Dalam beberapa catatan buku sejarah Indonesia, nama Pramoedya Ananta Toer terkenal sebagai seorang sastrawan yang aktif dalam organisasi kebudayaan milik PKI yaitu Lekra.
Oleh sebab itu masyarakat Indonesia mengenal Pramoedya sebagai salah seorang seniman di Lekra. Namun tak banyak orang yang tahu kalau ternyata Pramoedya dahulu mantan militer.
Saat itu Pramoedya masih memiliki semangat pemuda yang berkobar akan suasana revolusi. Namun karir Pramoedya dalam militer tidak panjang. Ia memilih untuk tetap menjadi Sastrawan karena panggilan hati nurani.
Pramoedya kemudian terkenal sebagai sastrawan paling produktif. Meskipun pernah mendekam di penjara pada berbagai zaman (Kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru), hal ini tak mempengaruhi penghargaan terhadap karyanya.
Baca Juga: Profil Widji Thukul, Aktivis HAM yang Hilang di Era Orba
Bahkan pada tahun 1995, Pramoedya Ananta Toer meraih penghargaan bergengsi Raymon Magsaysay Award karena sepak terjangnya dalam dunia Sastra. Karya-karya Pramoedya dianggap menginspirasi dunia, sebab telah diterjemahkan dalam 42 bahasa asing.
Profil Hidup Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Mastoer adalah nama lengkap sebenarnya. Ia lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah.
Pramoedya merupakan anak dari pasangan Ningrat asal Kediri dan Rembang. Ayahnya seorang guru dan ibunya seorang pemimpin pesantren.
Meskipun demikian ayah Pramoedya Ananta Toer yang bernama Mastoer dan Ibunya Saidah menjaga kehidupan keluarganya dengan gaya hidup sederhana. Menurut Mastoer melatih anak-anak dengan kehidupan mewah bisa menimbulkan budaya congkak.
Kesederhanaan Pramoedya Ananta Toer juga terbukti dari nama beliau yang diganti akhirannya dari Mastoer hanya menjadi Toer saja.
Menurut Pramoedya nama Mastoer ini merepresentasikan identitas aristokrasi yang kuat. Ia tidak mau orang menganggapnya ningrat, Pramoedya lebih nyaman menjadi pribadi yang merakyat.
Sejak kecil Pramoedya sudah tertarik dengan dunia Kesusastraan. Guru setingkat Sekolah Menengah Atas-nya sering mendaftarkan nama Pramoedya dalam perlombaan Sastra.
Mungkin kecintaan membaca buku ini juga berasal dari sang Ayah yang seorang guru. Rumah keluarga Pramoedya selalu diwarnai dengan buku bacaan, sehingga Pram kecil kerap mengkonsumsi buku-buku milik ayahnya tersebut.
Pendidikan Pramoedya sejak remaja juga keras dan disiplin. Terutama dari figur sang ayah. Ibunya sering bersedih ketika Pram kena marah ayahnya karena bandel.
Bahkan ayahnya pernah tidak mengirimkan uang ketika Pramoedya sekolah di Jakarta pada awal tahun 40-an.
Baca Juga: Profil Umar Kayam, Pemeran Bung Karno di Film G30 S PKI
Barangkali ini merupakan didikan keras sang ayah supaya anaknya bisa hidup mandiri. Betul saja harapan sang ayah terkabul, sebab tak lama dari peristiwa itu, Pram bergegas mencari pekerjaan dan menjadi juru ketik di kantor berita domei pada masa pendudukan Jepang.
Gajinya dipakai untuk keperluan sehari-hari. Bahkan Pram juga membiayai adik-adiknya sekolah, dan mengirimkan sebagian sisanya untuk keluarga di kampung.
Pramoedya Masuk Militer
Sejarah Pramoedya Ananta Toer masuk militer terjadi pada tahun 1945. Jiwanya yang revolusioner tergugah untuk bergabung dengan satuan Militer.
Namun menurut sebagian pendapat, masuknya Pramoedya pada karir Militer karena ajakan kolega akrabnya yang tentara bernama A.K. Hadi.
Karena ajakan A.K. Hadi yang menggebu-gebu, Pramoedya terbakar semangatnya dan langsung berminat gabung dengan keanggotaan Militer di Cikampek.
A.K. Hadi menjadi komandan Pramoedya menugaskan pertama Sastrawan Lekra ini di bagian perhubungan. Namun kemudian berpindah ke bagian perkabaran karena posisi ini dianggap cocok dengan keahlian Pramoedya sebagai pengarang.
Komandan Pramoedya ini juga pernah menceritakan bagaimana sikap revolusioner Pram yang tinggi. Pram pernah bertengkar dengan anggota lain sampai lawannya menodongkan pistol pada Pram.
Alih-alih takut, Pram malahan menantangnya dengan nada yang tinggi. Anggota yang lainnya berusaha memisahkan dan melerai mereka sampai akhirnya pertengkaran mereda.
Karir Pramoedya di dunia Militer tidak lama. Menurutnya pekerjaan ini tidak cocok dengan kebebasan jiwanya.
Pram akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan Militer dan memilih untuk bekerja di bidang persuratkabaran, dan majalah bersama pamannya di Jakarta.
Kisah ini menjadi unik karena belum banyak orang mengetahui Pramoedya sempat bergabung menjadi Militer.
Menerima Raymon Magsaysay Award (1995)
Pada tahun 1995 nama Pramoedya Ananta Toer masuk dalam jajaran nama yang menerima penghargaan bergengsi dunia, dalam bidang kesusasteraan dari Raymon Magsaysay Award.
Penghargaan tersebut karena sepak terjang Pramoedya dalam dunia Sastra yang mampu menginspirasi dunia. Karya-karyanya dikenal banyak orang dari berbagai bangsa. Bahkan buku Pram diterjemahkan dalam 42 bahasa asing di dunia.
Menurut adiknya, Koesalah Soebagyo Toer dalam buku berjudul “Pramoedya dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer” (2006), Pramoedya menerima penghargaan tersebut karena produktivitasnya dalam menulis.
Sehari tanpa menulis tidak mungkin terjadi pada Pramoedya. Pikirannya terlalu luas sehingga perlu dikeluarkan dan berakhir menjadi sebuah tulisan.
Baca Juga: Profil Djoko Pekik: Terlibat PKI 1965, Lukisannya Laku 1 Miliar
Seringnya Pramoedya menulis membuat karyanya dijadikan berbagai genre Sastra. Namun seringnya terbit dalam bentuk novel dan cerita pendek.
Karena produktivitas Pramoedya dalam menulis tak terkalahkan, sebagian Sastrawan merasa tersaingi dan iri pada Pram.
Mereka menuntut Raymon Magsaysay Award untuk menarik penghargaanya pada Pramoedya. Alasannya tidak masuk akal, mereka menganggap Pramoedya bukan Sastrawan yang tepat untuk diberikan penghargaan bergengsi dunia karena mantan tahanan politik.
Kendati pun banyak mendapat serangan dari Sastrawan yang iri akan karirnya, Pramoedya tidak berkomentar. Sebab Pram tahu di balik itu semua ada satu jawaban yang pasti dan tak terbantahkan.
Betul saja, penyelenggara Raymon Magsaysay Award tidak menerima usulan penurunan penghargaan pada Pramoedya. Sebab penghargaan ini berdasarkan penilaian dunia, bukan satu negara saja. Artinya bangsa luar lebih menghargai Pramoedya daripada bangsa di negaranya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)