Kota Banjar pascapemekaran mencatat beberapa kemajuan pembangunan. Pencapaian pembangunan bukan saja tampak dari infrastruktur yang makin baik, tetapi juga terlihat dari kebijakan prorakyat miskin yang diluncurkan Pemkot Banjar.
Kebijakan sosial di sektor pendidikan, sektor kesehatan, dan sektor pedesaan yang bertendensi meningkatkan kapabilitas ekonomi masyarakat seakan melengkapi prestasi Kota Banjar pascapemekaran. Namun apakah hal itu sudah cukup?
Secara umum, kebijakan prorakyat miskin (propoor) yang ditempuh Pemkot Banjar bertujuan untuk memperluas akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, modal, dan aset. Di sektor pendidikan, Pemkot Banjar memberikan beasiswa untuk siswa SD, SMP, dan SMA dari keluarga miskin yang terancam putus sekolah.
Di sektor kesehatan, Pemkot Banjar membebaskan biaya rawat inap kelas III di RSUD Kota Banjar untuk rakyat miskin. Di sektor pedesaan, Pemkot Banjar pernah menerbitkan program Bantuan Keuangan Desa sebesar lebih dari Rp. 1 milyar yang, salah satunya, dialokasikan melalui kegiatan pemberian kredit lunak untuk pelaku usaha kecil dan mikro di pedesaan.
Kebijakan prorakyat miskin itu sejalan dengan skema penataan ekonomi yang didorong korporatokrasi global pengusung neoliberal, utamanya Bank Dunia. Menurut paradigma mereka, rakyat miskin harus dilibatkan dalam skema penataan ekonomi supaya dapat berperan dalam ruang ekonomi pasar.
Paradigma mereka dibangun untuk mensiasati kelesuan ekonomi global yang dipicu oleh tidak terserapnya produksi negara maju di negara berkembang karena banyaknya rakyat miskin di negara berkembang. Mereka kemudian menekan negara berkembang untuk memperkuat daya beli rakyat miskin sehingga produksi mereka dapat diserap negara berkembang.
Sebagai siasat neoliberal, kebijakan prorakyat miskin memang hanya fokus pada peningkatan kapabilitas ekonomi untuk memastikan rakyat miskin dapat berpartisipasi dalam ruang ekonomi pasar, sehingga mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik.
Satu hal yang dilupakan dalam paradigma itu adalah penguatan kapasitas politik masyarakat. Masyarakat tetap dibiarkan lemah secara politik dan impoten dalam mengontrol pemerintah. Padahal kontrol publik sangat urgen dalam desain kelembagaan politik demokratik.
Dalam konteks Indonesia, termasuk di Kota Banjar, lemahnya kapasitas politik masyarakat dapat dipahami karena selama lebih dari tiga dekade, di bawah kendali rejim otoriter, masyarakat kita dilemahkan dan dijauhkan dari politik melalui politik massa mengambang (floating mass) dan penciptaan jaringan korporatisme negara.
Politik massa mengambang dilakukan melalui pembatasan ruang gerak partai politik hanya pada level Kabupaten/Kota. Masyarakat di level terendah, misalnya desa, kemudian tidak karib dengan partai politik.
Hal ini pada gilirannya melahirkan masyarakat yang mengalami depolitisasi, cenderung apolitis, dan pragmatis. Untuk sekian lama, masyarakat kita tidak menganggap partai politik sebagai kendaraan untuk memperbaiki nasib mereka melalui sebuah perjuangan politik di parlemen.
Sementara itu, jaringan korporatisme negara dibangun melalui penciptaan organisasi yang bersifat tunggal di semua sektor masyarakat untuk mengendalikan aspirasi dan kekuatan politik masyarakat.
Misalnya di sektor kepemudaan hanya diakui KNPI, di sektor nelayan dibentuk HNSI, dan di sektor pekerja diciptakan SPSI (Masâoed, 1989). Pada akhirnya masyarakat kita tidak akrab dengan model-model pengorganisasian sosial mandiri yang penting sebagai wadah perjuangan politik untuk memperbaiki nasib mereka.
Lemahnya kapasitas politik masyarakat semestinya menjadi perhatian Pemkot Banjar. Tanpa penguatan kapasitas politik masyarakat, kebijakan sebagus apapun yang ditempuh Pemkot Banjar tidak akan punya fondasi politik, rapuh secara sosial, dan mudah tergerus oleh perubahan konstelasi elit. Apalagi jika kebijakan pemerintah hanya bertumpu pada satu aktor, misalnya kepala daerah.
Pembangunan kapasitas politik masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, Pemkot Banjar harus merangsang warga kota untuk mendirikan organisasi-organisasi sosial yang mandiri dan aktif secara politik.
Kedua, Pemkot Banjar seyogyanya mendorong partai politik untuk memiliki underbouw organisasi-organisasi sektoral/profesi yang merepresentasikan pelapisan sosial di masyarakat, sehingga partai politik betul-betul memiliki akar sosial dan representatif.
Ketiga, mengintegrasikan organisasi-organisasi sosial tersebut dalam proses penentuan kebijakan di parlemen lokal (DPRD) sehingga kebijakan betul-betul digodok melalui sebuah perjuangan politik masyarakat di parlemen. Keempat, menjadikan parlemen lokal sebagai satu-satunya arena perjuangan politik dalam penentuan kebijakan, termasuk perencanaan pembangunan.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) selama ini steril dari politik (berlangsung di luar arena parlemen), cenderung didominasi para teknokrat di lembaga pemerintahan, dan elit-elit di masyarakat, sehingga Musrenbang kemudian berwatak antipolitik, teknokratik, dan bias elit. Kebijakan pembangunan pada akhirnya tidak sungguh-sungguh mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Keempat cara di atas dapat ditempuh Pemkot Banjar untuk menumbuhkan kapasitas politik masyarakat. Kapasitas politik masyarakat yang kokoh akan melahirkan partisipasi politik genuine yang menjadi fondasi sosial bagi kukuhnya bangunan suatu sistem politik.
Di samping itu, kapasitas politik masyarakat yang kuat juga akan menumbuhkan kontrol publik terhadap pemerintah. Kontrol publik bukan saja penting untuk menjaga pemerintah tetap berada pada track yang benar, tetapi juga urgen bagi pembangunan desain kelembagaan politik demokratik.