Kapiten Arab di Indonesia (dulu Hindia Belanda) merupakan pejabat kolonial dari golongan Timur Asing. Tugas Kapiten Arab menjadi pengawas sekaligus pendorong golongan Hadramaut untuk melaksanakan kebijakan kolonial Belanda.
Sebagian pribumi menyebutnya dengan istilah “Mandor Arab”. Kedudukan mereka lebih tinggi dari pribumi, sebab Belanda segan dan hormat kepada Kapiten Arab.
Kapiten Arab adalah golongan komunitas Asing dari Hadramaut. Pemerintah kolonial Belanda mengangkat mereka menjadi seorang Mandor.
Baca Juga: Sejarah Orang Arab di Pekalongan, Warisi Kuliner dari Olahan Daging
Tugasnya memeriksa dan menjaga hubungan sosial masyarakat pribumi dengan komunitas Arab agar selalu baik. Selain itu pemerintah kolonial juga mengangkat Kapiten Arab untuk menjaga hubungan mereka tetap baik dengan orang-orang Eropa.
Dalam berbagai catatan sejarah kolonial, Kapiten Arab yang paling eksis dan terkenal disegani oleh Belanda berasal dari beberapa daerah di Jawa. Antara lain Kapiten Arab di Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, hingga ke Madura, dan Jawa Timur.
Sejarah Awal Munculnya Kapiten Arab di Indonesia
Munculnya Kapiten Arab tak terlepas dari kedatangan orang-orang Hadramaut yang berangkat dari Gujarat ke Nusantara sejak abad ke-13 Masehi.
Sebagian sejarawan berpendapat kedatangan mereka seiring dengan menyebar luasnya pengaruh Islam di tanah Jawa.
Sebelumnya bangsa Tionghoa terlebih dahulu mendiami wilayah Hindia Belanda jauh sebelum bangsa Eropa dan bangsa Arab datang.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bangsa-bangsa asing seperti Arab memiliki kepentingan khusus dengan pemerintah kolonial.
Oleh sebab itu orang Belanda butuh perwakilan Arab yang fasih dan paham akan tujuan dari kepentingan mereka. Seperti menyebarluaskan informasi, dan ketertiban guna memelihara peraturan khusus bagi bangsa-bangsa Arab yang ada di Hindia Belanda.
Maka dari itu pemerintah kolonial memisahkan sebagian orang Arab yang dianggap loyal dengan pemerintah saat itu.
Mereka mendapatkan jabatan tinggi semacam Opsir (Pegawai Pemerintah) khusus yang mengurus kepentingan golongan mereka di Hindia Belanda. Adapun orang yang terpilih itu kemudian mendapat sebutan “Kapiten Arab”.
Kapiten Arab biasanya mempunyai rumah dan tanah yang luas. Mereka tinggal di sebuah perkampungan Arab bernama Pekojan. Menurut catatan Alwi Shahab dalam buku berjudul ”Saudagar Baghdad dari Betawi”, (2004) kedatangan mereka di pemukiman Arab (Pekojan) diketahui sejak awal abad ke-18 Masehi.
Baca Juga: Profil Charles Tambu, Diplomat Indonesia di PBB Asal Srilanka
Tepatnya pada tahun 1844, hal ini tercermin dari lahirnya Kapiten Arab di berbagai Pekojan yang ada di Jawa. Bahkan catatan Belanda menyebut sebagian Kapiten Arab ada yang dihormati Belanda, antara lain di daerah Batavia (Jakarta) dan Pekalongan, Jawa Tengah.
Memisahkan Komunitas Arab dari Penduduk Asli
Berdasarkan tiga hukum konstitusi dalam kebijakan kolonial Hindia Belanda, terdapat tiga golongan ras yang dibedakan berdasarkan kelas sosial berikut.
Kelas paling atas golongan Eropa, kelas dua Timur Asing (Arab, Tionghoa, India, dst), dan yang terakhir golongan Inlanders (pribumi asli). Kebijakan ini yang mengakibatkan tiga golongan di atas ini berjauhan. Bahkan komunitas Arab di Hindia Belanda memisahkan diri dari lingkungan pribumi.
Selain akibat tiga kelas sosial yang berlawanan, tujuan pemisahan bangsa Arab dengan pribumi di Hindia Belanda juga karena pengawasan kolonial terhadap orang Islam dari Hadramaut.
Pemerintah kolonial berupaya memeriksa seluruh jumlah imigran dari sana supaya tidak mengakibatkan kekacauan dan mempengaruhi pribumi memberontak.
Namun Belanda memperhalus tujuan tersebut supaya tidak menyinggung komunitas Arab. Pemerintah kolonial mengaku memisahkan komunitas Arab dari penduduk asli (Pribumi) agar budaya mereka tidak terganggu oleh ada dan tradisi pribumi yang masih mengutamakan hal-hal yang mistik.
Pemerintah kolonial juga memperhalus tujuan itu dengan cara mengangkat perwakilan komunitas Arab menjadi pegawai pemerintah yakni, Kapiten Arab.
Baca Juga: Sejarah Kantor Pos Indonesia, Administrasi Persuratan Belanda Abad 17
Kapiten Arab juga dipilih tidak sembarangan. Pemerintah kolonial cerdas memilih calon Kapiten Arab dengan cara merekrut orang Arab yang bukan dari golongan Sayyid (Keturunan Nabi Muhammmad SAW).
Menurut Belanda apabila Kapiten Arab diangkat dari golongan Sayyid maka mereka akan mudah menggorganisir massa agar melawan ketidak adilan yang mengakibatkan kekacauan dalam struktur birokrasi kolonial.
Orang Belanda kerap menghormati mereka karena takut golongan Arab mendominasi golongan Eropa.
Eksistensi Kapiten Arab di Berbagai Daerah Indonesia
Masih menurut Alwi Shahab eksistensi Kapiten Arab di Indonesia, dapat kita temukan di beberapa daerah di pulau Jawa. Kapiten Arab di Indonesia saat itu tersebar di Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Gresik, Surakarta, Pasuruan, Bangil, Sumenep, Lumajang, Besuki, dan Banyuwangi.
Pemerintah kolonial Belanda menghormati hampir seluruh Kapiten Arab yang ada di daerah tersebut. Mereka seperti raja di tanah orang Asing, sebab kasta orang Arab juga lebih tinggi dari pada pribumi.
Eksistensi kejayaan Kapiten Arab meningkat tatkala Belanda berhasil memerintah negeri jajahan selama 350 tahun. Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan menjelang Perang Dunia II (1942-1945) eksistensi Kapiten Arab di berbagai daerah itu pun melemah.
Selain karena Hindia Belanda mengalami kebangkrutan, melemahnya profesi sebagai Kapiten Arab juga terjadi akibat generasi mereka sudah banyak yang tercampur. Salah satunya generasi Arab yang berstatus peranakan (Muwallad).
Kedudukan mereka kurang diterima sebagai pemimpin, sementara golongan Arab yang asli hampir hilang dan tidak ada sama sekali.
Oleh sebab itu hingga hari ini golongan Arab yang dahulu pernah berjaya menjabat sebagai Kapiten Arab sudah hilang dan menjadi golongan Arab campuran yaitu Wulayti. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)