Sutan Syahrir merupakan nama pahlawan Nasional yang selama hidupnya tercatat sebagai pejuang kemanusiaan. Selain sebagai pahlawan Nasional Ia juga mantan Perdana Menteri pertama RI di masa awal pemerintahan Sukarno-Hatta.
Salah satu fakta Syahrir sebagai pejuang kemanusiaan nampaknya bisa kita lihat dari jejak karir politiknya. Syahrir kerap muncul menjadi aktor politik yang radikal semata untuk memperjuangkan hak rakyat di era pendudukan Jepang yang represif.
Perjuangan Syahrir mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di zaman Jepang antara lain menggunakan jalur politik sosialisme, atau politik ideologi yang beraliran kiri dan bersifat keras dalam memperjuangkan belenggu rakyat yang terjajah.
Baca Juga: Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang Menikahi Mantan Guru Ketik
Selama hidup dalam genggaman pendudukan Jepang yang represif Syahrir condong berani melakukan politik non-cooperatif terhadap Jepang. Padahal pilihan ini memiliki risiko yang paling berat, salah satu resiko fatalnya terancam pembunuhan.
Kendati pun demikian Syahrir tetap menjadi pemuda yang radikal. Ia tetap bersikeras menopang tujuannya mengusir pendudukan Jepang di Indonesia agar rakyat tidak tertindas dan merdeka.
Karena sikap gigih Syahrir memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dalam pergolakan politik zaman Jepang, akhirnya intelektual jebolan Universteit van Amsterdam ini menuai hasilnya.
Riwayat Hidup Sutan Syahrir
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang mengaku kalah pada Sekutu. Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan sampai waktu yang belum ditentukan.
Waktu ini dimanfaatkan Syahrir bersama Sukarno, Hatta, dan lainnya untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Syahrir merupakan pemuda yang radikal namun penuh dengan perhitungan.
Generasi tahun 40-an mengenal Sutan Syahrir sebagai bapak bangsa yang setara dengan Sukarno-Hatta. Lantas siapakah sebenarnya Syahrir?
Hanif Setiawan dalam Jurnal Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah berjudul, ”Sutan Sjahrir: Sosialisme dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1927-1962” menyebut Syahrir merupakan pemuda sosialis dari kalangan ningrat.
Ia lahir pada tanggal 5 Maret 1909 dari pasangan keluarga terpandang Mohammad Rasad gelar Maharaja, Soetan bin Soetan Leman gelar Palindih, dengan Puti Siti Rabiah di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat.
Ayahnya berprofesi sebagai penasihat Sultan Deli yang merangkap jabatan menjadi Kepala Jaksa (Landraad) di Medan. Sejak kecil keluarga Syahrir terdidik menjadi anak yang intelektual.
Hampir seluruh saudara-saudaranya fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Mereka juga pandai dalam bidangnya masing-masing, salah satunya yaitu Rohana Kudus, kakak sebapa Syahrir yang berprofesi menjadi wartawan perempuan terkenal.
Pahlawan Nasional yang lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat ini mendapatkan pendidikan layak dari orang tuanya. Menurut catatan sejarah Indonesia, Syahrir sempat bersekolah di berbagai lembaga pendidikan Belanda.
Baca Juga: Rasuna Said, Pahlawan Nasional yang Bela Hak Perempuan
Antara lain sekolah pendidikan dasar di (ELS), sekolah pendidikan menengah di (MULO), dan pendidikan setingkat SMA di AMS Bandung.
Syahrir yang juga saudara dekat dengan Mohammad Hatta ini pernah sekolah bersama di Belanda. Ia mengambil jurusan hukum di Universteit van Amsterdam dan sempat bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI).
Sutan Syahrir Memperjuangkan Kemanusiaan
Perjuangan Syahrir dalam memperoleh nilai-nilai kemanusiaan tercermin dari aktivitas kegiatan berpolitiknya pada zaman Jepang.
Mantan suami dari tokoh sosialis perempuan di Belanda: Maria Duchateau ini aktif dalam berbagai organisasi politik berhaluan kiri.
