Berbagai kisah dapat dikumpulkan dari hiruk-pikuknya suasana pasar tradisional. Di sini banyak perempuan perkasa berjuang untuk mempertahankan hidup. Mereka adalah penopang gairah konsumsi warga kota transit, jasa dan perdagangan.
Sore itu, Selasa (26/4), suasana di blok pasar bambu yang berlokasi di kawasan pasar sementara, Kota Banjar, sedikit agak lengang karena sebagian para pedagang kaki lima (PKL) di tempat tersebut sudah beranjak pulang.
Namun, tidak sedikit pula para pedagang sayuran, ikan, pisang dan bumbu yang masih terlihat sibuk melayani pembeli, atau sekedar menawarkan dagangannya kepada setiap orang yang melintas ke depan lapak mereka.
Diantara para pedagang sayuran, Robiatun (60), tampak kelelahan. Maklum saja, ketika hari masih gelap dia sudah harus berangkat dari rumahnya di daerah Ciulu, Banjarsari, Kab. Ciamis, ke pasar sementara, Kota Banjar.
Meski berangkat dari Banjarsari menggunakan kendaraan angkutan umum mobil coltbak, namun rutinitasnya itu bukan suatu pekerjaan mudah. Karena, untuk sampai ke tempat pemberhentian mobil dia harus jalan kaki sejauh 1,5 kilometer, sambil menggendong sekarung sayuran jenis kangkung, bayam dan jamur merang.
Sesampainya di pasar, Atun, begitu dia disapa, mulai membereskan dagangannya pada sebuah bangku yang tersimpan di dalam lapak berukuran sekitar 2 x 2 meter persegi.
Atun mengaku, setiap hari aktifitasnya itu dijalani hingga pukul 4 sore. Namun, bila usahanya sedang mujur, dia sudah bisa pulang sekitar pukul 3 sore. Pekerjaan tersebut dijalaninya sejak tahun 1984.
Dari usahanya, perempuan yang telah ditinggal mati suaminya selama 20 tahun itu, harus banting tulang sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidup 5 orang anaknya. Lantaran, pada saat ditinggal suaminya, kelima anak Atun masih membutuhkan biaya sekolah.
Dalam sehari, pendapatan Atun tidak lebih dari Rp100 ribu. Jumlah sebesar itu berupa penghasilan kotor, karena belum dipotong modal pembelian kangkung, bayam, dan jamur dari kebun tetangganya.
Bila dihitung-hitung, uang hasil dagangannya yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari sekitar Rp15 ribu sampai Rp25 ribu saja, sebab ongkos pulang-pergi menggunakan mobil coltbak membutuhkan biaya sebesar Rp10.000.
Atun setiap hari berjibaku dengan puluhan perempuan pedagang sayur yang sama-sama mengadu nasib di lokasi pasar bambu. Tapi, tidak semua pedagang di tempat tersebut bernasib sama seperti Atun.
Suratmi (45), misalnya, dia merupakan pedagang sayur dan buah-buahan yang bermodal cukup besar bila dibandingkan dengan Atun. Setiap hari memutar uang untuk bisnisnya itu sekitar Rp1,5 juta-Rp2 juta.
Hasilnya cukup untuk menyekolahkan anaknya yang bungsu di sebuah sekolah favorit di Kota Banjar, serta membiayai kuliah anak cikalnya di perguruan tinggi swasta yang ada di Bandung.
Sebagian perempuan itu adalah pedagang pendatang yang tersedot oleh pesona kota transit, jasa, dan perdagangan. Atun sudah 26 tahun menggantungkan hidupnya sebagai pedagang bakul saat itu, dan kini meningkat menjadi PKL di Pasar Banjar.
Kemudian Suratmi, dia juga merupakan pedagang pendatang dari Kec. Lakbok, Kab.Ciamis. Selama lebih dari 15 tahun Suratmi mengadu nasib di Pasar Banjar, dan sampai saat ini dia telah merasakan kesuksesan dalam usahanya tersebut.