Kisah nyata dari wartawan perempuan yang menceritakan kehidupan di penjara wanita Semarang terjadi sekitar tahun 1930, tepatnya pada zaman kolonial Belanda.
Wartawan tersebut adalah S. K. Trimurti seorang wartawan perempuan pertama di Indonesia. Ia dianggap terlalu berani menentang kebijakan kolonial.
Kisahnya menarik untuk dipelajari lebih lanjut, sebab beberapa adegan yang diceritakan oleh Trimurti menggambarkan sikap pemerintah kolonial yang menyebalkan.
Fakta yang Jarang Terungkap dari Kehidupan Penjara Wanita Zaman Belanda
Penjara wanita tersebut terletak di Desa Bulu Semarang, Jawa Tengah. Penjara ini memang terkenal sebagai tempat pembuangan para wanita yang membangkang.
Baca Juga: Sejarah Eksekusi Terkejam di Indonesia: Terpidana Mati Sekarat 8 Hari
Tak jarang kriminal yang mengakibatkan seseorang terbunuh, terluka, dan lain sebagainya juga mendekam di penjara ini.
Sementara menurut beberapa catatan sejarah dari kehidupan di penjara wanita Bulu, Semarang, menyebut bahwa tempat ini penuh dengan misteri yang menakutkan.
Gara-Gara Pamflet “Gelap”, S.K Trimurti Dipenjara
Awal peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1930, ketika itu wartawati pertama di Indonesia tersebut berkecimpung dalam organisasi yang cenderung radikal pada masanya.
Selain berjuang di bawah payung Palang Merah Indonesia (PMI), Trimurti juga bergabung dengan organisasi anti kolonialisme yang belum ada namanya.
Hal tersebut karena Trimurti bekerja sebagai spionase organisasi ini. Sehingga apabila Ia menyebutkan nama organisasi secara terbuka maka aparatur kolonial akan mudah melacak dan menangkapnya.
Keterlibatan membuat pamflet-pamflet “gelap” menjadi salah satu penyebab polisi Belanda mencari S.K Trimurti. Belanda kemudian menjebloskan Trimurti ke penjara wanita di daerah Bulu, Semarang, Jawa Tengah.
Trimurti menciptakan karikatur pamflet yang mendobrak pemerintah kolonial agar sadar bahwa mereka hidup di tanah pribumi hanya sebagai penumpang.
Hal ini mengundang kemarahan pemerintah kolonial, bahkan beberapa pejabat kolonial merasa tersinggung dan ingin segera mengamankan Trimurti.
Akhirnya ketika wanita pemberani ini sudah tercium lokasi tempat tinggalnya, polisi KNIL pun menangkap dan membawanya ke penjara.
Selama di penjara itulah kemudian Trimurti mengetahui banyak persoalan yang lebih kejam daripada sebelumnya.
Karena Berstatus Sebagai Tahanan Politik, Ruangan S.K Trimurti Dibedakan
Ipong Jazimah dalam bukunya berjudul “S. K. Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia”, (2016: 49) mengungkapkan ruangan penjara Trimurti berbeda dengan tahanan lainnya.
Perbedaan ruangan ini juga untuk orang-orang yang berstatus tahanan politik (tapol). Berdasarkan penuturan Ipong, tahanan politik memiliki ruangan yang sedikit lebih layak.
Berbeda dengan tahanan perempuan lainnya yang bukan berstatus tapol. Berdasarkan catatan sejarah kehidupan penjara wanita zaman Belanda, biasanya mereka memiliki ruangan yang sempit dan kotor.
Meskipun wartawan perempuan pertama di Indonesia itu berada ruangan yang layak, namun bukan berarti Trimurti bisa berperilaku seenaknya.
Justru karena berada di ruangan yang istimewa itu bertujuan untuk mengawasi lebih banyak pergerakan Trimurti dari jarak dekat
Keadaan ini membuat Trimurti stress dan sempat murung karena tekanan yang terasa berat. Sebab selain tidak ada hiburan, ia juga tidak bisa menulis seperti kebiasaan sehari-harinya.
Dari Penjara Wanita, S.K Trimurti Menerjemahkan Keadilan
Berdasarkan catatan peninggalan S.K Trimurti, Ipong Jazimah menyebut dari penjara di Desa Bulu Semarang itu, Trimurti mulai belajar dan memahami terjemahan dari kata “Keadilan”.
Sebab dalam penjara wanita itu, ia bisa melihat bagaimana perlakuan Belanda terhadap pribumi non tahanan politik yang tidak manusiawi dan sangat menyalahi hak asasi.
Baca Juga: Ideologi Komunis di Indonesia: Menyusup ke Sekolah, Berkembang Lewat Jalur Kereta
Contoh kecil saja yang ia sebutkan adalah saat pemilihan ruangan bui. Para perempuan non-tapol berada dalam ruangan sempit beralaskan tikar.
Sementara tahanan tapol dan tahanan yang berasal dari kalangan Eropa memiliki hak istimewa untuk tinggal di ruangan penjara yang lebih layak.
Dari sinilah akhirnya Trimurti menerjemahkan sebuah arti dari kata keadilan. Hingga jatuh pada kesimpulan selama Belanda masih bercokol di tanah air, maka keadilan tak akan pernah ada.
Trimurti menganggap apa yang ia alami di penjara wanita zaman Belanda sebagai peristiwa yang paling menghantui kehidupannya. Sehingga ia bertekad cepat untuk berjuang melepaskan diri dari penjajahan Belanda.
Pola Perjuangannya Lebih Menyukai Sikap Non-Kooperatif
Jika Sukarno dan Hatta menyebut pola perjuangannya dengan istilah kooperatif (kerjasama) dengan pemerintah kolonial, maka berbeda halnya dengan perempuan yang satu ini.
Trimurti secara terang-terangan mengakui pada pemerintah kolonial, ia lebih menyukai sikap non-kooperatif dalam gerak perjuangannya untuk membela bangsa.
Rupanya Trimurti merasakan sakit hati yang mendalam semasa ia ada di dalam lapas perempuan Semarang.
Terutama saat ia melihat bagaimana pribumi perempuan yang sedang mengalami masa hukuman di lapas. Perlakuan Belanda pada pribumi perempuan tersebut sangat biadab hingga sering menimbulkan fenomena gangguan jiwa.
Seorang Perempuan Belanda Ingin Menolong Trimurti
Fakta unik yang jarang terungkap saat seorang perempuan Belanda berusaha menolong S.K Trimurti supaya lolos dari tahanan.
Perempuan Belanda tersebut merupakan petugas administratur di lapas, namun Trimurti menolaknya mentah-mentah.
Trimurti merasa bahwa itu adalah hinaan yang sangat keterlaluan. Sebab wanita Belanda itu akan menolong apabila ia bersedia menjadi warga negara Belanda.
Baca Juga: Sejarah Diskriminasi Tionghoa di Indonesia yang Dianggap Selalu Mujur
Tentu saja Trimurti menganggapnya sebagai penghinaan. Bayangkan saja, sudah lama berjuang hingga masuk penjara karena mempertahankan kebangsaan, namun malah ditawari jadi orang Belanda.
Menurut Trimurti hal tersebut tidak hanya menghina perjuangannya yang sudah ia lalui sejak jauh-jauh hari, tetapi juga merendahkan harga diri yang tak bisa ditawar lagi.
Nah begitulah catatan sejarah dari kehidupan penjara wanita zaman Belanda, khususnya yang terjadi pada tokoh wartawan pertama di Indonesia bernama S.K Trimurti. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)