mawin dengan orang-orang pribumi.
Oleh sebab itu pertumbuhan penduduk campuran dengan orang Afrika di Jawa mengalami peningkatan.
Belanda Melarang Perbudakan Orang Afrika
Karena perkembangan zaman yang semakin maju, Inggris memerintahkan Belanda agar melarang perbudakan dari ras orang-orang Afrika di Hindia Belanda.
Perintah ini sesuai dengan keputusan Undang-undang Perdagangan Manusia yang lahir pada awal abad ke-19 masehi.
Inggris langsung memerintahkan beberapa negara sekutu kolonial, di bawah pemerintahan Napoleon untuk memanusiakan orang-orang Afrika.
Baca Juga: Pemberontakan Cikande Udik, Petani Banten Merebut Tanah dari Belanda
Sebab mereka memiliki sumber daya manusia yang bisa dikembangkan jadi manusia yang berperadaban tinggi.
Namun keputusan melarang perbudakan dari orang Afrika nampaknya kurang tepat untuk Hindia Belanda. Sebab seiring dengan pembebasan mereka dari perbudakan, pemerintah kolonial menjadikan pribumi sebagai penggantinya.
Banyak orang Jawa jadi pengganti mereka dan berprofesi jadi budak. Kedoknya sama, Belanda menjanjikan pekerjaan bergengsi yaitu jadi serdadu yang dipersenjatai lengkap. Selain orang Jawa adanya fenomena perbudakan ini diambil dari masyarakat Indonesia bagian Timur.
Mereka juga sama diiming-imingi pekerjaan sebagai serdadu Marsose. Oleh karena itu apabila kita melihat foto-foto Marsose awal abad ke-19 masehi, kebanyakan anggotanya berasal dari orang-orang Indonesia.
Bukan Belanda dan sedikit sekali orang Afrika. Menurut Ineke mereka ditugaskan di Dinas Resimen Khusus Melayu yang sekarang dekat dengan wilayah Srilanka. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)