Bantuan pemerintah yang bernilai ratusan juta rupiah itu awalnya menjadi tumpuan harapan anggota kelompok Mitra Jaya, untuk merubah perekonomiannya. Namun, kacaunya manajemen kelompok membuat usaha tersebut tidak dapat berjalan lagi. Tahun 2006 silam, Lingkungan Cipadung, Kel/Kec. Purwaharja, Kota Banjar, dijadikan sebagai kawasan penggemukan dan bursa sapi potong. Kawasan tersebut dikelola oleh Kelompok Mitra Jaya.
Namun, akibat tidak berjalannya manajemen kelompok, usaha penggemukan dan bursa sapi potong hanya mampu berjalan sekitar dua tahun. Semula, jumlah anggota mencapai 35 orang, dan kini tinggal 12 orang saja yang masih bertahan.
Komarudin, salah sorang anggota kelompok yang masih bertahan, menuturkan, awalnya kelompok mendapatkan bantuan berupa uang sebesar Rp500 juta dari pemerintah provinsi melalui Dinas Pertanian Kota Banjar, untuk pembelian sapi pedaging.
“Dari uang sebesar itu, bantuan sapi pedaging yang kami terima tahun 2006 sebanyak 96 ekor. Kemudian, tahun 2007 kami juga mendapatkan lagi bantuan sapi peternak sebanyak 96 ekor yang sudah dalam keadaan bunting,” katanya Sabtu (28/5).
Semula kelompok bisa mendapatkan keuntungan sebesar 70% dari hasil penjualan sapi pedaging. Sedangkan 30%-nya untuk dinas dan ketua kelompok, begitu pula keuntungan dari sapi peternak.
Tapi, itu hanya berjalan sekitar dua tahun, karena pada tahun berikutnya anggota tidak mengetahui berapa hasil yang diperoleh dari penjualan sapi pedaging. Padahal, seharusnya sebagian hasil penjualan tersebut dibelikan lagi sapi pedaging.
Selain itu, induk sapi peternak yang dikelola anggota kelompok 90% tidak dapat bunting meski sudah dilakukan Inseminasi Buatan (IB). Akhirnya, pada tahun 2009 semua induk sapi yang tidak bisa beranak dilelang dengan sistim borong kilo.
Artinya, penjualan sapi tidak dijual perekor. Untuk sapi yang kondisi badannya gemuk/bagus, dihitung perkilonya Rp22.000. Sedangkan, sapi yang kurang bagus/kurus perkilonya hanya dihargai Rp18.000.
“Waktu pelelangan induk, saya punya 3 ekor, tapi dikasih penggantiannya cuma 1 ekor. Dan, induk dari hasil penggantian itu ternyata sama tidak bisa beranak, padahal sudah beberapa kami dilakukan IB, tapi tetap saja tidak bunting,” keluh Komarudin, sambil menunjukkan induk sapi tersebut.
Dia mengaku, saat ini dirinya hanya mempunyai satu ekor induk yang didapat dari hasil penggantian lelang, dan satu ekor anak sapi peternak dari induk yang pertama.
Kemudian, pemeriksaan kesehatan bagi ternak yang biasanya secara rutin dilakukan oleh pemerintah pun sudah lama tidak ada, kecuali kalau ada permintaan dari anggota kelompok.
Sementara untuk pengelolaan sapi pedaging samasekali sudah tidak berjalan. Menurut Komarudin, jika dilihat secara fisiknya memang keberadaan sapi pedaging tidak ada.
“Kalau keuangannya ada di ketua kelompok, tapi kami sebagai anggota tidak tahu uang itu dikemanakan, karena seharusnya dibelikan lagi ke sapi pedaging. Anggota bisa mendapat keuntungan dari hasil penjualan sapi pedaging. Kalau dari sapi peternak tidak menguntungkan, sebab induknya kan tidak bisa bunting, jadi tidak dapat menghasilkan anak. Sedangkan sekarang yang ada tinggal sapi peternak saja,” tuturnya.
Tidak berjalannya usaha penggemukan dan bursa sapi potong akibat tidak adanya transparansi keuangan, dan kacaunya manajemen kelompok itu sendiri. Sehingga, dampaknya tentu berimbas pada keuntungan yang diperoleh anggota kelompok dari hasil pengelolaan sapi, baik pedaging maupun peternak.
Menurut komarudin, sejak pertama terbentuknya kelompok, secara administrasi tidak transparan antara ketua dan anggota. Meski dalam struktur kepengurusan tercantum sekretaris dan bendahara, namun semua jabatan tersebut tidak berjalan lantaran urusan pengaturan keuangan kelompok dipegang oleh ketua.
Harapan anggota kelompok yang ingin merubah perekonomiannya menjadi lebih baik, kini tampaknya telah sirna. Padahal, bantuan pemerintah yang bernilai ratusan juta rupiah itu awalnya menjadi tumpuan para peternak.
“Sebetulnya anggota mah ingin ada lagi sapi pedaging, karena keuntungan kami itu dari penjualan sapi pedaging. Dan kami juga sebetulnya ingin kerjasama dengan ketua kelompok dan pemerintah, dalam hal ini Dinas Pertanian, mengenai pengembangan kawasan penggemukan dan bursa sapi potong di Kota Banjar,” ungkapnya.
Namun, untuk mewujudkan hal itu dirasakannya sangat sulit. Padahal anggota kelompok telah menyampaikan keinginan tersebut kepada ketua maupun pihak dinas terkait.
“Kalau tetap saja kondisinya seperti ini, maka yang menjadi keluhan kami sekarang ini ingin dituntaskan saja. sebab sapi-sapinya juga tidak beranak, otomatis kami tidak bisa menjual. Kami saat ini hanya mencoba tetap bertahan mengelolanya, sementara kami juga perlu makan, tapi dari usaha ini tidak ada keuntungan yang dapat kami peroleh,” pungkasnya.