Nikah siri merupakan pilihan seseorang yang disahkan dari sudut norma agama Islam. Namun, rugi besar jika kaum hawa mau dinikahi secara siri oleh pasangannya.
Sebagian kaum hawa, khususnya di Indonesia, mempunyai anggapan bahwa nikah siri adalah jalan terbaik untuk mengesahkan suatu hubungan agar terhindar dari perbuatan zinah. Karena memang nikah siri disahkan oleh agama Islam.
Namun, meski demikian sebagian kaum perempuan juga mempunyai anggapan bahwa nikah siri hanya akan menguntungkan kaum laki-laki, dan sangat merugikan kaum perempuan.
Seperti dikatakan Awit Rohani, S.IP., anggota KPU Kota Banjar, sekaligus dosen di STISIP Bina Putra Banjar, dan Nova Chalimah Girsang, SH., Advokat/Penasehat Hukum.
Menurut Awit, yang akan menjadi korban dalam pernikahan siri bukan hanya perempuan saja, tapi juga keturunan dari hasil pernikahan tersebut.
Karena, pernikahan siri tidak memiliki kekuatan secara hukum dari pemerintah, lantaran tidak tercatat di catatan sipil/negara. Selain itu, kaum perempuan juga dianggap rendah.
Pasalnya, pihak laki-laki hanya akan memenuhi kebutuhan selama menyukai pasangan nikah sirinya. Tapi sebaliknya, jika sudah tidak suka, maka dengan leluasa pasangan laki-lakinya akan meninggalkan atau menelantarkan.
Bila kejadiannya sudah seperti itu, kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya sebagai istri, maupun hak bagi keturunannya, yaitu anak.
“Untuk semua kaum perempuan, kalau kita sayang sama turunan kita, jangan mau dinikahi secara siri, apapun alasannya. Itu jelas-jelas akan sangat merugikan kita sebagai kaum perempuan dan keturunan kita nanti,” tegasnya, Jumat (1/4).
Dia mencontohkan, seperti halnya ketika pemerintah memberikan bantuan dana pada satu instansi, yang mana dana tersebut diperuntukkan bagi pembelian kebutuhan ATK.
Namun, pada saat melakukan pembelian sebuah tinta, buku atau peralatan ATK lainnya, instansi tersebut tidak meminta nota sebagai bukti adanya transaksi jual beli dari toko, dimana barang itu dibelinya.
Dan, ketika ada audit dari pemerintah sebagai pemberi bantuan, pihak instansi tidak bisa menunjukan bukti pembeliannya, walaupun memang barang hasil pembeliannya ada.
Begitu pula dengan nikah siri, saat istri mengajukan gugatan hukum pada suaminya untuk menuntut haknya sebagai istri dan hak untuk anaknya, maka hal itu akan sulit sebab tidak bisa menunjukan bukti, yaitu surat nikah dari KUA yang menyatakan bahwa benar telah terjadi pernikahan, dan anak tersebut adalah hasil dari pernikahannya.
“Sebaiknya bagi mereka yang melakukan nikah siri harus dilanjutkan ke pernikahan di catatan sipil. Karena, sebagai warna negara Indonesia, dimana bumi dipijak, disitu langit dijungjung. Jadi, kita harus mentaati aturan yang berlaku di wilayah tersebut,” kata Awit.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Awit Rohani, Nova Chalimah Girsang pun memberikan tanggapan, bahwa, jika dilihat secara normatif pernikahan siri tetap merugikan kaum perempuan, karena hak-haknya tidak diakomodir Undang-undang.
“Jadi, sebisa mungkin pernikahan siri harus dihindari. Tapi, bila memang takdirnya harus nikah siri, maka jadilah perempuan yang cerdas. Artinya, harus ada pernyataan nikah diatas materai yang ditandatangani berdua, yaitu oleh pihak laki-laki dan perempuan,” jelasnya. (Eva)