Asal-usul orang Hadhrami berasal dari Timur Tengah tepatnya di wilayah Hadhramaut, yakni salah satu daerah di Yaman bagian Selatan.
Sejarah orang Hadhrami sangat menarik untuk kita perdalam. Hal ini karena orang-orang yang berasal dari Yaman Selatan itu ada di Batavia sejak awal abad ke-18 masehi.
Datangnya orang Hadhrami ke Batavia terdorong oleh kebiasaan orang Timur Tengah yang gemar melakukan perjalanan. Sebagian peneliti arkeolog menyebutnya dengan istilah nomaden.
Baca Juga: Sejarah Tukang Becak, Penyebab Ledakan Urbanisasi Jawa Tahun 1950-1970
Kegiatan nomaden yang dilakukan mereka kemudian membentuk lahirnya identitas sosial baru di kalangan orang Hadhrami. Mereka terkenal sebagai bangsa yang berdiaspora.
Hasilnya, orang-orang Hadhrami tersebut kemudian membentuk komunitas diaspora sedunia, salah satunya tumbuh, dan berkembang seperti diaspora Hadhrami di Batavia.
Sejarah dan Asal-usul Orang Hadhrami di Batavia
Selain berasal dari wilayah Hadhramaut, salah satu daerah di Yaman bagian Selatan, orang-orang Hadhrami terdiri dari penduduk asli ras “Aribah atau Arab bagian Selatan”.
Mereka juga ditengarai sebagai keturunan Ya’rab bin Qathan dan penduduk keturunan dari pendatang Basrah yaitu, ras “Muta’aribah yang berasal dari Arab Utara.
Orang-orang Hadhrami yang tumbuh dari percampuran dua ras Arab Selatan dan Utara ini memiliki budaya masyarakat pesisir.
Hal ini karena Hadhramaut sendiri merupakan wilayah pesisir pantai Arab Selatan yang membentang luas dari daerah Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd dan dikelilingi oleh pegunungan tinggi yang gersang.
Menurut kasta sosial yang terbentuk di Hadramaut, orang-orang Hadhrami ini terdiri dari empat golongan, antara lain yaitu :
(1) Golongan Sayyid atau keturunan Nabi Muhammad SAW, yang masuk ke kelompok elite dari golongan keluarga Qabilah dan Munshib. (2) Golongan Anggota Suku/Syekh. (3) Golongan Pedagang, dan (4) Golongan Budak.
Migrasi Keluar Hadhramaut, Mendarat di Batavia
Orang Hadhramaut mengalami kesulitan karena keadaan geografis mereka yang kurang menguntungkan pertanian dan perdagangan.
Akibatnya sejak abad ke 18, mereka memilih pindah tempat alias bermigrasi ke daerah subur, termasuk ke luar dari Hadhramaut.
Baca Juga: Sejarah Etnik Jawa di Suriname, Awalnya dari Jawa Tengah?
Peristiwa ini kemudian disebut dengan diaspora orang-orang Hadhramaut, sebab mereka melakukan migrasi ke berbagai pelosok negeri tak terkecuali ke Batavia.
Asal-usul orang Hadhrami bisa sampai mendarat di tidak lepas dari penjelajahan orang-orang Barat dalam perdagangan rempah. Mereka cenderung mengikuti jalur perdagangan orang Belanda hingga sampai ke daerah Pekojan.
Orang Hadhrami yang baru mendarat di Batavia ini memilih tinggal di kampung Pekojan, suatu pedesaan yang terletak di pinggiran aliran sungai Angke.
Pemilihan tempat tinggal di Pekojan karena daerah tersebut merupakan nadi perdagangan orang-orang pribumi, Eropa, dan Tionghoa.
Dengan demikian inilah kesempatan orang Hadhrami mengambil peran sebagai pedagang. Seiring berkembangnya waktu, orang-orang Hadhrami pun sukses sebagai pedagang.
Kekeluargaan sesama orang-orang Hadhrami yang berdiaspora ke Batavia, terjaga utuh oleh pembangunan pusat peradaban orang Arab di Pekojan.
Salah satu material peninggalan mereka yaitu sebuah masjid yang sekarang bernama masjid Al-Ansor sejak tahun (1648).
Pernyataan ini sebagaimana Ahmad Athoillah katakana dalam Jurnal Lembaran Sejarah UGM berjudul “Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di Batavia Abad XVIII-XX”, (Athoillah, 2018: 153).
Orang Hadrami Terkenal Sebagai Pedagang Sukses
Selain terkenal sebagai komunitas Yaman Selatan yang gemar melakukan diaspora, orang-orang Hadhrami juga tersohor sebagai kelompok pedagang Arab yang sukses di Batavia.
Peristiwa ini terjadi pada paruh abad ke-18, ketika orang-orang Hadrami terkenal akan profesinya sebagai pedagang kebutuhan pokok sehari-hari seperti, beras, gandum, kacang-kacangan, dan rempah-rempah sejenis lainnya.
Baca Juga: Kehidupan Tionghoa di Batavia, Dirikan Pabrik Arak Hingga Gula
Kepopuleran orang Hadhrami sebagai pedagang kaya di Batavia juga terbukti dengan perluasan kepemilikan toko di sepanjang jalan Pekojan.
Mereka memperluas kepemilikan hak toko dengan cara membeli lahan-lahan orang Tionghoa yang saat itu sudah lebih tinggal di pesisir Batavia.
Selain terkenal sebagai pedagang kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras dan gandung, orang Hadhrami juga kerap disebut orang pribumi sebagai pelopor toko grosiran.
Hal ini karena mereka menjual barang dagangannya tidak hanya eceran, dan diminati hanya oleh segelintir komunitas saja. Akan tetapi barang dagangan orang-orang Hadhrami di Pekojan juga menjadi sasaran makelar pedagang rempah dari Eropa.
Hubungan orang Hadhrami dengan kelompok Eropa menjadikan etnis Arab asal Yaman Selatan ini dipercaya oleh pemerintah kolonial sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar.
Dengan demikian para syahbandar di seluruh pelosok daerah di Jawa biasanya berasal dari orang-orang Arab Hadhramaut.
Mereka menjadi pengurus perdagangan antar pulau, dan upah hasil dari pekerjaannya sebagai syahbandar mereka jadikan modal untuk mendirikan industri kecil dalam bidang pelayaran.
Pernyataan tersebut sebagaimana mengutip pendapat Berg dalam bukunya berjudul “Hadhramaut dan Koloni Arab di Nusantara”, (Berg, 1989: 124-125). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)