Tidak hanya pada zaman Jepang, keberanian Syahrir menentang ketidakadilan politik juga pernah dilakukan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Kala itu Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dicap sebagai organisasi terlarang oleh Belanda. Akibatnya Sukarno tertangkap dan dipenjara karena terlibat dalam struktur keorganisasian PNI.
Syahrir yang saat itu juga memperjuangkan PNI di Belanda bersama Hatta membentuk organisasi penerusnya bernama PNI-Baru pada tanggal 31 Oktober 1931.
Tujuannya untuk menjaga semangat kepartaian mengingat penangkapan Sukarno merupakan strategi Belanda dalam meredam gerakan politik di pulau Jawa. Akibatnya Syahrir dan Hatta dianggap kolabolator politik pribumi yang berbahaya.
Ketika pendudukan Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, Syahrir memilih berbeda dan tidak sama-sama berjuang secara politis sebagaimana yang dilakukan Sukarno-Hatta pada zaman Belanda.
Ia memilih non-cooperatif (tidak bekerjasama) dengan pendudukan Jepang. Sedangkan Sukarno-Hatta memilih untuk cooperatif dengan Dai Nippon.
Hal ini terjadi bukan karena Syahrir dan Sukarno-Hatta berseberangan, melainkan pemisahan gerakan politik tersebut merupakan sebuah strategi perjuangan yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia.
Sukarno, Hatta, dan Syahrir percaya apabila mereka membagi dua gerakan politik di atas, maka tanpa sepengetahuan pihak Jepang mereka sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara mandiri.
Upaya Sukarno-Hatta mengalihkan isu tersebut supaya Jepang tidak mengetahui gerakan bawah tanah Syahrir.
Ketika Sukarno-Hatta berhubungan baik dengan Jepang, Syahrir justru menjadi pemuda yang paling dicari oleh pemerintahan Jepang.Jepang menganggap Syahrir telah mengkontaminasi pemuda untuk berbuat radikal.
Baca Juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Pahlawan Nasional dari Keluarga Ningrat
Akibatnya puluhan kali nama Sutan Syahrir masuk dalam daftar pencarian orang oleh pasukan tentara Kempeitei Jepang.
Mereka bermaksud menangkap Syahrir bahkan membunuhnya supaya tidak terjadi lagi aksi radikal sosialis pada golongan fasisme Jepang di Indonesia.
Pemuda Radikal yang Mendesak Proklamasi
Ketika Jepang dibom oleh pasukan militer udara Sekutu pada tanggal 6-9 Agustus 1945, Syahrir merupakan salah seorang pemuda yang mengetahui lebih awal berita itu sebelum tersebar ke Indonesia.
Pemuda radikal beraliran sosialis ini kemudian mendesak Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebab apabila mereka menunggu tanggal 19 Agustus 1945 sebagaimana janji Jepang, adalah perbuatan yang sia-sia. Syahrir percaya diri bahwa pemerintahan Dai Nippon sudah kalah telak oleh Sekutu.
Baca Juga: Sejarah Jenderal Sudirman, Punya Klub Sepak Bola Sejak Remaja
Mendengar usulan ini Sukarno-Hatta terdiam sejenak. Bapak proklamator Indonesia ini masih enggan mengamini pendapat Syahrir. Sebab menurut Sukarno berita Jepang kalah belum bisa kita pastikan dalam waktu dekat ini.
Jepang kala itu masih kuat di Indonesia, meskipun tanggal 14 Agustus 1945 tentara Jepang sudah menyerahkan senjata secara simbolis pada Sekutu. Namun Jepang masih mengusai gudang-gudang amunisi.
Maka dari itu seluruh keputusan perlu pemikiran yang matang dan tepat. Apabila gegabah dan asal dalam mengambil tindakan, Sukarno-Hatta mengkhawatirkan nasib bangsa yang akan terancam oleh peluru dan samurai Jepang yang tajam.
Syahrir pun mengikuti pertimbangan tersebut hingga setuju memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Menurutnya kemerdekaan sebelum tanggal 19 Agustus 1945 merupakan tanda hari kebebasan tanpa campur tangan Jepang.
Pentingnya mendeklarasikan kemerdekaan lebih awal dari ketetapan Jepang tidak akan menimbulkan kesan kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah pemberian dari Jepang. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)