Berita Tasikmalaya, (harapanrakyat.com),– Gugatan yang dilayangkan Septhiana Yiringiadi kepada tetangganya, Yamin, mendapat sorotan dari ahli ekologi Tasikmalaya, Jawa Barat.
Septhiana, warga Perum Nanggela, Cigantang, Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, tersebut tak terima burung peliharaannya mati setelah menghirup asap dari pembakaran sampah yang dilakukan Yamin. Tak tanggung-tanggung Septhiana meminta ganti rugi senilai Rp 60 juta kepada tetangganya tersebut.
Ir H Nanang Nurjamil, ahli ekologi Tasikmalaya, mengatakan, seekor burung tidak akan mudah terkena penyakit akibat asap. Kecuali kandungan asap mengandung partikel karbon dioksida, karbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur oksida, dan senyawa organik volatil.
“Kadar dari partikel tersebut harus melebihi ambang batas, baru bisa membahayakan,” katanya, Selasa (3/2/2021).
Menurut Nanang, burung memiliki 3 lapis penangkal penyakit. Penyakit yang bisa ditanggal burung biasanya diakibatkan partikel racun, bakteri, dan jamur yang dibawa oleh debu atau asap.
“Penangkal pertama pada burung terdapat bulu-bulu getar (silia) yang terdapat di dalam rongga hidung burung. Selanjutnya, penangkal kedua enzim proteolitik dan surfaktan yang ada di trakea. Penangkal ketiga adalah antibodi dari kelompok imunoglobulin (Ig) tipe A, E, dan G yang terdapat dalam tubuh burung yang kondisinya fit,” jelasnya.
Selain itu, kata Nanang, burung itu memiliki tiga alat atau bagian pernafasan, yaitu saluran pernafasan atas, paru-paru dan kantung udara (air sacs).
“Penyakit pernafasan pada burung tidak selalu karena partikel asapnya, bisa jadi juga karena infeksi sekunder pada saluran pernapasan oleh bakteri E.coli dan virus sejenis Mycoplasma gallisepticcum yang lebih dikenal dengan CRD (Chronic Respiratory Disease),” lanjutnya.
Menurutnya, apabila sudah kronis, penyakit tersebut sukar disembuhkan dan bisa menyebabkan burung mati.
“Karena itu perlu pembuktian secara ilmiah dan komprehensif untuk membuktikan apakah benar burung tersebut mati karena asap pembakaran sampah. Apalagi kalau benar yang dibakar hanya ranting-ranting pohon yang jatuh,” tegas Nanang.
Penjelasan Ahli Ekologi Tasikmalaya
Nanang mengatakan, pengadilan akan kesulitan membuktikan karena kandungan partikel yang ada di dalam asap yang diduga sebagai penyebab kematian burung.
“Tentu harus diperiksa di laboratorium lingkungan, begitupun anatomi pernafasan burung harus juga diperiksa. Apakah benar ada bagian-bagian pernafasan atau bagian-bagian dalam tubuh burung yang mati telah terkontaminasi oleh partikel dari asap pembakaran sampah, sehingga burung tersebut mati, sementara asapnya sudah tidak ada dan burungnya juga sudah lama mati,” ujarnya.
Hukum, lanjut Nanang, harus berdasarkan alat bukti yang otentik bukan hanya sebatas dugaan sepihak.
“Mending sudahlah ikhlaskan saja kepada pemilik burung dan yang membakar sampah juga harus lebih berhati-hati jangan sampai asapnya mengganggu tetangga. Jangan ada sampah plastik atau barang-barang bekas yang berbahan kimia dibakar. Karena itu akan berbahaya bagi kesehatan pernafasan manusia dan makhluk hidup lainnya,” tegasnya.
Nanang menambahkan, menjaga kerukunan dengan tetangga jauh lebih berharga dibanding kematian seekor burung yang belum pasti penyebabnya. (Apip/R7/HR-Online)
Editor: Ndu