Banjar, (harapanrakyat.com),- Anggota DPRD Kota Banjar menyayangkan diparitas tarif/ biaya tinggi yang dipatok pengelola pendidikan antara jenjang SMA Negeri dan swasta, pada penerimaan siswa baru (PSB) tahun ini. Anehnya, suara wakil rakyat pun tak sama mengenai terjadinya disparitas tarif masuk ke jenjang SMA/SMK.
Disparitas atau perbedaan itu menunjukkan, bahwa komersialisasi pendidikan masih dibiarkan tanpa mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Supriyadi, Angota Komisi C dari F-PKS, Senin (6/6) mengatakan, kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan seharusnya lebih pro terhadap masyarakat. Salah satunya mempermudah masyarakat Kota Banjar dalam mendapatkan pendidikan murah.
Menurut Supriyadi, persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir dari tahun ke tahun, saat tahun ajaran akan dimulai. Tapi persoalan besarnya biaya pendidikan yang timbul, tidak bisa dianggap persoalan yang remeh, karena hal ini menyangkut keadilan, dan hak bagi seluruh anggota masyarakat, untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, perbedaan biaya yang cukup tinggi tersebut menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendidikan telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Di beberapa negara, ada yang meng-gratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja.
Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika istilah “Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan” terjadi di dunia pendidikan kita saat ini.
“Saya yakin, masalah ini tidak hanya di Kota Banjar, melainkan sudah hampir menyeluruh di pelosok negeri,” katanya.
Pada kesempatan itu juga, Supriyadi menyoroti soal mayoritas jabatan Komite sekolah yang diduduki kalangan pejabat, atau golongan menengah ke atas. Menurutnya, banyak kebijakan sekolah yang kemudian dibuat dan belum mengakomodir pendapat masyarakat secara menyeluruh.
Untuk itu, Supriyadi mengungkapkan harapannya, agar pengelola pendidikan mempertimbangkan banyak faktor dalam menentukan besaran biaya yang akan dipatok bagi penyelenggaraan pendidikan.
“Kalau swasta saja bisa menekan besaran angka tersebut, kenapa di sekolah negeri yang konon banyak mendapat gelontoran bantuan, tidak bisa,” ungkapnya.
Edisi HR minggu lalu menyebutkan, bahwa banyak masyarakat kalangan bawah mengeluhkan mahalnya pendidikan. Hal itu dirasakan oleh orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya di sejumlah sekolah favorit.
Menurut mereka, tarif yang dipatok pihak sekolah untuk iuran pada tahun pertama sangat memberatkan. Terlebih lagi, iuran yang dipatok di sejumlah sekolah negeri yang banyak diminati para calon siswa.
Wakasek Humas SMAN 1 Banjar, Barnas, Minggu lalu, mengatakan, biaya yang dipatok di SMAN 1 Banjar, untuk tahun pertama siswa baru mencapai kurang lebih Rp 4 juta. Menurutnya, biaya tersebut diperuntukan bagi kebutuhan dan pengembangan sekolah.
Barnas menjelaskan, pada PSB tahun ini, pihaknya membuka dua jalur penerimaan siswa, diantaranya jalur khusus (PMDK) dan tes. Dari jatah sekitar 360 calon siswa yang akan diterima, 192 diantaranya sudah dipenuhi calon siswa dari jalur khusus.
Di lain tempat, Kepala SMKN 2 Banjar, An Nur, mengatakan, pihaknya belum berani mematok biaya bagi calon siswa yang akan masuk ke sekolahnya. Dia beralasan, pihak sekolah belum mengadakan rapat bersama komite sekolah soal penentuan biaya PSB.
Sementara itu, Ketua PSB SMA Kesehatan Bina Putra Banjar, Ujang Kosmara, belum lama ini, mengatakan, untuk biaya siswa baru hanya dipatok sekitar Rp1.800.000. Dengan kata lain, biaya tersebut jauh lebih murah ketimbang di sekolah negeri. (dn)