Bandit merupakan sebuah istilah yang digunakan sejak era kolonial untuk menyebut penjahat, pencoleng, dan perampok.
Kelompok kriminal ini muncul sejak awal kedatangan Belanda di Indonesia, dan melesat pertumbuhannya karena sistem tanam paksa.
Beberapa orang belum mengetahui tentang sejarah kriminal di Indonesia era kolonial, padahal jika kita pelajari bersama proses dan dinamikanya cenderung menarik dan unik.
Baca Juga: Wayang Lakon Wahyu Cakraningrat, Politik Keraton dalam memilih Raja
Pada artikel kali ini, Bandit akan menjadi aktor utama untuk mengetahui dinamika perkembangan kelompok kriminal yang muncul sejak era kolonial Belanda.
Kisah Bandit Era Kolonial yang Muncul Akibat Pengaruh dari Sistem Tanam Paksa
Menurut Suhartono dalam bukunya berjudul “Bandit-bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942” (2010: 03) perbanditan dalam perkembangannya muncul sejak isu tanam paksa.
Hal ini karena pada era tersebut banyak masyarakat desa yang merasa terbebani dengan penetapan paja dari pemerintah Belanda.
Selain itu kebijakan ini juga disinyalir mengandung aturan yang bersifat eksploitatif. Karena membuat kehidupan petani menderita kemiskinan, dan kelaparan yang berkepanjangan.
Sebagaimana rumus perubahan sosial dalam ilmu sosiologi, dimana ada kemiskinan dan kelaparan yang meluas, maka akibatnya akan tumbuh kegiatan kriminal yang semakin merugikan.
Baca Juga: Pangeran Mandurareja, Pahlawan Jawa yang Gempur VOC di Batavia
Nampaknya sistem tanam paksa ini begitu kompleks pengaruhnya, tidak saja berdampak dalam aspek ekonomi, tetapi juga sangat membekas pada aspek sosial masyarakat.
Kebanyakan Bandit Muncul dan Berkembang di Daerah Banten
Masih menurut Suhartono (2010-149) Banten digadang-gadang menjadi daerah dengan tingkat pelaporan kasus kriminal tertinggi di pulau Jawa.
Menurut catatan era kolonial, hal ini terjadi karena notabene masyarakat di sana begitu mendukung pergerakan bandit. Ini terjadi karena pemahaman orang Banten tentang pahlawan.
Di sana Bandit identik dengan figur pahlawan yang bisa membebaskan belenggu penjajahan. Apalagi ketika peraturan tanam paksa semakin surut akibat terjadi pemberontakan di mana-mana.
Untuk menyiasati membludaknya perbanditan di Banten, akhirnya pemerintah kolonial dengan segenap pamong praja melakukan pendekatan secara personal.
Suhartono mengatakan, di Banten bandit-bandit perusuh direkrut dan dipekerjakan sebagai centeng untuk menjaga perkebunan rempah yang ada di sekitar Banten dan Priangan.
Baca Juga: Babad Paliyan Negari: Pakubuwono II Rangkul Belanda, Tumpas Saudara
Rupanya tradisi pemberdayaan bandit era kolonial semacam ini terus berkembang hingga abad 20 masehi. Sementara ketika kedatangan Jepang tahun 1942, bandit berubah menjadi gerilyawan.
Mas Jakaria; Bandit Langganan Belanda Pemasok Centeng
Mas Jakaria merupakan sosok Bandit yang berasal dari susunan kelas yang paling atas. Tidak jarang pemerintah kolonial mempekerjakannya sebagai penyedia tenaga centeng untuk menjaga perkebunan.
Menurut catatan sejarah yang ada, dia mengakui dirinya sebagai keturunan orang yang suci. Ia menyebut kharismatik yang timbul dalam dirinya merupakan warisan dari sosok ayahnya yang juga bandit.
Rekam jejak perjalanan bandit yang dilakukan oleh ayahnya pun disimpan jelas oleh orang Belanda dalam satu bundel laporan yang penuh dengan tinta merah.
Orang Belanda meyakini jika ayah Mas Jakaria memiliki kesaktian yang tidak tertandingi oleh siapapun, sehingga tidak hanya rakyat biasa, terkadang orang Belanda pun sangat segan kepadanya.
Satu kesaktian yang paling dikagumi oleh orang Belanda dari sosok bandit era kolonial itu adalah bisa hilang saat berada di jeruji penjara, sedangkan sesudah mati ia bisa menularkan kesaktian pada anaknya.
Masyarakat juga mempercayai bahwa Mas Jakaria merupakan figur bandit yang bijaksana. Jika kita bandingkan sekarang mirip dengan aksi Robin Hood dalam lakon cerita orang-orang Barat.
Masyarakat Tertekan Oleh Aksi Perbanditan
Meskipun awalnya aksi perbanditan mendapat dukungan sebagian masyarakat di Banten, akan tetapi seiring dengan berkembangnya waktu mereka semakin tertekan oleh perbuatan si centeng ini.
Suhartono mengatakan fenomena ini muncul di hampir setiap sudut pulau Jawa tak terkecuali dengan masyarakat yang ada di Banten.
Laporan kolonial mencatat terdapat ratusan aduan dari masyarakat yang terhimpun dari pribumi dan asing merasa terganggu oleh adanya perbanditan.
Tak jarang mereka mengalami kerugian yang mendalam dari perbuatan sang bandit. Sebab tidak hanya mencuri dan merampok di tempat orang kaya, mereka juga memeras keringat orang miskin.
Pada akhirnya pemerintah kolonial menggerakan seluruh pamong desa untuk berjaga-jaga di waktu malam tiba. Dengan harapan mereka bisa melindungi masyarakat dari bandit yang berbahaya pada era kolonial tersebut. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)