Sebagian orang Bandung mungkin belum tahu, ternyata pada tahun 1906 di Kota Kembang pernah ada komunitas pedagang sukses yang terkenal dengan sebutan Saudagar Bandoeng dari pasar Baru.
Mereka (Saudagar Bandoeng) merupakan para pedagang pasar yang kaya, dan berasal dari komunitas santri perkotaan.
Peristiwa kemunculan mereka menandakan Bandung sebagai kota metropolitan. Selain itu kesuksesan para Saudagar Bandoeng juga cerminan dari sebuah kota modern yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai religius.
Baca Juga: Sejarah Penamaan Kota Bandung, Ternyata dari Nama Tumbuhan
Sementara kemunculan Saudagar Bandoeng menurut para ahli sejarah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, pembangunan Pasar Baru tahun 1906. Populernya perdagangan kain batik dari Surakarta ke Bandung, dan terbentuknya relasi perdagangan desa ke kota.
Saudagar Bandoeng dan Pembangunan Pasar Baru 1906
Sebelum ada pusat jual beli seperti pasar di Bandung, masyarakat pedagang kerap memanfaatkan pusat keramaian sebagai tempat berjualan barang dagangan.
Akan tetapi pedagang yang memanfaatkan pusat keramaian itu dinilai negatif oleh pemerintah kolonial. Hal ini sebab kota Bandung jadi terlihat lebih kotor dan kumuh.
Hingga pada akhirnya pemerintah kolonial membangun pasar pada tahun 1906. Mereka kemudian memberikan nama pusat perbelanjaan modern ini dengan Pasar Baroe.
Setelah ada pembangunan Pasar Baru, banyak para pedagang di kota Bandung berjualan barang dagangannya secara terpusat. Tidak ada lagi pedagang yang berserakan di pinggir jalan pusat keramaian Kota Kembang.
Salah satu pelaku dagang yang pindah dari emperan jalan ke Pasar Baru adalah para pedagang yang berasal dari golongan santri. Mereka adalah lulusan pesantren di kota Bandung.
Karena kegigihan mereka dalam berjualan, membuat para pedagang ini sukses berjualan di Pasar Baru, dan menyandang gelar Saudagar Bandoeng.
Saking uletnya berdagang, mereka memilih menghabiskan waktu seluruhnya di dalam pasar. Etos kerja para Saudagar Bandoeng hampir menandingi pedagang Tionghoa di Batavia.
Dari mulai pagi sampai malam Saudagar Bandoeng ini memilih untuk menetap dan bertempat tinggal di pasar. Tujuannya menjaga barang dagangan dari tangan-tangan jahat centeng pasar.
Hampir seluruh Saudagar Bandoeng memilih tinggal secara permanen di Pasar Baru. Sejarah kolonial mencatat para pedagang itu terdiri dari, Haji Kadar, Haji Doerasi, Haji Ende Rapi’ah, dan Haji Saleh Katam.
Baca Juga: Sejarah Jalan Malioboro, Jalur Saklar Mataram Jadi Pertokoan
Nama-nama tersebut sebagaimana yang dilaporkan oleh Kunto Haryono dalam buku berjudul “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”, (Haryono, 1984: 81).
Pedagang yang Sukses dari Kalangan Santri
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, para pedagang sukses di Pasar Baru tahun 1906 dan menyandang gelar Saudagar Bandoeng itu berasal dari kalangan santri.
Kesuksesan para Saudagar Bandoeng yang berasal dari golongan santri ini tercermin dari gelar mereka yang memakai nama Haji di depan namanya.
Dede Rohayati dalam Jurnal Lembaran Sejarah UGM berjudul “Saudagar Bandoeng, 1906-1930-an”, (Rohayati, 2018: 110), mengatakan para Saudagar Bandoeng selalu menyertakan gelar Hajinya dalam berbagai peristiwa, salah satunya ketika menulis surat dan tanda tangan.
Hal ini yang kemudian membuat istilah Saudagar Bandoeng begitu familiar di kalangan orang-orang Belanda. Terutama pemerintah kolonial yang berurusan dengan bidang perdagangan.
Selain mencerminkan eksistensi santri dalam kegiatan perdagangan modern di kota Bandung, istilah Saudagar Bandung bertujuan untuk menunjukan bahwa kelompok muslim pribumi masih memainkan peran penting dalam sektor perdagangan pada awal abad ke-20.
Fenomena ini sejalur dengan tekad kaum Muslimin di seluruh daerah pada zaman kolonial yaitu, mendominasi perdagangan dari Belanda merupakan bagian dari keuntungan umat Islam untuk merebut kekuasaan dari tangan penjajah.
Baca Juga: Sejarah Prasasti Sapit, Lombok Melek Literasi Sejak Prasejarah
Membentuk Identitas Sosial Kesaudagaran
Kesuksesan para santri menyandang gelar Saudagar Bandoeng telah menciptakan identitas sosial baru kesaudagaran di kota Bandung.
Identitas sosial yang baru dan lahir dari kebudayaan Saudagar Bandoeng ini terlihat dari berbagai aspek seperti, gaya berpakaian, model arsitektur rumah, memilih jenis investasi, dan upacara hajatan perkawinan.
Dalam berpakaian, utamanya Saudara Bandoeng akan menggunakan Beskap dan Sarung sebagai satu kesatuan yang membentuk pakaian sebagai simbol identitas seorang priyayi.
Sementara bagi para Saudagar Bandoeng yang telah berhaji biasanya menggunakan pakaian yang sama hanya berbeda pada tutup kepala dari Sorban.
Pakaian mereka menandakan identitas sosial sebagai orang terpandang (orang kaya). Seluruh pernak-pernik yang dipakai seperti cincin, dan sorban adalah simbol Saudagar Bandoeng sebagai figur yang kharismatik.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kees Van Djik, pakaian merupakan salah satu material penanda bagi seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dalam golongan kelompok tertentu.
Apa yang telah diungkapkan oleh Kees Van Djik ini sesuai dengan golongan Saudagar Bandoeng, yang menggunakan simbol pakaian mewah sebagai pembentuk identitas sosial orang kaya baru di Bandung pada awal abad ke-20. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)