Sejarah mencatat, pasca pendudukan Jepang, pemerintahan wilayah Pangandaran pindah dari Ciamis ke Cilacap. Apa penyebabnya?
Pasca Perang Dunia II sendiri, Bangsa Indonesia sebenarnya telah lepas dari Pendudukan Jepang. Hal ini ditandai dengan adanya proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Meskipun secara fakta Bangsa Indonesia sudah merdeka, untuk kedua kalinya Ibu Pertiwi didatangi kembali oleh Belanda pada tahun 1946-1949.
Kehadiran kembali Belanda di Indonesia berlaku sebagai tanda belum selesainya urusan imperialisme-kolonialisme sejak awal abad ke-18 di Nusantara.
Baca Juga: Banjir di Padaherang Pangandaran 1939, Kalipoetjang Tenggelam!
Belanda menuntut kembali sebagai negara induk penjajah bagi Indonesia setelah diduduki oleh Jepang pada tahun 1942.
Sukarno-Hatta dan beberapa tokoh Nasional lainnya menempuh jalur diplomasi untuk menyelesaikan sengketa ini. Hingga pada akhirnya diperoleh perjanjian Linggarjati pada tahun 1947.
Menurut perjanjian Linggarjati yang ditandatangi pada 20 Juli 1947, Belanda sepakat akan meninggalkan Indonesia paling lama sampai dengan tanggal 1 Januari 1949.
Akan tetapi bukannya menyetujui perjanjian, Belanda justru mengadakan Agresi Militer pertama sehari setelah Perjanjian Linggarjati ditandatangani yaitu, 21 Juli 1947.
Dampak dari Agresi Militer I ini menjadikan seluruh daerah di Indonesia percaya bahwa Belanda akan kembali, dan mengurus lagi administrasi negaranya yang sempat hilang akibat kedatangan Jepang pada 1942 silam.
Begitupun dengan masyarakat di Pangandaran. Mereka percaya bahwa kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta di Jakarta telah kalah.
Hal ini ditandai dengan kewenangan Belanda di Pangandaran yang memindahkan pusat pemerintahan Pangandaran yang tadinya diurus oleh Regent Tjiamis (Ciamis), menjadi kewenangan Bupati Tjilatjap (Cilacap).
Sejarah Pangandaran Pasca Pendudukan Jepang, Belanda Kembali Berkuasa Tahun 1947
Koran Belanda, “Nieuw Courant, Bestuur Overdracht” tanggal 10 Mei 1947 menyebut, Pangandaran pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Secara administrasi pemerintahan Belanda di Pangandaran memindahkan kewenangan untuk urusan ekonomi, sosial, politik, budaya sementara dipegang oleh Bupati Tjilatjap, R.M.A.A. Tjokrosiswojo.
Putusnya hubungan Pangandaran dengan Tjiamis akibat penanganan yang lamban dari Regent Tjiamis sendiri yaitu, R.T. Goemilar Wiranegara saat mengurus daerah penghasil kopra terbesar di Jawa Barat pasca pendudukan Jepang berlangsung.
Adapun saat itu yang mengatur pemindahan urusan administrasi Pangandaran yang awalnya di Tjiamis menjadi di Tjilatjap adalah asisten Belanda bernama, F.P.W. Van Nouhuys.
Baca Juga: Perampokan di Pangandaran Tahun 1953: Kuwu Terbunuh, 14 Rumah Terbakar!
Dengan adanya kegiatan pemindahan administrasi di Pangandaran oleh Belanda, secara tidak langsung membuktikan bahwa Belanda telah melanggar penjanjian Linggarjati. Dengan kata lain Belanda sudah tidak menghargai tokoh Nasional Indonesia: Sukarno-Hatta.
Pengembalian Administrasi Pangandaran ke Tjiamis
Pelanggaran Belanda yang melangkahi Perjanjian Linggarjati juga terlihat ketika Administrasi Pangandaran dikembalikan lagi pada Regent Tjiamis, R.T. Goemilar Wiranegara.
Hal ini terjadi ketika industri kopra telah kembali mengalami peningkatan yang cukup drastis. Regent Tjiamis sendiri mengucapkan terima kasih kepada Bupati Tjilatjap, R.M.A. Tjokrosiswoyo, dan Assisten Belanda F.P.W. Van Nouhuys.
Raden Goemilar Wiranegara telah mengirimkan telegram ke dua tokoh ini, yang berisi ucapan terima kasih karena Pangandaran sudah menjadi daerah yang secara administratif milik Tjiamis kembali.
Perilaku Raden Goemilar Wiranegara yang pada saat itu memimpin Tjiamis menandakan jika ternyata belum banyak kepekaan tokoh daerah akan arti sebuah kemerdekaan.
Sementara dalam Koran Belanda yang lainnya yaitu, “Semarangsch handels-en advertentie-blad” tanggal 10 Mei 1948, tokoh-tokoh daerah di Priangan kerap kontra dengan tokoh nasional. Hal ini sebagaimana yang ditunjukan oleh berdirinya Negara Pasoendan.
Oleh sebab itu tak heran apabila pengembalian administrasi Pangandaran ke Tjiamis, ditanggapi baik oleh Raden Goemilar Wiranegara (Regent Tjiamis, 1947). Bahkan sampai mengirimkan ucapan terima kasih pada Belanda.
Kehadiran Belanda Masih Diterima Masyarakat Pangandaran
Meskipun Republik Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaanya pada tahun 1945, di Pangandaran sendiri selama tahun 1947 masih menerima kehadiran Belanda sebagai pemimpin administrasi daerahnya.
Salah satu penyebabnya ditulis oleh Koran Belanda pada sumber yang sama yaitu, Masyarakat Pangandaran umumnya masih mempunyai ikatan batin yang kuat dengan Belanda. Sebab hampir keseluruhan pembangunan di Pangandaran berjalan oleh pemerintahan Belanda.
Baca Juga: Wabah Malaria di Pangandaran 1935, Pantai Pananjung Diisolasi!
Masyarakat Pangandaran umumnya berpihak pada Belanda karena ikatan batin tersebut. Apalagi ketika pemerintah kolonial ini berusaha untuk mengusut tuntas masalah pembunuhan 7 Loerah di Pangandaran yang dibunuh oleh Jepang.
Sesuai dengan janji pemerintah Belanda di Pangandaran waktu itu, mereka akan membalas aksi pembunuhan yang dilakukan Jepang terhadap 7 pemimpin desa di Pangandaran pada tahun 1942-1945.
Belanda akan mempertanggungjawabkan ini dalam meja pengadilan internasional pasca Perang Dunia II selesai.
Peristiwa tewasnya 7 Loerah ini sebagaimana tergambar dalam berita yang terbit pada Koran Belanda, “De Locomotief: Semarangsch handels-en advertatie-blad”, tanggal 15 Agustus 1948. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)